Barat dan Proyek Hak Asasi Manusia

Bagikan artikel ini
Kisah ini tertulis dengan baik di atas kertas, dan memang seharusnya demikian. Biar bagaimanapun, abad ke-20 menjadi saksi dari banyaknya pemerintahan yang gagal mencegah atau menghentikan pembunuhan massal yang mengerikan atau kejahatan atas nama kemanusiaan. Sebagai hasilnya, terbuka kesempatan bagi banyak lembaga amal terkemuka dan organisasi-organisasi HAM untuk memainkan peran lebih besar dalam hubungan internasional.
Namun jika kita pelajari lebih mendalam, akan terungkap sejumlah realitas yang tidak sesuai citra, terkait dengan HAM. Meskipun banyak lembaga amal dan HAM menyebut diri mereka ‘netral’ dan ‘non-partisan’, kenyataannya tidaklah demikian. Di bawah ini, kami akan menjelaskan lebih detail tentang sejumlah kasus di mana organisasi-organisasi tersebut digunakan sebagai public relations untuk kepentingan pemerintahan Barat. Dengan semakin besarnya skeptisisme publik terhadap lembaga amal, bahayanya adalah jelas: jika konflik kepentingan ini tidak ditangani secara serius, kredibilitas lembaga amal atau organisasi non-pemerintah (LSM) internasional akan semakin terancam.
Salah satu aspek yang sulit dalam menganalisis pertempuran ‘manajemen persepsi’ ini adalah adanya risiko bahwa publik akan mengutuk seluruh LSM (dan stafnya). Pada kenyataannya, sebagian besar lembaga HAM dan lembaga amal dikelola dengan baik oleh orang-orang yang tulus, berpendidikan tinggi, dan pekerja keras. Sebagian besar mereka tidak menyadari atau tidak tertarik untuk memahami siapa yang mendanai mereka dan apa kaitan antara pendanaan ini dengan posisi lembaga mereka di setiap berbagai isu geopolitik atau konflik bersenjata. Memang benar bahwa selama bertahun-tahun, aktivitas yang tulus dan berdedikasi dari berbagai LSM ini telah membantu membebaskan orang-orang yang telah dipenjarakan secara tidak adil, atau meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu sosial dan lingkungan yang penting.
Seiring dengan peningkatan kucuran dana dari korporasi, hubungan langsung ke pemerintah Barat, dan kaitan dengan lembaga think tank bidang militer dalam beberapa tahun terakhir, LSM-LSM amal menjadi terpolitisasi dan lebih berperan sebagai ‘agen pengaruh Barat’. Akibatnya, dapat dibuat argumen bahwa, pada berbagai tingkatan, LSM-LSM amal dan HAM ini justru berkontribusi pada lebih banyaknya penderitaan, kematian dan ketidakstabilan di seluruh dunia melalui partner (donatur) mereka yang mampu mempengaruhi kebijakan luar negeri Washington, London, Paris, dan Brussels.
Problemnya terletak pada sistem dan lembaga tersebut. Sebagai hasilnya, banyak lembaga HAM terkemuka dunia yang berbasis di Amerika Utara dan Eropa menjadi ‘cermin’ yang merefleksikan agenda politik luar negeri Barat dan menjadi saluran propaganda bagi intervensi Barat. Penulis  Stephanie McMillan mendeskripsikan peran baru dari LSM di abad ke-21 sebagai berikut, “Seiring dengan invasi militer dan misionaris, LSM membantu meretakkan negara-negara sampai terbuka seperti kacang matang, sehingga terbuka jalan untuk mengintensifkan gelombang eksploitasi dan ekstraksi [Barat].”
LSM Sebagai Pelaksana ‘Consensus Building’
Membentuk persepsi publik di Barat tentang isu-isu internasional adalah penting ketika kekuatan utama dunia ingin mewujudkan tujuan kebijakan luar negeri mereka. Tidak mengherankan, kita dapat melihat bahwa banyak posisi publik yang diambil oleh LSM sejalan dengan kebijakan luar negeri Barat. Misalnya, dalam Perang Balkan tahun 1990-an, LSM-LSM HAM mendukung pemecahbelahan negara-negara. Di Ukraina pada tahun 2014 dan dengan Suriah dan Yaman pada tahun 2016, mereka mendukung perubahan rezim. Dalam konflik-konflik tersebut, LSM telah berfungsi sebagai public relations untuk negara-negara Barat anggota Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Inggris dan Perancis). Kolusi ini terwujud di antara para elit LSM yang agendanya masuk melalui “pintu putar” yang ada di antara kartel LSM Barat, pemerintah, dan media.
Ketika pemerintah Barat semakin banyak terlibat dalam konflik jangka panjang di seluruh dunia, kebutuhan untuk men-outsourcing (=meminta pihak lain melakukan sebagian pekerjaan kita –pent.) etika dan moral mereka kepada LSM menjadi semakin jelas. Kerjasama antara keduanya (pemerintah Barat dan LSM) menjadi penting jika pemerintah ingin membingkai aksi-aksi perang mereka dalam narasi kemanusiaan sebagaimana yang sering disuarakan oleh LSM-LSM HAM dalam upaya penggalangan dana. Dalam kerjasama ini, semua tujuan akan berkumpul dalam sebuah aliansi yang sangat efisien, yang bisa digambarkan sebagai “jaringan industri HAM-pemerintah-media”.
Bukti keberadaan jaringan LSM HAM-Pemerintah-media sangat jelas terlihat dalam kebijakan luar negeri Barat –yang dipimpin AS—terhadap Suriah. Dengan mem-frame konflik Suriah (2011 hingga kini) sebagai “perang sipil”, media Barat dan LSM HAM melakukan peran mereka masing-masing dalam menopang narasi kebijakan luar negeri Barat. Narasi yang tidak akurat dan terdistorsi ini telah membantu melindungi perang clandestine (perang rahasia) pimpinan AS yang menggunakan proxy (kaki-tangan). Akibatnya, perang tersebut berlangsung tanpa hambatan dari opini publik Barat. Untuk kebanyakan masyarakat AS, mereka akan sangat terkejut jika fakta-fakta di balik perang rahasia ini terungkap: Washington dan Ankara, bersama dengan NATO dan Dewan Kerjasama Teluk (GCC)  membanjiri Turki dan Suriah dengan senjata, uang tunai, peralatan, tim media sosial, pelatih militer dan petempur asing dari berbagai negeri jauh, seperti Pakistan. Dari perspektif yang luas seperti ini, bisa kita lihat bahwa sangat sedikit unsur ‘sipil’ dalam konflik Suriah.
*Diterjemahkan dari sebagian tulisan Patrick Henningsen di 21centurynewswire.com
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com