Sebenarnya pendaftaran yang dilakukan Tim Pengacara Masyarakat Amungme Papua itu merupakan penyempurnaan gugatan sebelumnya. Menurut Titus Natkime, SH selaku penggugat menjelaskan, berdasarkan evaluasi gugatan beberapa waktu lalu masih ditemukan beberapa kekurangan untuk penyempurnaan.
Didalam gugatan kali ini tambah Titus, Tim pengecara menggugat 6 pihak sekaligus diantaranya pertama PT. Freeport Indonesia. Kedua Induk Perusahaan di Amerika Serikat Freeport Mcmoran Copper dan Goal. Ketiga PT. Indocoppert Investama. Keempat Menteri ESDM. Kelima Gubernur Papua dan yang keenam Bupati Mimika.
Sekedar mengingatkan, Titus Natkime,SH salah satu tokoh masyarakat Amungme, Titus merupakan anak almarhum Tuarek Natkime kepala suku besar Amungme selaku pemilik hak ulayat disekitar pertambangan Freeport. Menurut alumni STIB Bandung ini, sejak tahun 1967 hingga 2010, penguasaan tanah-tanah ulayat milik suku Amungme oleh PT. Freeport Indonesia belum pernah diganti.
“Pasal 25 uu no. 11 tahun 1967 mengatakan bahwa pemegang kuasa pertambangan berkewajiban memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah akibat pertambangannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja telah menimbulkan kerugian kepada pemilik tanah. Selanjutnya pasal 27 uu no 11 tahun 1967 menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas tanah yang dijadikan kawasan pertambangan berhak diberikan ganti rugi oleh perusahaan yang bersangkutan”, Kata Titus.
Gugatan ini kata Titus, dijajukan secara Class Ection. Menurutnya tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
tuntutan ganti rugi US $ 20,8 milyar atas kerugian materil yang diderita selama perusahaan tambang Amerika itu beroprasi di tanah Papua. Tergugat juga harus menggati kerugian Imateril sebesar US$ 30 milyar.
Menurut Titus selama ini suku Amungme tidak pernah mendapat ganti rugi atas tanah yang dimilikinya dengan begitu PT. Freeport Indonesia berkewajiban mengganti rugi atas tanah yang dikuasainya. Gugatan ini dilayangkan untuk membela dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat Amungme yang selama ini menderita akibat penambangan yang dilakukan PT. Freeport. Masyarakat adat sekarang ini tidak lagi memiliki tanah, tidak lagi bisa bercocok tanam karena tanah-tanah mereka telah dirampas PT. Freeport Indonesia.
PT. Freeport seperti Kebakaran Jenggot
Sementara itu menurut Titus. PT. Freeport Indonesia melalui Manager Corporate Communication Budiman Moerdijat, menanggapi gugatan tim pengacara masyarakat Amungme seperti kebakaran jenggot. Budiman menjelaskan, gugatan Suku Amungme terhadap PT. Freeport Indonesia tidak memiliki dasar yang kuat. Gugatan-gugatan sebelumnya pernah ditolak pengadilan Indonesia maupun pengadilan Amerika Sertikat, lantaran kata Budiman, pihak penggugat tidak mampu menghadirkan bukti-bukti.
“Bahwa sejak beroprasi PT. Freeporet telah memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi hak ulayat suku Amungme,” kata Titus mencontohkan Budiman.
Dengan penuh emosi Titus menyebutkan, Budiman sangat arogan yang menyebutkan didalam sebuah pemberitaan Pers yang menyebutkan PT. Freeport Indonesia sudah memberi kepada Masyarakat melampaui apa yang diwajibkan secara hukum.
Kata Titus, pernyataan Budiman Moedijat itu hanyalah pembohongan publik dan sebuah upaya membentuk opini positif terhadap kinerja PT. Freeport Indonesia. Cara-cara ini telah menjadi modus yang dilakukan sejak puluhan tahun, yang pasti perusahaan ini telah mengeruk kekayaan bumi Papua, sedangkan rakyatnya tetap miskin papa.
Sekedar menyegarkan ingatan kembali sejak PT. Freeport Indonesia beroprasi di tanah Papua, masyarakat belum pernah mengajukan gugatan ganti rugi hak ulayat. Pada tahun 1996 tokoh masyaratar Amungme Tom Beanal pernah menggugat PT. Freeport Indonesia di pengadikan New Orleans Lowsiana Amerika, dengan tuduhan pencemaran lingkungan akibat pembuangan Tailing kesungai Aijkua, sehingga memusnahkan pegetasi hutan tripok seluas lebih kurang 3300 ha. Dari pembuangan Tailing ini menimbulkan endapan tembaga di sepanjang sungai yang mengakibatkan kematian pegetasi berbagai jenis ikan dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh disepanjang sungai.
Selain Tom Beanal, pada tahun yang sama Yosepha Alomang menggugat PT. Freeport Indonesia dengan tuduhan pelanggaran hak azasi manusia. Perkembangan kedua gugatan tidak jelas ujungnya. Namun sejak tahun 1996 gugatan Yosep Alomang tentang pelanggaran HAM, Hakim menolak dengan alasan pengadilan New Orlean tidak memiliki Yuridiksi untuk mengadili kasus tersebut. Atas putusan tersebut Martin E Regan JR kuasa hukum Yosep Alomang langsung mengatakan banding. Pada 5 Mart 1998 pengadilan banding New Orlean memutuskan menerima permohonan banding gugatan Yosepha Alomang.
Sementara itu gugatan Tom Beanal dipengadilan Federal Lousiana meminta pengacara untuk memperbaiki gugatan, untuk itu sejak tahun 1996 hingga tahun 1998 pengacara Tom telah mengajukan perbaikan sebanyak tiga kali. Namun pada 3 Mart 1998 pengadilan Lousiana telah menolak perbaikan ke 3 gugatan Tom Beanal. Kuasa hukum Tom tidak mau menerima putusan hakim tersebut dan langsung menyatakan banding.
“Gugatan kedua tokoh suku Amungme itu hingga kini belum mendapat kepastian hukum tetap alias masih berproses,” kata Titus.
Jadi kata Titus, semua pernyataan manager Corporate Communication saudara Budiman di media masa itu merupakan pembohongan publik dan penyebaran berita bohong. Selama ini masyarakat Adat Amungme belum pernah menggugat PT. Freeport Indonesia mengenai masalah ganti rugi tanah ulayat kecuali Tom Beanal dan Yosepha Alomang menyangkut lingkungan hidup dan HAM
Selama PT. Freeport Indonesia beroprasi belum pernah mengganti rugi tanah Hak Ulayat. Untuk itu apabila Budiman Pernah mengetahui ganti rugi hak ulayat kami meminta agar ditunjuk siapa yang menerimanya disertai bukti-bukti.
Dana 1 Persen
Sementara itu dana 1% yang diberikan PT. Freeport bukan dana ganti rugi hak ulayat, melainkan dana kerusuhan pada tahun 1996. Dana tersebut menurut Titus diberikan untuk membangun masyarakat 7 suku yang kemudian dikelola oleh Yayasan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Komoro (LPMAK).
“Dana inipun akhirnya disimpan dan dikuasai oleh Manajemen PT. Freeport Indonesia dimana masyarakat kemudian seperti pengemis apabila akan meminta dana tersebut,” tambah Titus.
Apabila Budiman sudah merasa berjasa kata Titus, yang telah memberikan ganti rugi terhadap masyarakat sehingga melampaui apa yang diwajibkan secara hukum maka kami tegaskan, apabila pernyataan ini benar maka masyarakat disekitar tambang PT. Freeport Indonesia sudah tidak lagi miskin dan berkoteka, sudah tidak ada lagi masyarakat yang mencari penghidupan dengan mendulang mas dikali yang penuh racun kimia yang berasal dari sisa-sisa tambang PT. Freeport Indonesia.
Mestinya Budiaman lanjut Titus, menelaah pernyataan Gubernur Papua Barnaba Suebu yang menyatakan bahwa PT. Freeport Indonesia harus transparan dan terbuka karena apa semua yang dilakukan selama ini akan terlihat, tertangkap dan terbukti tinggal menunggu waktu saja.
Kata Titus, mengutip statement Barnabas Suebu, tahun 1967 adalah tahun-tahun isolasi. PT. Freeport bisa membuat apa saja yang dia mau di areal penambangan mas dan tembaga ini, tetapi ditahun-tahun terakhir ini dimana kita sulit mengatasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju dan terus berkembang.
Saat ini akan membuka kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama ini tersembunyi. Hak ulayat yang belum dibayar hingga saat ini masih dituntut masyarakat adat suku Amungme sementara dana royalti yang diberikan kepada masyarakat malah diberikan kepada Kabupaten-kabupaten di Papua dan diduga ditransfer langsung ke rekening pribadi para Bupati.
Belum lagi tuntutan masyarakat adat untuk pembayaran saham 10% bagi masyarakat adat dari keuntungan bersih. Semua ini diminta supaya harus dibukukan dan diselesaikan secara Transparan dan PT. Freeport Indonesia harus meminta maaf terhadap suku Amungme dan suku Komoro dan seluruh orang Papua demi kebersamaan kita sebagai umat manusia yang menghuni bumi demi keadilan dibumi yang kita cintai ini.
Sementara itu penyerapan tenaga kerja orang Papua diabaikan. Saudara Budiman kata Titus sebaiknya mendalami hal tentang pengembangan karier dan kaderisasi karyawan Papua, asal 7 suku yang pada kenyataannya hingga saat ini hanyalah sebagai pekerja-pekerja kasar di lapangan, ujar Titus.
Pihak Freeport Nilai Gugatan Suku Amungme Tak Berdasar
Sementara itu Corporate Communication PT. Freeport Indonesia Budiman Moedrajat menjelaskan, gugatan suku Amungme yang diwakili Titus Natkime benar-benar tidak mendasar dan telah ditolak baik oleh pengadilan di Indonesia maupun Amerika Serikat karena kata Budiman, para penggugat tidak mampuan mengikutsertakan bukti-bukti.
PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mematuhi semua undang-undang dan peraturan Pemerintah Indonesia yang berlaku berkaitan dengan hak atas tanah, dan telah menjadi pelopor diantara perusahaan multinasional tentang masalah ini.
“Kesepakatan kami dengan masyarakat suku Amungme pada tahun 1974 merupakan pelopor rekognisi di Indonesia terhadap hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat) yang tidak dimanfaatkan untuk berburu dan mencari hasil hutan”, kata Budiman.
Berbagai kesepakatan dengan masyarakat Amungme dan Kamoro yang ada, telah melampaui apa yang diwajibkan secara hukum. Beberapa program tersebut masih terus berlanjut dan telah menghasilkan jutaan dolar untuk manfaat komunitas yang diperuntukkan desa-desa di dataran tinggi dan dataran rendah, termasuk perumahan, sekolah-sekolah, asrama-asrama pelajar/mahasiswa, klinik-klinik kesehatan, tempat-tempat beribadah, gedung-gedung komunitas, jalan-jalan, jembatan-jembatan, sumur-sumur air, tenaga listrik, dan dukungan untuk usaha-usaha kecil.
Selebihnya, dana perwalian kepemilikan tanah diadakan pada tahun 2001 untuk suku-suku Amungme dan Kamoro. PTFI telah berkontribusi 28 juta dolar AS terhadap dana tersebut sampai akhir tahun 2009, dan berniat untuk melanjutkan kontribusi tersebut dengan nilai 1 juta dolar AS per tahun.
Terpisah daripada program-program tersebut, kegiatan-kegiatan PTFI pada tahun 2009 saja telah berkontribusi 68.7 juta dolar AS, serta sekitar 398 dolar AS sejak dimulainya Dana Kemitraan Freeport untuk Pembangunan Masyarakat pada tahun 1996, yang telah membangun dan mendukung rumah-rumah sakit moderen, serta layanan kesehatan komprehensif, program pendidikan, pelatihan dan program-program kewiraswastaan yang dipilih dan dikelola oleh sebuah dewan dimana para pemimpin suku setempat juga menjadi bagian.
PTFI juga merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 1.4 miliar dolar AS (sekitar Rp 13 triliun dengan kurs saat ini) kepada pemerintah untuk pajak, royalti dan biaya-biaya lainnya, pada tahun 2009. Sebagian dari pembayaran tersebut kembali ke daerah sesuai undang-undang otonomi khusus kepada pemerintahan provinsi dan lokal untuk mendanai kegiatan-kegiatan mereka.
PTFI juga berkomitmen untuk menciptakan peluang-peluang untuk tenaga kerja masyarakat asli Papua. Tenaga kerja kami berjumlah kurang lebih 12,000 orang dan 9,394 orang kontraktor. Sekitar 98% karyawan PT Freeport Indonesia berkebangsaan Indonesia, dari jumlah tersebut 29% adalah orang asli Papua. Pada tahun 2008 jumlah keseluruhan orang asli Papua yang dikaryakan langsung oleh PTFI adalah 3,353 orang, suatu peningkatan dari angka 2,729 orang pada tahun 2007 – sebuah kecenderungan yang merupakan komitmen kami untuk dilanjutkan.
Pada tahun 2003, dengan menilik pada pembangunan jangka panjang masyarakat asli Papua di dalam bidang ketenagakerjaan, PT Freeport Indonesia telah membangun Institut Pertambangan Nemangkawi. Tujuan Institut tersebut adalah memberi peluang-peluang pra magang, magang dan perkembangan jenjang karir lanjutan bagi ratusan orang Papua tiap tahunnya.
Lebih dari 1,450 orang Papua telah mendaftar dalam program-program pra-magang dan magang Institut tersebut. Sejak Nemangkawi diresmikan, sudah lebih dari 1,000 pemagang telah diterima sebagai karyawan di PTFI atau perusahaan-perusahaan mitra kami. Selanjutnya, 730 orang pra-magang, semuanya dari Tujuh Suku setempat, telah lulus dan berlanjut ke program pemagangan penuh.
“Sejalan dengan Kontrak Karya kami di Indonesia, kewajiban kami sebagai warga korporasi dan ‘Voluntary Principles on Human Right and Security’, ditambah kewajiban perusahaan untuk melindungi para karyawan dan asetnya, PT Freeport indonesia (PTFI) bekerja sama secara harmonis dengan Pemerintah Indonesia untuk menjamin keamanan daerah kerja kami”, katanya.
PTFI, sebagaimana halnya tiap bisnis dan warga yang berdomisili di indonesia, tergantung pada Pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan ketertiban umum, keberlangsungan hukum, serta perlindungan terhadap perorangan dan aset. Sebagai bagian dari komitmen kami yang tidak dapat ditawar terhadap HAM, PTFI secara berkesinambungan menjalankan program pendidikan yang ekstensif mengenai HAM, dalam mana para karyawan, kontraktor, tenaga keamanan dan mitra-mitra komunitas dilibatkan.
Pemerintan Terlalu banyak Memberikan Konsesi Pada Freeport
Lingkungan dan Hutan Indonesia telah sering dikalahkan demi kepentingan investasi. Praktek paling nyata dan diketahui luas oleh publik adalah pemberian keistimewaan terhadap PT. Freeport Indonesia dan 12 perusahaan tambang menambang di kawasan hutan lindung.
Pemberian keistimewaan terhadap PT Freeport Indonesia secara gamblang menabrak dan mengangkangi prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang diamanatkan oleh TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agrarian dan Pengelolaan Sumber daya alam. Ada 9 Prinsip yang dilanggar dengan keistimewaan terhadap PT.Freeport Indonesia dan 12 perusahaan tambang tersebut, yakni:
Prinsip Pengelaan Sumber Daya Alam dalam TAP MPR No IX Tahun 2001
1.Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
4. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
5. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
6. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;
7.Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
8. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;
9. Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
Pelanggaran PT.Freeport Indonesia dan 12 perusahaan tambang lainnya
1. Dengan membiarkan sebagian kawasan lindung Indonesia dihancurkan oleh perusahaan tambang, tindakan ini menciptakan kekecewaan terhadap pemerintah pusat yang mengorbankan wilayah seperti Papua dirusak oleh operasi tambang PT.Freeport Indonesia.
2. Operasi tambang di kawasan lindungan mengancam hak akan lingkungan yang sehat bagi masyarakat suku Komoro, Amungme dan masyarakat adat lainnya yang berada di sekitar kawasan tambang. Hak atas lingkungan sehat adalah hak asasi.
3. Dengan dikeluarkannya Perpu no 1 tahun 2004 yang memberikan keistimewaan bagi 13 perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia, berarti mengangkangi jiwa dan supremasi Undang-undang no 41 tahun 1999, yang dibuat pada era reformasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
4. Hak keistimewaan bagi PT Freeport Indonesia dan 12 perusahaan lainnya tidak dilakukan secara transparan dan partisipasi rakyat.
5. Sangat tidak adil bagi masyarakat adat dan lokal yang hidup dikawasan operasi tambang dan sekitar kawasan lindung yang banyak dikriminalisasi oleh negara, sementara dalam akses sumber daya alam, sementara PT Freeport Indonesia dan 12 perusahaan tambang lainnya mendapatkan keistimewaan.
6. Generasi sekarang dan terlebih generasi masa depan sangat dirugikan dengan pemberian keistimewaan bagi PT Freeport dan 12 perusahaan lainnya.
7. Sangat jelas dilanggar.
8. Pemberian keistimewaan ini memprioritaskan sektor investasi dan mengalahkan aturan lingkungan hidup.
9. Hak masyarakat adat dicabut dari sekitar Taman Nasional Lorentz Papua dan operasi PT.Freeport Indonesia, dan justru Freeport diberikan keistimewaan menambang di kawasan lindung.
Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, “Pemerintah dan DPR harus mencabut keistimewaan bagi PT.Freeport dan 12 perusahaan tambang lainnya sebagai wujud keseriusan menjaga dan merestorasi kerusakan lingkungan. Jika tidak, citra Pemerintah SBY yang mulai memudar dalam perundingan lingkungan global, akan anjlok dan mencapai titik nadir terendah, dan akan bisa dinilai sebagai perestu pengrusakan lingkungan atas nama investasi besar. Ironisnya, daerah investasi tambang seperti Papua penduduknya adalah paling miskin di Indonesia.”
Pius Ginting, Pengkampanye Tambang WALHI menyatakan, “Selain aturan kehutanan, aturan lingkungan hidup seperti Peraturan Pemerintah tentang Air dilanggar PT.Freeport Indonesia dengan membuang tailing sebanyak 300.000 ton per hari ke Sungai Ajkwa. Kementerian Lingkungan Hidup harus mencabut kategori biru minus yang pernah diberikan kepada PT.Freeport Indonesia pada akhir masa jabatan Rachmat Witoelar, dan menggantinya dengan peringat hitam. Jika tidak, kementerian lingkungan hidup saat ini sama saja dengan membenarkan terus pelanggaran lingkungan yang dilakukan perusahaan PT.Freeport Indonesia, dan justru tertinggal dibelakang Menteri Kehuatanan saat ini yang lebih berani berusaha menertibkan pelanggaran PT. Freeport Indonesia