Kenapa di ‘hare gene’ masih ada percobaan intervensi thd stasiun televisi? Lantas, bagaimana “nasib” buku Susno yang baru akan diluncurkan di TB Gramedia, pekan depan? Apakah bakal terkena “cegah-edar” juga?
Di bawah ini saya nukilkan sebagian pengakuan Susno dlm buku tersebut. (Menurut sampeyan, mungkin gak Mabes Polri melarang peredaran buku ini?)
TENTANG SEBUTAN TRUNO-3 (h. 53)
Setelah mendengarkan sadapan telepon di Mahkamah Konstitusi, banyak yang berpendapat bahwa nama yang disebut-sebut sebanyak 28 kali dengan sebutan Truno-3 adalah Susno. Padahal, sebutan Truno-3 bukan dirinya dan tidak tertuju ke arah dirinya. Truno-3 adalah call-sign yang diperuntukkan bagi Direktur III Kombes Pol Yovianus Mahar yang saat itu bertugas sebagai Ketua Tim Penyidik. ”Saya bukan Truno-3! Saya Tribrata-5!” tegasnya.
TENTANG KRIMINALISASI PIMPINAN KPK (h. 56-57)
Menurut Susno, penyidikan kasus pimpinan KPK diawali dari adanya keinginan Kapolri untuk mengungkap motif di balik pembunuhan Nasruddin Zulkarnain. Kapolri lalu menunjuk Wakabareskrim Irjen Hadiatmoko untuk mengkoordinir penyelidikan dan penyidikan. Dalam mengemban tugas itu, Hadiatmoko membentuk lima tim.
Namun setelah bekerja relatif lama, tim ini tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak bisa menemukan bukti-bukti yang kuat untuk mengungkap motif pembunuhan. Padahal Kapolri sudah telanjur melaporkan ke Presiden, bahwa motif pembunuhan Nasruddin disebabkan adanya kejahatan suap yang melibatkan pimpinan KPK. Bisa dimengerti jika Kapolri kelabakan dan malu, karena laporannya ke RI-1 tidak terbukti.
Karena dinilai gagal, Hadiatmoko pun dicopot. Posisi Wakabareskrim dipindahkan ke pundak Brigjen Pol Dik Dik Mulyana. Kapolri kemudian membentuk tim baru di bawah komando Kombes Pol Yovianus Mahar, dan menunjuk Brigjen Pol Dik Dik Mulyana sebagai koordinator. Tugas utama mereka adalah mencari kasus yang dapat menjerat pimpinan KPK.
Seperti diketahui, Tim Penyidik itu akhirnya menciptakan kasus yang menjadikan Bibit dan Chandra sebagai tersangka. Sebagai hadiah, masing-masing mereka kemudian diberi bintang baru di pundak. Yovianus menjadi Brigjen Pol, sementara Dik Dik Mulyana menjadi Irjen Pol.
Inilah sebenarnya sumber kontroversi itu. Di sini Susno sama sekali tidak berada dalam lingkaran. ”Penyidikan itu sepenuhnya di bawah kendali Kapolri dan saya selaku Kabareskrim tidak diberi peran signifikan alias di-by pass,” tegasnya.
TENTANG HUBUNGAN DENGAN KAPOLRI (h. 100)
Menurut Susno, seorang pimpinan Polri seharusnya punya sikap: “satu kata satu perbuatan”. Namun, sikap itu susah dicapai jika di sebelah ruangan Kapolri dan Wakapolri ada ruangan lain yang disediakan untuk perwakilan dari seseorang yang bukan berasal dari kepolisian. ”Luar biasa itu!” serunya. ”Jika ada anak buah nggak nurut sama orang itu, dicopot. Makanya saya cuma bisa ketawa saja. Lho, orang itu duitnya banyak, gimana lagi?”
(Hayo, ruangan siapa yang dimaksud Susno?)
Menurut Susno, semua kejanggalan itu bisa diatasi dengan ketegasan. Sikap inilah yang kurang tertonjol di tubuh Polri. ”Termasuk Kapolri, nggak berani tegas. Nggak berani dia. Padahal dia bilang polisi itu reformis,” katanya.
TENTANG PENYELIDIKAN SKANDAL BANK CENTURY (h. 44-45)
Ketika masih menjabat Kabareskrim, Susno telah memerintahkan untuk menyelidiki dan menyidik dugaan korupsi di Bank Century. Ada tiga kasus yang diselidiki, tetapi saat itu Bareskrim sengaja tidak memprioritaskan penyidikan kasus penyertaan dana LPS sebesar Rp 6,762 triliun, yang melibatkan salah satu anggota KKSK. Apa pertimbangannya?
”Ada di antara anggota KSSK saat itu yang sedang mengikuti Pemilu Wakil Presiden dan kemudian menang, sehingga menunggu persiapan pelantikan Wakil Presiden. Tentunya, kalau langsung disidik, akan terjadi kehebohan, walaupun sebenarnya untuk membuktikan adanya korupsi dalam kasus penyertaan modal dari LPS senilai Rp 6,762 triliun