Bencmark: Di Antara Isu Keberlanjutan, Perubahan, dan Jalan Tengah

Bagikan artikel ini
Brief Update atas Moto Para Bakal Capres pada Pemilu 2024
Kendati tidak secara tersurat, namun bisa ditebak melalui gimik politik —sesuai judul— perihal moto alias semboyan ketiga bakal calon presiden (capres) yang beredar di publik. Ganjar misalnya, identik dengan isu KEBERLANJUTAN. Ia akan melanjutkan program Jokowi yang belum rampung dalam dua periode masa jabatan, terutama dua projek stategis yakni Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Sedangkan Anies dikenal lewat moto PERUBAHAN-nya, meski pola dan bentuk perubahan belum diurai detail, hanya garis besar yakni meraih keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya.
Sementara Prabowo dalam gimiknya seperti mengusung isu ‘JALAN TENGAH’. Ia menyelinap di antara dua moto calon kompetitornya pada pemilihan presiden 2024. Artinya, kadang condong kepada ‘keberlanjutan’, dan terkadang menyentil ‘perubahan’-nya Anies. Namanya juga jalan tengah. Mendayung di antara dua gelombang.
Akan tetapi, moto ketiganya —pada catatan ini— masih bersifat asumsi atau premis. “Tidak lebih.” Karena premis tersebut, selain sebagai titik mem-breakdown catatan brief update ini, juga asumsi dimaksud seolah sebagai teori yang dianggap benar. Padahal, sebenarnya bukan begitu. Ketiganya masih nisbi alias relatif. Sewaktu-waktu bisa berubah. Namanya juga politik praktis, kepentingan lebih menonjol ketimbang idealisme.
Nah, biar tampak sedikit jelas, mari kita breakdown satu-persatu ketiga semboyan di atas.
Pertama, moto keberlanjutan ala Ganjar. Pertanyaan paling kritis lagi mendasar guna mengurai isu dimaksud ialah: “Apakah program sebelumnya —era Jokowi— dinilai excellent baik clue maupun arahnya? Lantas, apa tolok ukurnya? Atau, hanya sekadar klaim sepihak?”
Susah menjawab pertanyaan tersebut secara letterlijk karena ketiadaan benchmark (pembanding) alias tolok ukur. Kenapa? Sebab, GBHN sudah tidak ada lagi dalam konstitusi sejak UUD 1945 diamandemen (1999-2002) oleh kaum (oknum) reformis. GBHN selaku cerminan politik rakyat atau ujud Kedaulatan Rakyat yang diterbitkan melalui Ketetapan/TAP MPR dan bersifat mengatur atau regeling sudah tidak ada lagi seiring dan sejalan dengan diturunkan status (down grade) MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara selevel BPK, MA, MK, DPA dan lain-lain. Artinya, setiap program dan kebijakan yang dibuat siapapun rezim pasca-amandemen UUD 1945, tidak lagi berbasis GBHN serta tak ada tolok ukur. Tidak punya pembanding.
Jadi, benar atau tidaknya ‘moto keberlanjutan’ masih tanda tanya, misalnya, apakah KCJB merupakan kemauan rakyat atau keinginan segelintir elit; apakah IKN itu kehendak rakyat, atau justru hasrat negara asing? Jujur. Pasca-pembajakan Kedaulatan Rakyat (status MPR) dalam konstitusi, publik sekarang bingung menilai, apakah program serta kebijakan pemerintah sudah on the track? Ya. Sulitnya penilaian capaian program ini akibat ketiadaan GBHN sebagai roadmap, benchmark atau pembanding. Retorika filosofi pun menyeruak di permukaan, “Bagaimana tindakanmu dianggap benar, sedang langkahmu tidak sesuai petunjuk?”
Kedua, moto ‘perubahan’-nya Anies berawal dari ketidakpercayaan. Memang. Setiap perubahan apapun di dunia bermula dari ketidakpercayaan atau distrust. Entah ketidakpercayaan terhadap siapa, tentang apa, belum dinarasikan secara detail. Garis besar ‘distrust‘-nya Anies menyoal ketidakadilan dan kesejahteraan, contohnya, harga kebutuhan publik terus meningkat, pungutan pajak di sana-sini, subsidi dicabut, utang menggunung bahkan untuk membayar bunga pun harus berutang lagi, tak sedikit BUMN merugi, daya beli melemah, polarisasi, kesenjangan menganga, dan lain-lain.
Sekali lagi, akibat ketiadaan benchmark —dalam hal ini GBHN— persepsi yang muncul berupa: “Jangan-jangan ‘moto perubahan’ justru merupakan sintesis dari keberlanjutan itu sendiri?” Kenapa demikian, karena perubahan tanpa bencmark yang jelas dapat menggiring bangsa ini semakin jauh dari tujuan. Mengapa? Sebab, timbul kekhawatiran asal berubah, misalnya, atau asal berbeda, atau sekadar mengejar antitesis semata.
Ketiga, ‘JALAN TENGAH’-nya Prabowo. Tak pelak, sebagai capres paling senior, ia memiliki jam terbang tinggi baik dalam copras-capres maupun di birokrasi/kemiliteran. Pengambilan ‘jalan tengah’ sebagai moto merupakan langkah jitu lagi cerdas. Artinya, Prabowo tidak ikut larut dalam kegaduhan para buzzer (cebong versus kampret) yang menguras energi. Apakah dengan ‘jalan tengah’ elektabilitas Prabowo meningkat? Belum tentu. Selain nyaris tidak ada lembaga survei (berbayar) yang bisa dipercaya, juga faktor popularitas —dalam copras-capres— tidak berbanding lurus dengan elektabilitas.
Demikian brief update disajikan. Tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Catatan ini bukan merupakan kebenaran, apalagi pembenaran. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Sekadar sharing yang bersifat opini. Tak lebih.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com