Antara Investasi Atau Invansi: “Menari Dalam Gendang Yang Ditabuh Asing”

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik tentang Perang Asimetris Jelang 2024
Tanpa kenal diri serta pengamalan geopolitik negerinya sendiri secara mendalam, sebuah bangsa akan sulit take off, bahkan ‘bingung’ menempatkan Kepentingan Nasionalnya dalam percaturan geopolitik global yang terus berubah dan bergeser (geopolitical shift). Inilah premis atau asumsi dalam cerita pendek (cerpen) bernapas geopolitik.
Sudah barang tentu, implikasi (negatif) dari premis di atas pada sebuah bangsa dimaksud, ia bisa tak sadar diri —sekali lagi, tidak sadar— bahwa program dan kebijakan yang dielu-elukan sebagai projek strategis pun, jangan-jangan justru merupakan skema asing —hidden agenda— dalam rangka menguasai/menduduki negerinya secara nirmiliter alias asimetris (Occupation without troops). Atau, ‘sanepo’ yang kerap dilafalkan adalah, “Menari-nari dalam gendang yang ditabuh oleh asing”. Tentu, akibat ketidakpahaman para elitnya soal tren geopolitik.
Nah, merujuk clue pada judul cerpen ini, pertanyaannya ialah:
1) apakah para elit kita memahami perbedaan antara investasi asing dan invasi (asing) secara nirmiliter alias asimetris; atau, tahu tetapi pura-pura tidak tahu?
2) apakah para perumus kebijakan negeri ini memahami bedanya komitmen dengan konspirasi; atau, justru sengaja merancukannya?
Kenapa demikian, bahwa pengalaman diwaktu VOC ‘meruda paksa’ nusantara cuma lewat kongsi dagang merupakan sejarah pahit di negeri ini, sedang anak bangsa abai antara komitmen dan konspirasi yang dibangun dengan pihak asing. Ya. VOC dulu menyelipkan unsur konspirasi pada komitmen yang dibangun dengan raja-raja nusantara sehingga berujung ‘terjajah’ sampai ratusan tahun.
Realitas komitmen ialah sebuah kerja sama berbasis kesepahaman, keterbukaan dan kejujuran guna meraih kepentingan bersama yang lebih besar. Satu ‘dicubit’ maka semua merasa sakit lalu membela/menolongnya; sementara konspirasi cenderung kepada persekongkolan (jahat) demi kepentingan kelompoknya saja. Ada satu tersakiti, atau bangkrut, semua saling menyalahkan bahkan saling tikam. Ada contoh baik di level global maupun lokal, kendati kurang letterlijk.
NATO dan Uni Eropa (UE) misalnya, ialah contoh pakta pertahanan dan/atau blok ekonomi yang dibentuk atas dasar prinsip konspirasi. Pakta/blok tersebut tak akan membuat dunia menjadi tempat yang aman, melainkan menghasilkan potensi konflik di masa depan. Menurut Putin, Presiden Rusia, pada Klub Diskusi Internasional di Valdai (2015), dikatakan: “Perusahaan-perusahaan Eropa telah menderita akibat sanksi Amerika Serikat (AS) yang dikenakan pada negara-negara. Jenis kebijakan yang diambil Washington mencerminkan bahwa AS memperlakukan negara lain bukan sebagai sekutu, tetapi seperti pengikut yang sedang dihukum”.
Sedangkan contoh di tingkat lokal soal satgas nonstruktural yang berbasis konspirasi, misalnya, Satgassus Merah Putih yang kini telah dibubarkan oleh Kapolri. Memang kurang elok dan tidak apple to apple menyandingkan NATO dengan Satgassus, namun setidaknya hal itulah permisalan paling aktual pada kerja sama berbasis konspirasi.
Karenanya, Kepemimpinan Nasional (Pimnas) ke depan seharusnya adalah sosok yang melekat ‘karakter panglima’. Dengan perkataan lain, bahwa karakter panglima itu bukan melulu militer atau mantan tentara, bukan! Sosok Bung Karno adalah contoh sipil namun kental ‘karakter panglima’-nya, atau Djuanda yang konsepnya mampu membidani UNCLOS 1982, ataupun Pak Harto dengan ‘repelita’-nya yang konsepsional lagi visioner, dan lain-lain.
Poin inti karakter panglima misalnya, selain paham geopolitik negeri sendiri baik kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman; konseptual lagi visioner; ia juga mengetahui kecenderungan geopolitik global, lalu mampu memetik momentum demi Kepentingan Nasionalnya.
India merupakan contoh aktual terkini. Sebelumnya, ia merupakan negara pengimpor minyak. Namun, tatkala meletus konflik Ukraina (2022), India bisa memanfaatkan momentum (geopolitical leverage) konflik tersebut sehingga kini menjadi negara pengekspor minyak di dunia. Ya. Konflik Ukraina dijadikan key point guna mengubah kelemahan (net oil importer) menjadi kekuatan (net oil exporter). Dan tak bisa dipungkiri, Pimnas India saat ini merupakan sosok visioner yang berkarakter panglima, sebab ia mampu merajut geopolitical leverage untuk Kepentingan Nasionalnya.
Di ujung cerpen ini, saya teringat wejangan guru ketika ngaji di kampung tempo lalu, “Le, jika Indonesia mau take off dan menjadi negara hebat, maka ia harus dipimpin ‘sosok panglima’, bukan politisi, tidak kaum akademis, apalagi golongan pedagang!”
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com