Ide Cina Tentang Peningkatan Keterwakilan Aspirasi Negara-Negara Berkembang di DK-PBB Sejiwa dengan Hasil KAA Bandung 1955

Bagikan artikel ini

Salah satu aspek paling krusial berkaitan dengan Reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada dua isu strategis. Pertama, apakah lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang saat ini ini terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina, bisa diperluas jumlah keanggotaannya lebih dari lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti yang ada sekarang. Artinya tidak ada penambahan jumlah  negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB  selain kelima negara anggota Dewan Keamanan PBB seperti yang ada sekarang yaitu AS, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina,

Kedua, apakah dengan tetap mempertahankan keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB yang notabene terdiri dari negara-negara pemenang Perang Dunia II yang berakhir pada 1945 lalu, memungkinkan diperluasnya jumlah anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang saat ini terdiri dari 10 negara, sekaligus memungkinkan adanya perluasan lingkup kawasan yang lebih mewakili aspirasi-aspirasi dari negara-negara yang sedang berkembang (developing countries). Yang berarti, kawasan Asia dan Afrika harus lebih ditampung aspirasinya lewat keanggotaan tidak tetap di Dewan Keamanan PBB.

Nampaknya  mengingat ide untuk memperluas jumlah keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB lebih dari lima negara yang ada saat ini tidak realistis, maka fokus utama upaya memperluas bobot keterwakilan negara-negara sedang berkembang di Dewan Keamanan PBB rasanya sangat penting dan mendesak.

Maka itu usulan Cina sebagai salah satu negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk meningkatkan keterwakilan negara-negara sedang berkembang di Dewan Keamanan PBB menurut saya sangat penting dan patut mendapat dukungan luas dari berbagai pemangku kepentingan atau stakeholders kebijakan luar negeri baik di Indonesia, ASEAN maupun negara-negara yang berada di kawasan Asia, Afrika, Timur-Tengah dan Amerika Latin.

Baca: China usul keterwakilan negara berkembang dalam DK PBB ditingkatkan

Bagaimana persisnya peningkatan keterwakilan negara-negara berkembang di Dewan Keamanan PBB bisa terwujud? Wang Yi, Kepala Kantor Urusan Luar Negeri Komite Sentral Partai Komunis China (CPC) berkata:

“Reformasi Dewan Keamanan PBB harus mampu meningkatkan keterwakilan dan menampung aspirasi negara-negara berkembang sehingga memungkinkan lebih banyak negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kecil berpartisipasi dalam setiap keputusan Dewan Keamanan PBB.”

Pandangan Wang Yi saya kira tepat dan sesuai dengan visi-misi Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 yang mana Indonesia selain Tuan Rumah juga salah satu dari lima negara sponsor KAA Bandung 1955.  Ada baiknya kita kutip kembali penggalan pidato Presiden Pertama RI Sukarno dalam sambutan pembukaan KAA Bandung 1955 untuk menangkap jiwa dari aspirasi negara-negara berkembang yang kiranya masih tetap relevan hingga kini:

“Saudara-saudara betapa amat dinamisnya zaman kit aini. Beberapa tahun yang lalu saya berkesempatan membuat Analisa di muka umum tentang kolonnialisme, dan bahwa saya di waktu itu minta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis-Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang mulai dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan, sampai ke Lautan Jepang.

Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis-garis hidup yang Panjang sekali itu sebagian besar adalah tanah jajahan, rakyatnya tidak merdeka, hari-harinya tergadai kepada sistem asing.Sepanjang garis hidup itu, sepanjang nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.”

(Baca: Dr Roeslan Abdulgani, The Bandung Connection, Konperensi Asia-Afrika Bandung tahun 1955. Jakarta: PT Gunung Agung, 1980)

Arah dari Pidato Sukarno pada pembukaan KAA Bandung 1955 cukup jelas. Bahwa saat berkumpul di Bandung itu, negara-negara peserta konferensi sudah tidak lagi jadi mangsa kolonialisme. Bukan lagi jadi perkakas atau obyek permainan kekuasaan negara-negara adikuasa. Negara-negara Asia-Afrika yang yang baru merdeka atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya, pada konferensi tersebut merupakan wakil bangsa-bangsa merdeka, bangsa-bangsa yang punya tokoh dan martabat di dunia internasional.

Sukarno menegaskan bahwa pada decade 1950an saat KAA Bandung berlangsung, bangsa-bangsa dari negara baru merdeka termasuk Indonesia sudah punya konsepsi-konsepsi baru, syarat-syarat baru, masalah-masalah baru, dan cita-cita baru. Dipersatukan oleh komitmen dan tekad bersama untuk melawan kolonialisme, imperialisme, rasialisme dan ketidakadilan global.

Ya ketidak-adilan global saya kira patut menjadi tema sentral untuk mendukung usulan China terkait peningkatan keterwakilan negara-negara berkembang di Dewan Keamanan PBB. Lagi-lagi, prediksi Sukarno pada pidato pembukaan KAA Bandung 1955 patut kita renungkan bersama.

Berkata Bung Karno: “Dan, saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendakmya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan material yang nyata, dilakukan oleh sekelompok kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Ia merupakan musuh  yang licin dan tabah, dan menyamar dengan berbagai cara. Di mana, bilamana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal jahat, yang harus dilenyapkanb dari muka bumi.”

Cukup sekian tentang pidato dan gagasan Sukarno yang amat inspiratif dalam menjabarkan aspirasi negara-negara berkembang yang hingga kini masih tetap relevan. Yang mana seharusnya juga menginspirasi ide reformasi PBB dan peningkatan keterwakilan negara-negara berkembang di Dewan Keamanan PBB sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Ihwal ketidakadilan global di balik dominasi lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB utamanya AS dan Inggris, memang sangat terasa bagi negara-negara berkembang. Kelima negara anggota tetap DK-PBB memiliki status istimewa dengan hak veto. Artinya meski hasil suara terbanyak DK PBB membuat keputusan, begitu salah satu anggota tetap menolak dan menggunakan hak vetonya, maka batallah keputusan DK PBB tersebut.

Masalahnya adalah, kelima negara tersebut, terutama negara-negara pemenang Perang Dunia II seperti Inggris, AS, dan Perancis, selain merupakan negara-negara adikuasa dari blok Barat, di masa silam juga merupakan negara-negara penjajah di kawasan Asia, Afrika, Timur-Tengah dan Amerika Latin. Adapun Rusia dan China yang juga anggota tetap DK-PBB, meski merupakan kekuatan pengimbang terhadap dominasi global AS, Inggris dan Perancis, namun seringkali kalah kuat dengan arus utama ketiga negara yang pada dasarnya juga tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Celakanya, justru ketiga negara blok Barat tersebut itulah (AS, Inggris dan Perancis) yang sedari awal terbentuknya DK-PBB pada 1946, berperan penting dalam membentuk tata dunia baru pasca Perang Dunia II.

Maka itu sangat tepat dan masuk akal ketika Wang Yi dalam pertemuan dengan Tareq MAM Al Banai, Ketua Bersama Negosiasi Antar-Pemerintah pada Reformasi DK PBB periode Sidang ke-77 Majelis Umum PBB, dan Alexander Marschik, Kepala Perwakilan Tetap Austria untuk PBB di Beijing pada Sabtu 29 April 2023:

“Kami juga berharap agar ketua bersama mampu mencapai konsensus dan mendorong proses reformasi DK-PBB agar bisa diakui oleh seluruh komunitas internasional.”

 

 

Kalau dipikir-pikir memang ide peningkatan dan perluasan keterwakilan negara-negara berkembang di DK-PBB seraya tetap mempertahankan lima negara anggota tetap DK-PBB, rasanya jauh lebih realistis. Apalagi terbetik kabar jika ide untuk menambah anggota tetap DK-PBB melampui lima negara yang ada sekarang, bakal memicu konflik dan destabilisasi politik baru di internal DK-PBB itu sendiri.

Sekadar pembanding silahkan simak pidato Presiden AS Joe Biden terkait ide Reformasi PBB baca di

Why “Reforming” the United Nations Security Council Is a Bad Idea

Sebab baru-baru ini sempat terbetik kabar bahwa kalau ada penambahan keanggotaan tetap DK-PBB maka AS akan merekomendasikan sekutunya dari Asia seperti Jepang, yang pastinya akan memicu protes dan penentangan dari Cina dan Rusia. Atau ketika India diusulkan masuk sebagai anggota tetap DK-PBB, maka akan memicu protes keras dari Pakistan. Belum lagi ketika Jerman diisulkan masuk jadi anggota tetap, akan memicu protes keras dari Itali. Atau Argentina bakal secara sengit memprotes masuknya Brazil sebagai anggota tetap DK-PBB.

Padahal, ide dasar dari Reformasi PBB adalah untuk menegakkan keadilan global seraya menyatupadukan aneka ragama aspirasi dari negara-negara berkembang agar bisa tersalurkan aspirasinya lewat keputusan-keputusan strategis DK-PBB, untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni global negara-negara adikuasa AS dan Eropa Barat sebagai para polisi dunia pasca Perang Dunia II. Saatnya Dunia Berubah untuk melahirkan tatanan politik dunia baru yang lebih adil, setara dan transparan.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com