Membaca BGSI Dari Perspektif Perang Asimetris

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik tentang Stockholm Syndrome di Finlandia
Lemahnya pemahaman dan wawasan geopolitik para elit politik dan/atau perumus kebijakan di negeri ini, jika tanpa upaya segera demi penguatan wawasan secara gegap gempita, suatu saat dapat berakibat fatal bagi bangsa dan negara. Mengapa demikian, karena mereka —para perumus/pengambil kebijakan— bisa terjerumus ke dalam apa yang disebut dengan istilah stockholm syndrome. Itu fenomena (kriminal) di Finlandia. Singkat ceritanya begini: “Gadis yang disekap oleh penculik yang meminta uang tebusan ke orang tuanya, justru jatuh cinta kepada penculik”. Geblek. Itulah sekilas tentang stockholm syndrome.
Kalau dalam padanan geopolitik, stockholm syndrome itu seperti bangsa yang jatuh cinta kepada bangsa penjajah, malah memuja entitas yang mau dan tengah merampas kehidupannya.
Seumpama manusia, bila telah jatuh cinta biasanya angel tuturane dan membela mati-matian ‘si dia’. Padahal, entitas dimaksud hendak dan sedang meruda paksa kehidupannya. Repot memang. Bangsa yang terlanda virus stockholm syndrome lazimnya tidak mampu membedakan antara investasi, mana intervensi, konspirasi, dan mana invasi yang dilakukan oleh pihak luar (asing) secara nirmiliter (asymmetric war). Itulah silent invasion alias invasi senyap.
Berbicara wawasan geopolitik, bukanlah soal latar pendidikan saja, atau berderet gelar akademis, berpangkat tinggi saja, atau top jabatan saja, bukan itu! Bukan soal itu. Wawasan geopolitik —ilmu negara— ada maqom tersendiri. Secara formal, ia bisa direguk di Lemhannas, misalnya, atau diperoleh pada Sesko TNI, Sespimti Polri dan lainnya. Namun, secara informal dapat ditekuni lewat apa yang sesungguhnya terjadi dalam dinamika konflik geopolitik global, bukan sekadar apa yang terjadi semata.
Kenapa?
Sebab, tak sedikit para pengambil kebijakan dan elit politik di republik ini, misalnya, gelarnya berderet, atau berpangkat tinggi, dst kerap kali justru melakukan big blunder (kekeliruan besar) —akibat tak punya wawasan geopolitik— terhadap bangsa dan negaranya, sedang mereka justru tidak menyadari blunder tersebut. Lho? Atau, jangan-jangan mereka pura-pura tidak memahami karena (terlibat) menjadi bagian dari infiltrasi asing itu sendiri? Maaf, kalimat terakhir ini cuma retorika nakal.
Katakanlah, Biomedical and Genome Science Initiative (BGSI) misalnya, program ini diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan RI di RS Cipto Mangun Kusomo, Jakarta (14/8/2022). Konon, inisiasi Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin dieksekusi setelah ia berkunjung ke Cina, dan menjalin kerja sama dengan Beijing Genomic Institute (BGI), pusat data dan penelitian genomik di Cina.
Retorika dan asumsi pun berkelindan, “Apakah Menkes Budi tidak bisa mengendus hidden agenda didirikannya BGI; apakah Pak Budi tidak mampu memprediksi jika kelak BGSI bisa menjadi perpanjangan (proxy) dari BGI?”
Retorika di atas memang tidak perlu dijawab, dan asumsi dimaksud hanya untuk pijakan melanjutkan cerita pendek (cerpen) bernapas geopolitik ini.
Tak pelak, jika DNA sebagian WNI sudah terekam dalam BGI via BGSI, misalnya, maka kuat diduga Cina bakal merekayasa patogen spesifik lewat bioenginer yang ditujukan terhadap WNI. Sekali lagi, ini cuma asumsi. Dan kelak, bisa saja digunakan sebagai bioweapon atau senjata biologi yang lebih murah daripada nuklir, namun efektivitasnya tidak kalah dahsyat.
Dan Cina hari ini, memang tengah mengumpulkan data genomik DNA dari berbagai ras di seluruh dunia dengan cover kepentingan ilmiah. Anehnya, pemerintah Cina justru melarang entitas asing mengumpulkan sumber daya genetik warga Cina baik di dalam maupun di luar negeri, sementara di pihak lain, ia sendiri malah gencar mengumpulkan data genomik di pelbagai penjuru dunia.
Kembali ke bioweapon. Ya, invasi senyap Cina terhadap negeri yang ditarget kelak, misalnya, cukup dengan melepas virus spesifik yang tidak dapat diantisipasi oleh DNA tertentu yang ditarget sebab datanya sudah terekam di BGI. Hal ini berimplikasi, negara target akan mengeluarkan budget besar untuk mengatasi virus yang meluas di dalam negeri sehingga melemahkan ekonomi negara dimaksud.
Pengalaman penanganan Covid19 contohnya, republik ini mengeluarkan dana sampai Rp 1000-an triliun untuk mengantisipasinya, sedang anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) hanya berkisar Rp 400-an triliun. Seandainya dulu tidak merebak Covid19, mungkin IKN bisa dibangun tanpa harus ditawar-tawarkan ke swasta dan asing, dan Pak Jokowi tidak perlu bersikap seperti sales promotion boy di Singapura. Ini cuma contoh melemahnya perekonomian akibat dilanda virus.
Cerpen ini tidak bermaksud menakut-nakuti atau hendak membatalkan kerja sama BGSI dan BGI, ataupun kerja sama lain yang telah dibangun dengan pihak luar. Tidak sama sekali. Namun, sekadar mengingatkan saja jika terdapat poin-poin yang membahayakan Kepentingan Nasional RI, kiranya bisa direvisi atau dikaji ulang.
Demikanlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com