Manuver China Di Timur Tengah (Bagian 1)

Bagikan artikel ini

Ketika China berhasil mempertemukan Arab Saudi dan Iran untuk menandatangani perjanjian damai di Beijing bulan Maret 2023, dunia terhenyak mengakui kepiawaian diplomasi China di pentas global. Musuh bebuyutan mewakili bangsa Arab dan bangsa Persia yang sudah tidak akur selama tujuh tahun terakhir, sepakat untuk rujuk kembali dengan mediasi China. Pemerintah China dapat kredit dan sekaligus melambungkan kemampuan diplomasinya dalam meredakan ketegangan di wilayah penuh gejolak Timur Tengah. Sebaliknya Amerika Serikat yang selama ini menjadi penjamin keamanan negara-negara Arab, kredibilitasnya sedikit terpinggirkan.

Normalisasi hubungan dua negara penting di wilayah Timur Tengah, Arab Saudi dan Iran sama sekali bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah diupayakan dalam dua tahun terakhir oleh beberapa pihak terutama mediasi yang dilakukan oleh Irak dan Oman. Suasana kondusif di wilayah Timur Tengah sudah mulai bergulir sejak berakhirnya blokade negara-negara Teluk anggota GCC (Gulf Cooperation Council) dan Mesir terhadap Qatar yang dianggap mendukung para demonstran saat terjadi Arab Spring melalui siaran dan komentar radio dan televisi di negaranya termasuk Televisi Al-Jazeera yang siarannya menjangkau seluruh jazirah Arab dan wilayah MENA (Middle East and North Africa) secara luas. Kejatuhan diktator Mesir, Presiden Hosni Mubarak telah memantik kemarahan negara-negara Arab untuk memusuhi Qatar.

Keterlibatan China dalam perkembangan politik-keamanan di Timur Tengah dimulai dari kegiatan di bidang perekonomian, perdagangan dan investasi yang dikemas dalam program BRI (Belt and Road Initiative) – suatu program andalan Presiden China Xi Jinping untuk menghubungkan wilayah Asia, Eropa, Afrika dan Timur Tengah dalam kegiatan perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur. Penambahan unsur keamanan dan militer China di wilayah tersebut didasari atas kebutuhan untuk menjaga keselamatan kapal-kapal tanker pengangkut minyak dari wilayah Teluk Persia, yang merupakan pemasok terbesar kebutuhan energi dalam memutar mesin-mesin produksi di China. Seiring dengan menurunnya peran dan kredibilitas AS sebagai penjamin stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah, negara-negara MENA menyambut baik kemunculan China sebagai kekuatan alternatif dan sekaligus pengimbang kekuatan AS dan Barat.

AS dan Barat juga tidak keberatan dengan meningkatnya peran China di wilayah sarat konflik Timur Tengah. Keterlibatan aktif China diharapkan dapat ikut menanggung bersama dalam mempertahankan perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut. Dengan demikian China tidak hanya menjadi “free rider” yang hanya menikmati dan memanfaatkan jaminan keamanan oleh AS dan Eropa di pusat-pusat dan jalur lintasan kegiatan ekonomi-perdagangan di Timur Tengah untuk kepentingan ekonominya. Namun demikian AS juga terus memantau peningkatan pengaruh politik dan kehadiran pasukan keamanan/militer China di MENA. Kunjungan Presiden Xi Jinping ke Arab Saudi bulan Desember 2022 yang juga menyelenggarakan Pertemuan Puncak China dengan GCC, merupakan sejarah baru hubungan China-Timur Tengah. Kunjungan Presiden Iran Ebrahim Raisi ke Beijing bulan Februari 2023, telah menunjukkan meningkatnya posisi geostrategis China terhadap MENA.

Rekonsiliasi Anggota GCC

Perkembangan wilayah Timur Tengah banyak dipengaruhi oleh kondisi dan interaksi negara-negara kaya minyak yang tergabung dalam organisasi GCC (Gulf Cooperation Council) yang beranggotakan 6 (enam) negara, yaitu Arab Saudi, UAE (United Arab Emirate), Kuwait, Qatar, Bahrain dan Oman. Pelaksanaan program-program GCC menjadi terganggu ketika terjadi perselisihan di antara anggotanya. Tahun 2017 Arab Saudi bersama UAE dan Bahran ditambah Mesir melakukan pembekuan hubungan diplomatik dengan Qatar karena pemberitaan-pemberitaan Al-Jazeera ikut mendukung gerakan Arab Spring, termasuk ‘people power’ yang berhasil menggulingkan Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Tiga setengah tahun kemudian, negara-negara di jazirah Arab harus merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan situasi internasional, terutama dalam menyikapi anjloknya harga minyak dunia dan penyebaran wabah Covid-19 yang mematikan, Arab Saudi dan UAE mulai mengendorkan sikap agresifnya terhadap Qatar. Sikap perlunya rekonsiliasi dari dua negara utama GCC mendapat sambutan positif dari pimpinan pemerintahan Doha. Pada Gulf Summit GCC ke-41 yang berlangsung di kota Al-Ula, Arab Saudi pada awal Januari 2021, sikap permusuhan dan blokade terhadap Qatar diakhiri. Penghentian permusuhan dengan Qatar juga dapat meningkatkan citra Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) sebagai pemimpin baru Arab Saudi sekaligus pemimpin di kalangan GCC.

Setelah konflik intra keanggotaan GCC tertanggulangi, negara-negara Arab di cekungan Teluk Persia mulai melebarkan semangat damainya ke negara lain se kawasan, yaitu Iran. UAE dan kemudian disusul Kuwait segera membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan negara para mulah yang beraliran Syiah tersebut. Giliran berikutnya, Arab Saudi dengan dimediasi oleh Irak dan Oman melakukan pembicaraan dengan Iran dalam rangka pencairan hubungan diplomatik mereka yang terputus sejak tahun 2016 setelah terjadi demonstrasi besar-besaran menerobos gedung Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran, memprotes eksekusi hukuman mati terhadap ulama Syiah di Riyadh.

Tidak ada yang kebetulan jika arah peredaan ketegangan dan semangat damai yang menggebu di jazirah Arab ini dimanfaatkan China untuk menerapkan diplomasi globalnya. Dalam ‘Arab Policy Paper’ yang dikeluarkan pemerintah China bersamaan dengan kunjungan perdana Presiden Xi Jinping ke Timur Tengah (Arab Saudi dan Mesir) pada bulan April 2015, menyebutkan Visi China yaitu: menyusun strategi pembangunan bersama negara-negara Arab, menggarap potensi atas kelebihan masing-masing, kerjasama meningkatkan kapasitas produksi internasional, utamanya kerjasama dalam pemenuhan energi, pembangunan infrastruktur, peningkatan kegiatan perdagangan dan investasi, serta kerjasama dalam pengadaan energi nuklir, satelit dan sumber-sumber energi baru.

Sebagaimana pemahaman dunia pada umumnya, China melihat Arab Saudi dan Iran adalah dua negara yang dari segi politik, ekonomi maupun militer merupakan dua kekuatan besar Timur Tengah yang dalam kalkulasi geostrategis perlu dijadikan mitra penting di wilayah tersebut. Selain menjadi pemasok utama energi, Arab Saudi dan Iran juga merupakan mitra dagang penting China di Timur Tengah dengan volume perdagangan tahun 2021 tercatat masing-masing sebesar US$ 87 milyar dan US$ 16 milyar. Dengan kepemilikan berbagai unsur di atas, maka pemerintah Beijing telah memberikan status “Comprehensive Strategic Partnership”, suatu level tertinggi dalam kemitraan diplomatik, kepada pemerintah Riyadh dan Teheran.

Bersambung…

Muhammad Asruchin, Diplomat Senior Kementerian Luar Negeri RI

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com