Penguatan BRI Di Jazirah Arab
Titik berat hubungan luar negeri China dengan negara lain tidak terkecuali dengan Timur Tengah adalah kepentingan ekonomi. Sejak Presiden China Xi Jinping meluncurkan program “Belt and Road Intiative” (BRI) pada tahun 2013, yang kemudian dijadikan sebagai alat utama kebijakan luar negeri China. Program ambisius ini direncanakan dapat menghubungkan 65% penduduk dunia dengan China sebagai titik sentral jaringan perdagangan global – dalam rangka menghidupkan kembali perlintasan dagang legendaris “Jalur Sutera” yang terbentuk sejak jaman Dinasti Han (202 SM – 220 M). Dengan makin tingginya ketergantungan China terhadap pasokan minyak dari Timur Tengah, maka China menempatkan kawasan Timur Tengah sebagai kawasan penting dalam kebijakan globalnya.
Tercatat sejak tahun 2015 China merupakan pengimpor minyak terbesar dunia, hampir separuh kebutuhannya tersebut berasal dari negara-negara Arab di sekeliling Teluk Persia, utamanya adalah Arab Saudi. China juga mengimpor LNG dari anggota GCC lainnya, Qatar. Saat ini Arab Saudi dan UAE telah menjadi mitra dagang non-minyak terbesar dunia bagi China. Dalam ‘BRI Investmen Report 2021’, porsi terbesar investasi proyek-proyek BRI ditujukan untuk wilayah MENA (Middle East and North Africa). Tahun berikutnya wilayah ini menerima 23% dari investasi proyek BRI, antara lain untuk pembangunan Red Sea Gateway Terminal, High-Speed Railway yang menghubungkan Mekah dan Medinah, Pelabuhan Hamad di Qatar, megaproyek Area Teknologi di Terusan Suez, pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Irak maupun daerah Otonomi Kurdistan, serta joint-venture dengan Iran untuk membangun Pelabuhan Chabahar dan Terminal minyak Jask Port di selatan Selat Hormuz.
Selain memfokuskan pada kerjasama perdagangan dan investasi, China juga menawarkan penjualan dan pemasangan peralatan dengan teknologi tinggi, termasuk teknologi digital 5G dari perusahaan Huawei telah mencapai kesepakatan dengan negara-negara anggota GCC. Bahkan berbeda dengan AS dan negara-negara Eropa yang menolak untuk melakukan penjualan persenjataan teknologi mutakhir kepada negara-negara Arab, China justru memanfaatkan ketidakkonsistenan sikap Barat tersebut dengan menjual peralatan militer canggih seperti rudal Dongfeng dan drone pembom Winglong. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya saling percaya kedekatan hubungan antara negara-negara Timur Tengah dengan China.
Prinsip “non-interference in and partnership with other states” yang diterapkan China di Timur Tengah sangat cocok dengan sistem pemerintahan monarki dan kekuasaan otoriter yang banyak berlangsung di wilayah Timur Tengah. Berbeda dengan AS dan negara-negara Barat yang sibuk mengurusi pelanggaran HAM, good government, dan demokratisasi, Beijing mengusung pendekatan “development peace” yang berbeda dengan “democratic peace” sebagai misi Barat dalam menegakkan stabilitas dan keamanan di dunia. Kelompok negara MENA juga tertarik dengan model “authoritarian capitalism’ yang dikembangkan di China sejak tokoh pembaruan China Deng Xiaoping melancarkan program ‘Reformasi dan Pintu Terbuka’ di awal tahun 1980-an.
Kedekatan dan bahkan keberpihakan negara-negara Arab serta negara berpenduduk muslim lainnya terhadap China terlihat dalam isu Xinjiang Uighur. Ketika organisasi internasional HAM serta AS Eropa menuduh China telah melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Uighur yang beragama Islam, pemerintahan negara Arab serta anggota MENA tidak bereaksi dan bahkan mengabaikan sama sekali tuduhan tersebut. Ketika negara-negara Eropa akan membicarakan masalah Xinjiang Uighur di PBB tahun 2019, perwakilan dari Mesir, Arab Saudi, UAE dan Pakistan menentangnya. Menlu Mesir Sameh Shukri saat itu menyatakan agar negara lain tidak perlu melakukan campur tangan terhadap masalah dalam negeri China.
Persaingan Geostrategis Di Timur Tengah
Pemerintah China tidak bisa mengklaim sendirian keberhasilannya dalam mengakurkan dua kekuatan utama di Timur Tengah, mengingat Irak dan Oman telah bekerja keras mendamaikan Arab Saudi dan Iran sejak tahun 2021. Selain itu China juga sangat hati-hati dalam menindaklanjuti kesepakatan damai ini sehingga tidak merugikan kepentingan AS yang selama ini merupakan penjamin keamanan negara-negara Arab yang menjadi koalisi dekatnya. dalam kaitan tersebut, China akan melakukan 3 (tiga) Tidak, yaitu: Tidak akan menyaingi atau mengambil-alih status AS sebagai pelindung keamanan atau mengganggu kepentingan AS; Tidak melakukan keberpihakan penuh kepada Iran; dan Tidak melibatkan sama sekali Rusia sebagai musuh utama AS dalam proses perdamaian Timur Tengah.
Meskipun Arab Saudi dan Iran telah sepakat untuk menghadiahkan kemenangan diplomasi di Timur Tengah kepada China, namun demikian guna menghindari kecurigaan serta perasaan terpinggirkan, semua perkembangan perjanjian damai tersebut diinfokan langsung kepada Washington. Peran China ini terlihat sebagai kesiapan China untuk terlibat aktif dalam mengatasi permasalahan dunia, sebagaimana yang diharapkan oleh AS selama ini. Dengan demikian China tidak terus-menerus menjadi “free-rider” yang memanfaatkan situasi di berbagai belahan dunia untuk kepentingan ekonominya, tetapi sudah harus siap berperan sebagai “responsible power” yang ikut ambil bagian dalam mempertahankan perdamaian dan keamanan dunia.
Terus meningkatnya lalulintas barang terutama pengangkutan minyak oleh kapal-kapal tanker dari negara-negara Teluk ke China telah mendorong China untuk mengamankan proyek ‘Maritime Silk Road’ dengan meningkatkan Armada Laut sepanjang jalur lintasan laut yang menghubungkan Teluk Persia dengan China melalui Terusan Suez, Laut Arab, Laut Merah, Samudra Hindia dan Laut China Selatan. Dalam mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai ketegangan atau konflik di wilayah Timur Tengah, China juga telah meningkatkan hubungan militer serta terlibat lebih banyak kegiatan ‘Joint Maritime Exercises’ dan memperkuat kerjasama dengan negara-negara META dalam melancarkan operasi terhadap ancaman-ancaman keamanan non-tradisional. Pada tahun 2017, Angkatan Laut China PLAN (People’s Liberation Army Navy) membangun pangkalan militer pertama di luar China, yaitu di Djibouti yang berdekatan dengan Selat Hormuz.
Dengan meningkatnya pamor China dan sebaliknya merosotnya citra AS di Timur Tengah, muncul pertanyaan apakah China siap bersaing atau bahkan menggantikan peran AS dalam konstelasi geostrategis di Timur Tengah? Banyak pengamat berpendapat China tidak akan menggeser peran AS di Timur Tengah, setidaknya tidak dalam waktu dekat. China hingga saat ini akan terus melanjutkan manuver diplomasi serta memperkuat pengaruh ekonomi, perdagangan dan investasinya dengan negara-negara di Timur Tengah, sementara tetap menyerahkan urusan pemeliharaan keamanan di wilayah tersebut kepada AS. Profesor Fan Hongda dari Middle East Studies Institute of Shanghai Internasional Studies University juga meyakini bahwa Beijing tidak ada rencana untuk merebut posisi Washington di Timur Tengah, namun lebih mengutamakan pengaruh di sektor ekonomi serta investasi untuk proyek-proyek infrastruktur BRI.
Pendapat serupa disampaikan oleh Direktur “The China-Middle East Project at Tehran’s Center for Middle East Strategic Studies”, Zakiyeh Yazdanshenas yang mengatakan bahwa Beijing tidak mempunyai kemampuan dan tidak pula memiliki keinginan untuk menghadirkan kekuatan militernya di wilayah Timur Tengah sebagaimana yang dilakukan oleh AS, namun mencoba keras untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah terutama di negara-negara Teluk Persia. Selanjutnya ditambahkan adanya tiga tujuan utama China dalam hubungannya dengan negara-negara Arab dan wilayah MENA pada umumnya, yaitu: Memastikan terjaminnya keamanan pada jalur lintasan tanker minyak dan gas, mengusahakan biaya murah untuk kegiatan perdagangan China, dan meningkatkan prestise negaranya sebagai kekuatan dunia yang bertanggungjawab.
Prospek Stabilitas dan Perdamaian Timur Tengah
Keberhasilan China membawa Arab Saudi dan Iran menandatangani perjanjian damai disambut baik oleh semua negara Arab dan wilayah MENA serta dunia internasional pada umumnya. Perdamaian dua negara penting di Timur Tengah tersebut berdampak positif terhadap stabilitas dan keamanan di MENA, wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara secara keseluruhan. Rujuknya Riyadh dan Teheran sebagai pusat kekuasaan aliran Sunni dan Syiah telah berdampak berkurangnya ketegangan maupun konflik sektarian Sunni-Syiah di Yaman, Syria, Irak dan Lebanon. Arab Saudi, Iran dan negara-negara Arab lainnya menyambut baik munculnya China sebagai kekuatan alternatif dan sekaligus terbentuk kekuatan multipolar menggantikan peran tunggal AS di Timur Tengah selama ini.
Meskipun China selalu menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah berusaha untuk menggantikan peran AS sebagai kekuatan yang menentukan di Timur Tengah, namun China terus memperluas pengaruh diplomasi ekonomi dan politiknya di wilayah tersebut. Sukses mendamaikan musuh bebuyutan Arab Saudi dan Iran, kini China ingin membuat terobosan lebih lanjut di wilayah panas Timur Tengah. Pertengahan April 2023, Menlu China Qin Gang menyatakan kesiapan Beijing untuk menjadi penengah perundingan antara Israel dan Palestina, suatu konflik paling rumit yang berlatar belakang perebutan wilayah, warisan sejarah keagamaan, dan persaingan memperebutkan supremasi sesama keturunan Nabi Ibrahim antara bani Israel dan bangsa Arab.
Terkait penanganan konflik Palestina-Israel yang berlarut-larut, negara-negara Arab dan dunia pada umumnya melihat secercah harapan kepada China, mengingat upaya AS dan negara Barat selama ini tidak kunjung berhasil dalam menyelesaikan konflik tersebut. Dalam hal ini AS dianggap sulit bersikap netral karena kedekatan dan keberpihakannya dengan Israel. Invasi militer AS di Irak 2014, Libya 2015, campur tangan AS pada Perang Saudara di Syria, dan permusuhannya dengan Iran membuat kredibilitas AS rendah untuk menjadi mediator di wilayah Timur Tengah. Sebaliknya China mempunyai hubungan baik dengan seluruh negara di kawasan tersebut, termasuk dengan Israel. Adapun posisi China terhadap Palestina selama ini adalah memberikan dukungan penuh terhadap perjuangan rakyat Palestina, termasuk dukungannya di forum-forum PBB.
Keberhasilan diplomasi China mendamaikan musuh bebuyutan dua negara penting di Timur Tengah, Arab Saudi dan Iran memang memberikan ruang lebih leluasa bagi negara-negara Arab Teluk untuk mengembangkan keamanan regional dengan diversifikasi kekuatan lain, utamanya dengan China yang makin intensif melakukan manuver keterlibatannya di wilayah MENA melalui peningkatan hubungan perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur. Walaupun demikian China sama sekali belum mampu menggeser peran AS yang tetap akan menjadi pemeran utama di wilayah tersebut dengan kehadiran militernya yang sangat besar dalam menjamin keamanan negara negara-negara Arab. Dengan demikian kini mulai terbentuk kekuatan multipolar dalam percaturan geostrategis di jazirah Arab dan wilayah MENA pada umumnya.
Muhammad Asruchin, Diplomat Senior Kementerian Luar Negeri RI