Berbagai Kelompok Sayap Kiri Barat Harus Menentang Perang Dingin Gaya Baru ala AS Terhadap Cina

Bagikan artikel ini

Klas penguasa di Amerika Serikat saat ini semakin memperkuat sikap agresif dan permusuhannya pada Republik Rakyat Cina(RRC). Menurut Fiona Edwards dalam artikelnya yang bertajuk: The left must oppose the US cold war on China and not sit on the fence  menulis bahwa Perang Dingin gaya baru yang dilancarkan pemerintahan Presiden Donald Trump tersebut bukan saja membahayakan Cina, melainkan juga seluruh umat manusia di pelbagai belahan dunia.

Maka itu menurut Fiona Edwards, seluruh kelompok sayap kiri di Barat merupakan suatu hal yang vital untuk memahami kondisi yang membahayakan itu dan mengambil tindakan untuk memastikan gagalnya Perang Dingin Gaya Baru yang dilancarkan pemerintahan Trump. Seraya mengabaikan godaan untuk bersikap netral ketika soal hidup dan mati sedang jadi pertaruhan dalam persaingan global saat ini.

Saat ini imperialisme AS merasa gusar dan putusasa karena gagal membendung kebangkitan Cina sebagai kekuatan adikuasa. AS juga merasa gagal memperlambat laju pertumbuhan dan peningkatan ekonomi Cina. Sehingga akhirnya merasa gagal dalam mempertahankan dominasi globalnya di dunia internasional.

Adapun pandemi global Covid-19 secara AS relatif perekonomiannya menurun lebih drastis dibandingkan Cina. Sehingga menyerang Cina menjadi langkah yang secara akselerafif dilancarkan pihak Washington.

Jika AS berhasil dalam Perang Dingin Gaya Baru yang dilancarkannya maka berbagai kebijakan imperialisme AS yang diarahkan untuk menguasa hegemoni global bakan tidak bisa dibendung lagi. Misalnya berbagai kebijakan strategis AS dalam mengatasi pandemi global, climate change, kemiskinan, rasialisme, dan juga perang.

Akan menjadi isu sentral bagi AS dalam Perang Dingin Gaya yang dilancarkannya kepada Cina, bahwa Cina merupakan musuh utama dunia internasional terkait isu-isu stragtegis di bidang kemanusiaan.

Maka dari itu pandangan netral yang menganut slogan “tidak Washington dan juga tidak Beijing,” sejatinya justru akan menguntungkan Washington dalam Perang Dingin yang mereka lancarkan itu.

Dalam menanggulangi pandemic Covid-19, justru pemerintah AS dan bukannya Cina, yang membahayakan kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Pemerintah Trump telah membiarkan Covid menyebar di masyarakat, karena para elit penguasa beranggapan bahwa peruntungan dalam kegiatan ekonomi-bisnis harus dilindungi dengan mengorbankan kehidupan umat manusia. Saat ini 194 ribu orang telah meninggal dunia akibat wabah pandemic Covid-19.

Sedangkan di Cina, korban jiwa akibat Covid hanya 5 ribu jiwa. Karena didorong oleh tujuan menyelamatkan umat manusia, pemerintah Cina menerapkan kebijakan memberikan pelayanan kesehatan secara efektif semaksimal kepada masyarakat. Seperti karantina total, social distancing, sistem melayak dan pemeriksaan adanya wabah Covid, tes suhu badan, penyediaan masker maupun alat-alat perlengkapan diri lainnya yang dibutuhkan. Alhasil, Cina saat ini berhasil mengalahkan virus Covid.

Menurut catatan Fiona Edwards, pandemi Covid di AS jauh lebih mematikan daripada di Cina. Ketika AS lebih mengutamakan perlindungan pada kegiatan ekonomi-bisnis agar tidak merugi, pemerintah Cina justru mengutamakan kesehatan masyarakat.

Ketika global climate change berada dalam ambang batas yang membahayakan yaitu 1,5  derajat celcius, maka kebijakan AS terhadap Climate Change bisa menimbulkan bencana kemanusiaan. Pemerintah Trump sejak empat tahun terakhir ini selalu memblokir setiap langkah maju yang diprakarsai dunia internasional dalam bidang climate change. Antara lain dengan menarik diri dari  the UN Paris Climate Change Agreement. Dan AS merupakan satu-satunya negara yang menolak berkomitmen pada the UN Paris Climate Change Agreement.

Meski AS saat ini merupakan penghasil dan eksportir minyak dan gas terbesar di dunia, namun klas penguasa di Washington tetap bertekad untuk mengaburkan kenyataan yang sebenarnya. Bahwa Cina lah yang bertanggungjawab terhadap Climate Change, dalam upaya menciptakan disorientasi di kalangan para aktivis gerakan lingkungan hidup di negara-negara Barat.

Padahal justru AS lah yang bertanggungjawab terhadap semua produksi  yang berakibat menyebarnya carbon emisi. Sedangkan Cina dua kali lipat lebih rendah, yang hanya sekittar 12,7 persen.

Cina telah mendedikasikan sumberdaya nasionalnya untuk membangun green industries, yang didorong oleh sebuah komitmen untuk pembangunan berkelanjutan dan membangun peradaban berbasis ekologi. Selain itu Cina juga menggiatkan pembangunan energi yang terbarukan sebagai alternatif terhadap minyak dan gas.

Selain itu, dalam bidang hak-hak asasi manusia, AS terlihat jelas kemunafikannya. Seakan AS merupakan tempat kebebasan dan demokrasi, sebagaimana dikumandangkan oleh media-media Barat. Sedangkn di Cina adalah tempat terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kebebasan. Ini jelas munafik dan absurd.

Betapa tidak. Beberapa orang kulit hitam ditembak mati secara brutal oleh aparat kepolisian setempat. Media AS CBS mewartakan bahwa aparat kepolisian AS telah menembak mati 288 orang sejak George Floyd mati terbunuh oleh aparat kepolisian tiga bulan yang lalu. Dan lagi-lagi, warga kulit hitam dan berwarna yang merupakan korbannya.

Ketika AS dengan dalih memerangi terorisme telah melancarkan serangan militer ke Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah melalui invasi dan pendudukan militer yang brutal, dan membunuh jutaaan warga sipil di Timur Tengah. Sebaliknya Cina sama sekali belum pernah sekalipun melakukan hal-hal yang serupa.

Berita-berita bohong yang dilansir berbagai media Barat adalah perlakuan buruk pemerintah Cina terhadap suku Uighur yang beragama Islam. Pemerintah Trump telah menuding pemerintah Cina telah menahan jutaan warga muslim Uighur di sebuah kamp konsentrasi tanpa bukti sama sekali. Faktanya, saat ini penduduk Uighur di Xinjiang malah meningkat dua kali lipat dalam 40 tahun terakhir ini. Dari 5,5 juta menjadi 11 juta. Bahkan saat ini ada 24 ribu masjid di Xinjiang.

Saat ini, Cina di usianya yang 76 tahun, telah berhasil mengentaskan 860 juta rakyatnya dari kemiskinan. Sementara AS dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris bisa maju dan bertumbuh pesat akibat tindakan mereka di masa lalu dalam menjajah, memperbudak dan menjarah negara-negara lain di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah.

Sedangkan Cina bisa maju seperti sekarang tanpa mendominasi negara-negara lain. Namun saat ini kemajuan Cina sedang menghadapi sikap agresif AS. Saat ini dari 800 pangkalan militer AS yang ditempatkan di luar negeri, 400 di antaranya ditujukan untuk mengepung militer Cina.

Saat ini Cina hanya punya satu pangkalan militer di Djibouti. Sedangkan AS telah meningkatkan anggaran militernya mencapai 740 miliar dolar AS untuk tahun 2021.

Selain itu, Cina menawarkan model dalam membangun hubungan internasional yang berbeda dengan AS. Cina menawarkan model hubungan antarbangsa yang berbasis pada saling menghormati negara-negara lain dalam menentukan nasibnya sendiri, kerjasama saling menguntungkan atau win-win cooperation, sehingga tercipta saling menguntungkan dalam bidang investasi dan perdagangan.

Doktrin politik luar negeri Cina yaitu membangun kerjasama multilateral menuju saling berbagi masa depan untuk seluruh umat manusia, sangat kontras perbedaannya dengan Doktrin Presiden Trump the American First, yang mana seluruh umat manusia harus tunduk pada kepentingan kelompok penguasa di AS.

Maka itu berbagai kelompok sayap kiri di Barat harus menentang Perang Dingin Gaya Baru yang dilancarkan Trump kepada Cina. Karena musuh global bukan Cina, melainkan ada di dalam negeri AS itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com