Semakin Memanasnya Ketegangan AS-Cina di Laut Cina Selatan, Penempatan THAAD Bisa Meluas dari Korea Selatan Ke Asia Timur dan Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Semakin memanasnya ketegangan militer  AS versus Cina di Laut Cina Selatan, jangan Sampai Jadi dalih untuk meluaskan penempatan THAAD di Jepang, Taiwan dan Singapure.

Laut Cina Selatan nampaknya semakin bergelok sejak Juli lalu. Angkatan Luat AS dan Cina sama-sama melakukan latihan militer di wilayah yang disengketakan tersebut. Dalam latihan militer tersebut Angkatan Laut AS mengerahkan dua kapal induknya yaitu USS Nimitz dan USS Ronald Reagan untuk unjuk kekuatan di hadapan Angkatan Laut Cina.

Kedua kapal induk itu berbobot 100.000 ton dan masing-masing membawa 90 lebih pesawat tempur dan di kedua kapal induk itu berkuatan 12000 personil.

Kalau melihat sekilas, memang sepertinya Angkatan Laut AS masih lebih superior. Karena sejauh ini Cina hanya mengawasi manuver Angkatan Laut AS di wilayah Laut Cina Selatan melalui sistem pertahanan antirudal seperti  DF-21D dan DF-26. Dengan daya jangkau 4.000 kilo meter, dan diyakini dapat mencapai pangkalan angkatan laut AS di Guam.

Namun pada September ini, seperti dilansir Asia Times, Angkatan Laut Cina mulai unjuk kekuatan dengan memamerkan dua kapal induknya, yaitu  Liaoning dan Shandong . Kedua kapal induk Cina itu dipertunjukkan dalam latihan militer di Laut Bohai dan Laut Kuning. Kapal induk Liaoning juga merupakan pesawat pengangkut pesawat pesawat tempur dengan sistem peluncur yang efisien seperti katapel (catapult) launch system.

Sejumlah pengamat menduga konflik AS-China di Laut China Selatan akan awet karena kedua negara sama-sama bersikap keras.

Nampaknya kedua kapal induk Cina ini akan diproyeksikan untuk menghadapi manuver militer kekuatan Angkatan Laut AS baik di Selat Taiwan maupun Laut Cina Selatan. Bahkan juga kemungkinan di Samdura Hindia, yang merupakan jalur transportasi utama maritim Cina. Sudah barang tentu termasuk untuk mengamankan Selat Malaka.

Beberapa ahli militer memperkirakan bahwa dengan bertumpu pada dua kapal induknya ini maka Angkatan Laut Cina sangat berpotensi untuk menyerang Pulau Taiwan jika dipandang perlu dari berbagai penjuru. Indikasi ini semakin menguat dengan fakta bahwa kapal induk Liaoning telah meninggalkan pangkalan angkatan lautnya di Qingdao, dalam perjalanan menuju Laut Kuning.

Bukan itu saja. Kapal Induk Shandong yang diluncurkan kali pertama oleh Presiden Xi Jinping pada Desember 2019 lalu, juga telah meninggalkan pangkalan angkatan lautnya di Dalian untuk latihan di Laut Bohai.

Maka, dengan mengandalkan dua kapal induk yang juga diperkuat oleh sistem pertahanan antirudal DF-26B dari Qinghai di utara dan DF-21D dari Zhejiang di timur ke Laut China Selatan, maka diyakini beberapa pakar militer cukup memadai untuk mengimbangi kedigdayaan Angkatan Laut AS.

Tiada keraguan lagi bahwa kedua kapal induk Cina tersebut dimaksdukan untuk mengimbangi manuver dua kapal induk AS di Laut Cina Selatan sejak Juli lalu, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan.

Dalam konteks seperti itulah, maka penempatan sistem pertahanan antirudal  bernama Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan, masih tetap menjadi masalah krusial hingga sekarang.

Dalam kaitan ini, Global Future Institute (GFI) sudah mengingatkan tren global yang cukup mengkhwatirkan ini. Dalam Seminar yang diselenggarakan Global Future Institute (GFI) pada 9 November 2017 lalu, ketegangan di Semenanjung Korea yang dipicu oleh penempatan dan pemasangan Sistem Pertahanan Anti-rudal THAAD di sisi selatan Seongju County, Provinsi North Gyeongsang itu, ternyata juga mengundang kecemasan dari pemerintah Cina di Beijing. Sehingga penempatan dan pemasangan THAAD harus dipandang dalam perspektif persaingan dan perebutan pengaruh global antara AS versus Cina. Bukan saja di Semenanjung Korea, melainkan kawasan Asia Pasifik pada umumnya.

Baca juga: Membayangkan Skenario Terburuk Akibat Penempatan dan Pergelaran THAAD AS di Korea Selatan

Ketika Washington pada Mei 2017 menyatakan THAAD secara aktif dioperasionalkan di Korsel, Beijing sontak menyatakan protes.  Geng Shuang, jubir kementerian.luar negeri Cina mengatakan bahwa Presiden Xi Jinping menempatkan kedaulatan Cina sebagai prioritas pemerintahan. Maka, Beijing tidak akan ragu-ragu menindak siapa pun yang mengancam kedaulatan wilayahnya. Apalagi mengancam pertahanan dan keamanan regional. THAAD juga dianggap sebagai salah satu bentuk gangguan, untuk tidak menyebutnya sebagai ancaman, terhadap kedaulatan Cina.

Memang kalau kita cermati, penempatan THAAD di Kore Selatan, militer AS dapat mendeteksi manuver Angkatan Bersenjata Cina di wilayah perbatasan antara Korea dan Cina. Sehingga dapat mengurangi keunggulan militer Cina dalam berhadapan dengan Angkatan Bersenjata AS.

Bagi kita di Indonesia, perkembangan yang semakin memanas di Semenanjung Korea menyusul penempatan THAAD di Korsel sejak Mei 2017 yang memuncak dalam ketegangan militer di Laut Cina Selatan saat ini, memang cukup mengkhawatirkan mengingat situasi tersebut berpotensi ke arah perang terbuka antara AS-Korsel-Jepang versus Cina, yang mana besar kemungkinan akan memancing Rusia untuk ikut bergabung bersama Cina menghadapi persekutuan AS bersama Korsel dan Jepang. Sehingga akan membahayakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Timur maupun Asia Tenggara.

Apalagi terkait dengan penempatan sistem pertahanan antirudal THAAD di Korea Selatan, dikhawatirkan akan diperluas lingkupnya ke Taiwan, Jepang, dan Singapura di Asia Tenggara.

Dengan demikian, bagi Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), sudah saatnya mengambil sikap untuk menentang penempatan dan pergelaran THAAD di Korsel yang pada perkembangannya bukan saja bakal  memicu Perang Bersenjata berskala luas di Semenanjung Korea. Sebab penempatan THAAD di Korea Selatan pada gilirannya bisa memberi dalih bagi AS untuk menempatkan sistem pertahanan antirudal THAAD di Taiwan, Jepang dan Singapura. Seiring dengan kemungkinan konflik bersenjata antara AS-Jepang-Korea Selatan versus Cina, yang tidak tertutup kemungkinan keterlibatan Rusia ketika eskalasi konflik meluas tidak lagi sebatas ketegangan militer di Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com