BIMP – EAGA di BIBIR PASIFIK: Ada Namun Takoa*

Bagikan artikel ini

Kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP – EAGA) dibentuk secara resmi pada Pertemuan Tingkat Menteri  (PTM) ke-1 di Davao City, Filipina pada tanggal 26 Maret 1994.

Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Para pelaku usaha diharapkan menjadi motor penggerak kerja sama dimaksud sedangkan pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator.

Wilayah Indonesia yang menjadi anggota BIMP-EAGA adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Demikian informasi di laman kemlu.go.id.

Bibir Pasifik dalam tulisan ini mengacu pada wilayah yang dipopulerkan oleh sejarawan Alex Ulaen dengan sebutan Nusa Utara. Wilayah ini yang dalam buku D. Brilman Onze zendeling De zending op de Sangi – en Talaud – eilanden door, kemudian diterjemahkan oleh Badan Pekerja Sinode GMIST dengan judul KABAR BAIK DI BIBIR PASIFIK Zending di Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Takoa (*) pada sub judul adalah kata dalam bahasa Sangir (Sangihe) yang berarti tidak ada.

Keterbatasan informasi dan data terkini terkait kerja pemerintah di wilayah perbatasan utara Indonesia tentang program di perbatasan menjadikan tulisan ini belum sempurna. Namun kiranya melalui tulisan ini, diskusi-diskusi yang baik terkait upaya pemanfaatan kerja sama BIMP-EAGA di Utara Indonesia bisa terbangun.

Sebenarnya isu Sulawesi Utara dan BIMP-EAGA bukanlah hal yang baru dalam perbincangan pemerhati geo politik di Sulut. Pada 2004 Steven Pailah mengemukakan pertanyaan yang menggelitik namun tajam, dengan realitas kawasan BIMP-EAGA yang ada di Provinsi Sulawesi Utara; apa manfaat dan peluang dari kerja sama regional yang akan kita dapatkan? Catatanya yang berjudul BIMP – EAGA: REALITAS KAWASAN EKONOMI YANG TERABAIKAN ini terbukukan dengan judul ARCHIPELAGIC STATE Tantangan dan Perubahan Maritim jilid I, cetakan pertama tahun 2007.

Seharusnya apa yang diwacanakan oleh Pailah pada 2004-2007 tentang tantangan dan peluang kerja sama ini sudah bisa dimatangkan dengan baik dalam satu dekade terakhir. Progres untuk menjemput peluang ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Utara secara umum dan masyarakat perbatasan secara khusus.

Di Sulawesi Utara, dibukanya jalur transportasi dengan kapal roll-on/roll-off (RORO) Davao-General Santos-Bitung (PP) membangkitkan kembali asa untuk menjemput peluang pemanfaatan daerah perbatasan dalam kerja sama BIMP-EAGA. Ini karena jalur lintas kapal Davao-GenSan-Bitung merupakan salah satu rute prioritas dalam jalur Asean Roro Network Project sebagaimana tercantum dalam Asean Economic Community Blueprint (AEC) 2025 dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippine Growth Area) Vision 2025.

Jalur ini tentunya mendatangkan keuntungan tersendiri bagi kedua Negara. Hal senada juga diungkapkan oleh  Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P. Roeslani. Dikutip dari Bisnis.com, Akses pasar ke Filipina akan menjadi semakin mudah melalui pelabuhan Bitung bagi komoditas dan produk dari Kawasan Timur Indonesia, demikian halnya dari Mindanao, katanya.

Kelapa butir dan jagung merupakan ekspor pertama dari sulut ke Philipina menggunakan kapan Ro-Ro ini. Pada 2019 dari laman Bisnis.com dikutip, melalui media sosialnya Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Olly Dondokambey menyampaikan, kapal RoRo dari Davao akan membawa buah-buahan dari Davao dan tiba di Pelabuhan Bitung pada 17 Juni. Kapal itu akan kembali ke Davao dengan membawa komoditas kelapa butir dan Jagung.

Peluang lain yang bisa dimatangkan untuk ekspor ke Philipina adalah keramik. Produk keramik Indonesia yang digunakan untuk lantai dan dinding dengan tingkat penyerapan air sebesar 0-10 persen bisa dipasarkan dengan leluasa ke Filipina.

Hal ini karena Pemerintah Filipina memberlakukan bebas pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) pada produk tersebut, demikian dilansir medcom.id. Sulut juga terkenal dengan pengrajin keramik dari desa Pulutan (http://www.bbk.go.id). Soal kebutuhan ekspor tinggal bagaimana niat kita semua untuk memberdayakan masyarakat setempat.

Lain cerita di daratan besar Sulut, lain cerita juga di kepulauan yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Filipina.  Di wilayah perbatasan yang paling berbatasan dengan Negara anggota BIMP-EAGA ini, ‘peningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA’ jauh panggang dari api.

Marore dan Miangas juga pulau-pulau kecil berpenghuni di sekitarnya adalah klaster pulau yang ada di garis depan perbatasan Indonesia-Filipina yang belum menuai hasil signifikan sebagai wilayah perlintasan ekonomi.

Liputan Rendi Sasela bisa jadi bukti bahwa BIMP-EAGA ini tidak ada hasil dan pengaruhnya di daerah paling berbatasan dengan Negara tetangga. Di Matutuang kecamatan Marore, hampir setengah dari jumlah 134 KK, atau 64 KK di sana tergolong dalam kategori miskin tulis Rendi dalam Barta1.com, hal ini dibenarkan oleh camat Marore.

Upaya untuk memajukan daerah sudah sejak lama digaungkan. Perda No. 1 2001 tentang kawasan pembangunan kawasan kepulauan Sangihe Talaud, Perda No. 2 tahun 2001 tentang penataan ruang kawasan andalan kabupaten kepulauan sangihe talaud.

Kerja sama lokal pemerintah lokal di daerah perbatasan dua Negara yaitu kebupaten kepulauan Sangihe Talaud di pihak Indonesia dan Kota General Santos di pihak Filipina sudah diupayakan dengan penandatanganan Letter of Intent (LoI)(17 April 2001) hingga pada tahap penandatanganan MOU Sister City – Regency Cooperation 2 Oktober 2001. Ini dicatat Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile dalam KAWASAN SANGIHE – TALAUD – SITARO DAERAH PERBATASAN KETERBATASAN PEMBATASAN (2008).

Saat ini perhatian pemerintah daerah untuk memajukan daerah perbatasan ini tetap dilakukan. Khusus untuk Kecamatan Marore saat ini Bupati Gaghana berusaha meminta kepada pemerintah pusat agar dapat memberikan keleluasaan khususnya bagi empat pulau terluar di Kecamatan Marore untuk bisa menjual hasil tangkapan ikan ke Filipina. Hal ini karena jarak tempuh ke Filipina hanya tiga jam, sedangkan ke Tahuna bisa sampai delapan jam, tulis Rendi dalam barta1.com.

Tentang BIMP – EAGA di Utara Indonesia ini, Winsulangi dan Pitres juga mengungkap keprihatinan mereka. Tulisnya “kini (2007) program BIMP – EAGA sudah berjalan lagi. Sayang lebih banyak kegiatannya menguntungkan kalangan bisnis besar dan daerah-daerah maju.

Bukan daerah-daerah semcam di kawasan SaTaS (sebutan Sangihe Talaud Sitaro). Karena kalangan bisnis sekala kecil dan menengah yang mestinya menjadi pemain utama sebagai desain EAGA oleh ADB (Asian Development Bank) hanya menjadi penonton”. Lebih tegas lagi “ada yang pantas disedihkan daerah-daerah di kawasan SaTaS berkaitan dengan BIMP – EAGA, yaitu, dalam konsepsi kerja sama ini SaTaS tidak jadi fokus utama. Padahal, Filipina nyata-nyata menyebut kerja sama BIMP – EAGA didasarkan pada hubungan tradisional yaitu yang dilakukan masyarakat SaTaS. (Winsulangi dan Pitres 2008).

Sejalan dengan pemikiran Winsulangi dan Pitres, Pristiwanto dkk dalam bukunya Legal di Marore, Ilegal di Tahuna (Kajian Atas Peredaran Barang di Wilayah Lintas Batas Di Kabupaten Kepulauan Sangihe) (2013) mengatakan “Sejauh ini gaung kerjasama BIMP-EAGA masih terbatas sosialisasinya di tingkat Pemerintah Pusat, sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota terkesan hanya sekedar wacana dan belum memberikan makna percepatan pembangunan yang signifikan.

Berbagai kesepakatan belum tersosialisasi ke Pemerintah Kabupaten Kota termasuk Stakeholder yang ada dan masih bersifat makro dan sulit dijadikan acuan implementasi.”

Jauh sebelumnya, pada 2003, Alex J Ulaen dalam bukunya NUSA UTARA Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan juga menyentil tentang kerja sama BIMP – EAGA. Begini sentilnya “untuk poros Davao – Manado atau lebih luas lagi, polygon EAGA, Nusa Utara berada di tengahnya. Namun, dalam berbagai perjanjian kerja sama yang sudah dilakukan, tidak ditemukan hal yang signifikan melibatkan kepulauan ini dalam berbagai aktivitas kerja sama. Tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan Perjanjian Lintas Batas atau BCA maupun BIMP – EAGA tidak mampu menghentikan praktek niaga yang dianggap illegal.”

Mencermati berbagai peluang serta implementasi kerjasama di kawasan BIMP-EAGA, Pristiwanto dkk (2013) membahas dan mengusulkan hal-hal yang prioritas untuk wilayah perbatasan terkait BIMP – EAGA sebagai berikut:

  1. Sebaiknya dalam pembahasan dan implementasi kerjasama BIMP-EAGA perlu pelibatan langsung Kabupaten/Kota yang termasuk dalam koordinasi Pemerintah Provinsi untuk secara aktif dan terpadu membahas peluang-peluang dan solusi yang diperlukan.
  2. Jaringan komunikasi/informasi se kawasan BIMP-EAGA perlu ditingkatkan dan mencakup jaringan yang terhubung dengan Kabupaten/Kota sehingga menunjang percepatan tersedianya informasi.
  3. Secara periodik diperlukan evaluasi terhadap berbagai capaian kesepakatan di kawasan BIMP-EAGA yang diperlukan.

Diskusi maupun wacana terkait pembangunan di wilayah perbatasan utara Indonesia baiknya terus didengungkan karena lautan luas yang menjadi batas merupakan salah satu jalur niaga wilayah Asia Pasifik. Eksistensi Nusa Utara di bibir pasifik sebagai wilayah perbatasa Utara Indonesia memegang peranan yang sangat strategis sebagai penjaga kedaulatan bangsa juga sebagai pilar depan benteng Pancasila.

Di bibir pasifik, Nusa Utara adalah pintu masuk juga beranda rumah Indonesia. Sudah seharusnya beranda ini menunjukan citra kemajuan pembangunan negeri ini. Beranda rumah kita ini jangan lagi terlihat sebagai daerah tertinggal, terpencil, dan terkebelakang. Memanfaatkan kerja sama lokal antarnegara tetangga kiranya mampu menghapus suasana kemiskinan dan keterisolasian penduduk perbatasan.

Demikian catatan ringan ini, kiranya dapat membangkitkan kembali ruh Perda No. 2 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Kawasan Andalan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud yang menegaskan “sebagai kawasan yang terletak di ujung utara Indonesia, maka orientasi ke ‘luar’ harus lebih dominan dibandingkan orientasi ke ‘dalam’…” Juga kiranya dapat menghangatkan kembali isu pentingnya posisi strategis Indonesia di Pasifik dan dapat dimanfaatkan demi kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jolly Horonis, pemerhati geopolitik dari Menado, Sulawesi Utara.

 

Referensi

Pailah S. Y. 2007. ARCHIPELAGIC STATE Tantangan dan Perubahan Maritim Jilid I. Manado. Klub Studi Perbatasan.

Pristiwanto dkk. 2013. Legal di Marore, Ilegal di Tahuna (Kajian Atas Peredaran Barang di Wilayah Lintas Batas Di Kabupaten Kepulauan Sangihe). Yogyakarta. Penerbit Kepel Press.

Salindeho Winsulangi dan Pitres Sombowadile. 2008. KAWASAN SANGIHE TALAUD SITARO DAERAH PERBATASAN KETERBATASAN PEMBATASAN. Jogja. FUSPAd.

Ulaen Alex Jhon. 2016. NUSA UTARA Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan. Yogyakarta. Penerbit Ombak.

https://kemlu.go.id/portal/id/read/151/halaman_list_lainnya/brunei-indonesia-malaysia-philippines-east-asean-growth-area-bimp-eaga

https://ekonomi.bisnis.com/read/20170314/98/637048/keuntungan-dari-dibukanya-jalur-roro-indonesia-filipina-

https://sulawesi.bisnis.com/read/20190613/539/933244/pemprov-sulut-matangkan-rencana-ekspor-ke-filipina

https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/yNL7mpvK-peluang-peningkatan-ekspor-keramik-ri-makin-terbuka-ke-filipina

http://www.bbk.go.id/index.php/berita/view/306/Keramik-Desa-Pulutan-yang-Menawan?fbclid=IwAR0HZSwxgiheXdBJqLOQ7H9DIQe-5VmkJ5jBTSkqY–iaRk9OWaotwMaYEw

 

http://barta1.com/2019/05/21/matutuang-pulau-terluar-di-utara-dengan-segala-keterbatasannya/?fbclid=IwAR0ZpDEAk3iwSfPmfGHBdfCGWdWBU3CCbcM84PhvLf8_XJzBW3uzeut1nzY

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com