CAFTA: Jangan Sampai Indonesia Jadi Korban Perdagangan Bebas Cina

Bagikan artikel ini

Santhi Margaretha, Research Associate Global Future Institute

Perdagangan bebas merupakan sebuah konsep kapitalis yang identik dengan upaya negara-negara maju dalam memperluas pangsa pasar produknya.  Yang dalam bahasa realisnya adalah mematikan industri domestik negara berkembang.

Hal ini disebabkan karena pada prakteknya, seperti yang terjadi dari refleksi kesepakatan NAFTA dimana negara maju selalu menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka dengan hambatan non-tarif melalui standart kesehatan yang akan menyulitkan petani negara miskin dalam menjual produknya.

Tidak mengherankan apabila telah banyak permintaan dari pelaku industri untuk menunda China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang telah disepakati China dan enam negara ASEAN seperti Indonesia, malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam saat bertemu di Bandar Seri Begawan, Brunei, pada tanggal 6 November Tahun 2001 silam.

Kesepakatan perdagangan bebas yang disepakati pelaksanaannya pada 1 januari 2010 ini tampil dengan kemasan menggiurkan dimana 1,9 milliar konsumen akan menjadi pangsa pasar yang ditawarkan didalamnya sehingga wajar saja apabila pemerintah kita tergiur dengan kesepakatan ini.

Ada 3 alasan utama mengapa pemerintah mengambil kesepakatan CAFTA, yakni:

Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China dilihat membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.

Kedua, penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China.

Dan Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan pembangunan kapasitas, transfer teknologi dan transfer kemampuan managerial.

Perdagangan bebas memang seakan-akan menawarkan solusi terbaik bagi permasalahan ekonomi, namun konsep perdagangan bebas mengharuskan sebuah persaingan sempurna dan didalam persaingan sempurna, seseorang dengan modal dasar yang besar akan lebih leluasa dalam melakukan transaksi dagang, dan mempunyai pilihan-pilihan akses terhadap kapital, informasi, pendidikan dan hubungan relasi yang lebih banyak dari seseorang dengan modal kecil.

Contoh nyata penerapan perdagangan bebas yang terjadi adalah perdagangan bebas yang diusung NAFTA yang juga melihat Amerika Serikat sebagai peluang namun dalam prakteknya, Amerika Serikat hanya memberi sedikit akses atas barang yang diinginkan sementara meminta liberalisasi total di semua bagian.

Transfer teknologi pun tidak terjadi karena merujuk pada transfer teknologi dan keuntungan pada perusahaan multinasional milik Amerika Serikat yang beroperasi di Meksiko, sehingga kalau terjadi peningkatan perdagangan, yang sebenarnya terjadi adalah perdagangan intra perusahaan antara perusahaan anak di Meksiko dengan perusahaan induk di Amerika Serikat dan pada akhirnya hanya menyisakan eksploitasi atas sumber daya alam dan sumber daya manusia di Meksiko.

Dalam kerangka CAFTA, China juga mengajukan liberalisasi pasar dengan hambatan tarif hingga 0%, namun, dengan keunggulan komparatif dan spesialisasi yang tidak jauh berbeda, sebuah bentuk dominasi dan eksploitasi akan tercipta mengingat China sendiri setidaknya bagi Indonesia dapat dikategorikan sebagai kompetitor utama bagi produk-produk dibidang tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.

Belum lagi ditambah dengan segala permasalahan klasik dalam sektor industri di Indonesia seperti tingginya biaya ekonomi yang disertai kendala infrastruktur dimana tidak tersedianya jalan yang memadai dan pasokan listrik yang cukup.

Tidak mengherankan apabila impor produk China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik Indonesia yang semula dikuasai sektor Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM) pada tahun 2008. Akibatnya, pasar Indonesia dibanjiri produk murah dari China dan menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008.

Indikasi tersebut mengharuskan pemerintah agar mempersiapkan kalkulasi yang lebih matang dan terus menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pengusaha Indonesia baik melalui pemotongan jalur birokrasi yang rumit ataupun pemudahan akses lisensi, akses pasar, peningkatan kualitas SDM dan peningkatan penggunaan teknologi tepat guna. Karena tanpa pengelolaan yang baik, Indonesia akan berakhir sebagai korban dominasi perdagangan bebas China.

Praktik-praktik yang tidak sehat dalam penerapan kesepakatan CAFTA ini sangat mungkin terjadi apalagi CAFTA tidak memiliki sanksi baku yang dapat diterapkan bagi para pelanggar kesepakatannya apalagi yang melanggar adalah sang penguasa.

Karenanya, langkah nyata terbaik yang dapat kita ambil adalah meningkatkan kembali permintaan atas produk-produk lokal kita sehingga produsen industri dalam negeri Indonesia tidak perlu gulung tikar apabila kita mampu memanfaatkan jumlah penduduk yang cukup besar ini sebagai pangsa pasar disamping ekspor.

Hal ini diterapkan China dimana jumlah penduduknya yang tinggi tidak hanya menyumbangkan banyaknya buruh yang lebih murah yang menyebabkan biaya per unit yang lebih rendah namun juga menyediakan pangsa pasar dalam negeri yang cukup tinggi. Untuk itu, sosialisasi terhadap produk dalam negeri perlu kembali digencarkan untuk menggerakkan produksi dan meminimalisasi penutupan industri yang akan berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran.

Pada dasarnya perdagangan bebas dirancang bagi kepentingan konsumen dengan memaksa harga tetap rendah namun apabila para penguasa mengendarainya demi kepentingannya sendiri dan mendominasi pasar serta menciptakan lonjakan tingkat pengangguran maka tampaknya penerapan sistem perdagangan bebas merkantilisme seperti ini perlu dipertimbangkan kembali kedepannya..

Penulis adalah Research Associate Global Future Institute, dan alumni fakultas hubungan internasional Universitas Parahiyangan. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com