Cina, Sengketa Laut Cina Selatan dan Pentingnya Peran Regional Indonesia di ASEAN Sebagai Juru Damai

Bagikan artikel ini

Pergolakan yang terjadi di Laut Cina Selatan kian memanas berakibat potensi konflik di wilayah tersebut semakin meningkat. Laut Cina Selatan lokasi geografisnya sangat strategis,  berbatasan langsung dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Republik Rakyat Cina. Tak heran bila isu Laut Cina Selatan sangat mewarnai hubungan diplomatic antar negara-negara ASEAN.

Isu yang mencuat di Laut Cina Selatan pada umumnyta berkaitan isu sengketa territorial atau border dispute.  Namun kenyataan bahwa letak dan posisi geografis Laut Cina Selatan, isunya kemudian meluas menjadi isu regional sehingga mendorong publik turut menyoroti.

Masalah yang terjadi di Laut Cina Selatan merupakan masalah sengketa territorial dan pada batas wilayah maritim yang hingga pada saat ini masih menjadi pertanyaan, mengingat bahwa Cina telah mengklaim memiliki batas maritimnya sendiri dalam Nine-Dashed Line sedangkan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  telah menetapkan UNCLOS sebagai perbatasan maritime,  karena berdasarkan sejarahnya, Cina melakukan klaim area tersebut sebagai traditional fishing area sejak dinasti Ming dan dinasti Han. Klaim serupa juga dilakukan oleh negara-negara  ASEAN yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kecuali Indonesia sebagai satu-satunya negara ASEAN yang tidak melakukan klaim wilayah.

Penyebat utama mengapa wilayah Laut Cina Selatan menjadi ajang perebutan wilayah lantaran terdapat sumber daya alam yang melimpah berupa cadangan minyak dalam jumlah 7 miliar barel dan 900 triliun kubik gas alam dan juga merupakan jalur pelayaran strategis antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dimana lebih dari 30% perdagangan dunia melalui Laut Cina Selatan.

Itulah sebabnya Laut Cina Selatan jadi ajang perebutan geopolitik dan geoekonomi berbagai negara-negara besar dunia dan bahkan antar negara di kawasan di Asia Tenggara itu sendiri. Dengan demikian, sengketa territorial menjadi isu pokok yang mendasari perebutan wilayah ini.

Masuk akal jika mencuatnya isu Laut Cina Selatan mengundang kekhawatiran negara-negara di kawasan Asia Tenggara (baca:ASEAN) karena bisa memicu pergolakan regional di Asia Tenggara. Apalagi dalam situasi global pasca perang dingin, yang ditandai adanya pergeseran kekuatan atau balance of power yang semula pada saat perang dingin terjad AS vacuum dari kawasan Asia Tenggara sejak 1972, menyusul adanya kesepakatan strategis Shanghai Agreement antara AS dan RRC pada 1972 yang mana RRC dipersilahkan hadir di kawasan Asia Tenggara.  Sedangkan saat ini, AS dan RRC justru terlibat persaingan sengit berebut pengaruh di kawasan Asia Tenggara, sehingga Laut Cina Selatan jadi hotspot pertarungan global kedua negara adikuasa tersebut.

Konstelasi global tersebut barang tentu mengundanjg kekhawatiran. Perebutan pengaruh geopolitik dan geoekonomi antar negara adidaya yang terjadi di Laut Cina Selatan dapat berdampak ke negara-negara ASEAN. Bagaimana tidak, klaim sepihak yang dilakukan oleh Cina terhadap Laut Cina Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya, tentu saja akan memicu bantahan dari negara-negara ASEAN lainnya, apalagi yang selama ini memandang Cina sebagai sebuah ancaman baru di Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia dan Vietnam,   Bahkan  Indonesia pun juga menaruh kekhawatiran. Alhasil, pertikaian territorial tersebut meluas hingga ke forum PBB.

Lantas, ketegangan antar Cina dengan negara-negara ASEAN terutama pada negara yang mengeklaim kepemilikan Laut Cina Selatan pun terjadi seperti pada Mei 2014 ketika terjadi saling tabrak kapal dilakukan oleh Vietnam dan Tiongkok dalam penempatan peralatan pengeboran di Kepulauan Paracel. Bahkan dalam bidang militer, kegiatan patroli yang dilakukan kapal-kapal Tiongkok di perairan Laut Cina Selatan pun memicu bentrok antar Vietnam, Filipina dan bahkan Indonesia sendiri.

Atau contoh lainnya ketika Tiongkok kalah dengan Filipina di Mahkamah Arbritase UNCLOS di Den Haag atas gugatan yang dimenangkan oleh Filipina.

Tren global yang tak kalah menarik terjadi ketika Tiongkok melakukan latihan militer bersama dengan negara-negara di ASEAN, dimana agenda ini sebenarnya telah dirancang oleh Tiongkok sejak 2015 lalu dalam pertemuan dengan menteri pertahanan se-ASEAN dalam tujuan guna menurunkan tensi ketegangan di kawasan pesisir Laut Cina Selatan.

Pendekatan koersif yang dilakukan oleh Tiongkok dalam upayanya mengimbangi kekuatan Amerika Serikat. Karena pada dasarnya, Tiongkok tahu bahwa banyak negara-negara di Asia Tenggara memiliki hubungan dekat dengan Amerika Serikat, seperti Vietnam dan Filipina.

Dalam dinamika geopolitik ini Tiongkok bersikeras agar negara-negara ASEAN lebih mendekat ke Tiongkok dan menjauh dalam pengaruh Amerika Serikat.

Maka itu perlu  suatu balance of power untuk membatasi ambisi hegemoni negara-negara adikuasa yang dilakukan terhadap ASEAN. ASEAN Regional Forum (ARF) harus mengatur peran Amerika Serikat dan Tiongkok di Asia Tenggara seraya memainkan peran dalam mengatur perilaku yang baik dari negara-negara adikuasa sehingga ambisi hegemoni negara-negara besar, terutama AS dan RRC, dapat dikendalikan tanpa harus menggunakan kekuatan bersenjata  di kawasan ini.

Pada tahap balance of power, negara-negara adikuasai yang terlibat konflik harus mematuhi nilai dan norma yang telah dibangun dalam sistem regional ASEAN dengan cara menghargai negara-negara anggota ASEAN dan tidak melakukan tindakan yang bersifat mengancam dan mengintimidasi.

Pada dasarnya ASEAN khawatir terhadap dominasi AS maupun Cina yang sama-sama dapat mengganggu stabilitas regional. Selain itu muncul juga kekhawatiran akan kebangkitan dan pengaruh Tiongkok pada masa pasca perang dingin yang berpotensi mengancam negara-negara di ASEAN.

Apalagi pada 1993 lalu mantan menlu AS Warren Christopher dalam ASEAN-PMG menyatakan bahwa AS akan menjadi salah satu kekuatan yang ada di Asia Pasifik dengan melakukan dukungan terhadap perjanjian multilateral. Buat kalangan yang selama ini memandang hegemoni AS di Asia Tenggara cukup kuat, pernyataan Warren Christopher tersebut jelas sangat mengkhwatirkan.

Apalagi ketika pernyataan Christopher dikaitkan dengan kekhawatiran AS akan semakin meningkatnya kekuatan dari Tiongkok, sehingga dorongan dari  ARF terhadap negara-negara ASEAN untuk membatasi keterlibatan Tiongkok di Asia Tenggara, akan dipandang RRC sebagai upaya AS mendorong ASEAN untuk pro AS.

Peran Indonesia dalam hal ini cukup vokal terhadap perlunya tercipta balance of power yang terjadi di Laut Cina Selatan. Seperti halnya pada 1967 saat deklarasi Bangkok untuk menghindari adanya intervensi luar. ZOPFAN menjadi acuan Indonesia dalam kasus ini, dengan adanya kekhawatiran dari Indonesia akan pengaruh Tiongkok dalam hegemoninya di wilayah Laut Cina Selatan. Meskipun secara tersirat hal ini juga menangkal AS agar tidak terlalu berpengaruh di ASEAN.

Lantas letak Indonesia sendiri yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan terutama di Pulau Natuna, peran Indonesia jadi semakin penting sebagai kekuatan penyeimbang.  Meskipun bukan merupakan negara pengklaim kepemilikan wilayah Laut Cina Selatan namun, karena adanya dinamika sengketa tersebut, posisi dan peran Indonesia jadi ikut terpengaruh. Sehingga Indonesia pun harus mengambil tindakan dalam meredakan konflik sengketa perbatasan tersebut, terlebih adanya catatan reputasi Indoensia yang cukup baik Indonesia dalam penyelesaian kasus-kasus terkait  border dispute.

Lantas, apa tindakan Indonesia dalam mengatasi konflik Laut Cina Selatan sebagai antisipasi meningkatnya eskalasi secara masif di wilayah konflik tersebut?  Yang harus dilakukan adalah dengan memperkuat kesiagaan pertahanan negara baik lewat serangan militer maupun nirmiliter.

Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN harus memprakarsai perdamaian dunia dengan memanfaatkan forum ASEAN.  Sebagai negara terbesar di ASEAN dan juga penduduk Muslim terbesar di Asia, Indones merupakan negara yang efektif dalam memberikan solusi damai kepada negara-negara yang terlibat pertikaian  klaim wilayah sengketa Laut Cina Selatan. Sikap Indonesia dalam mendesak negara-negara ASEAN untuk menahan diri, sudah langkah awal yang cukup bagus.

Indonesia sendiri juga harus lebih berhati-hati  namun tegas dalam menyikapi manuver militer maupun diplomatic pemerintahan RRC agar lebih mengedepankan kerja sama sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya di kawasan Asia Tenggara.  Selain itu, peran pemerintah Indonesia juga penting untuk melibatkan berbagai pihak dalam melakukan diplomasi track-II tanpa adanya unsur politis. Keterlibatan negara-negara rising power seperti Rusia dan India dinilai cukup efektif dalam mengurangi dominasi dan hegemoni dari pihak Cina maupun AS di kawasan Asia Tenggara, dan Asia Pasifik pada umumnya.

Penulis: Nesya Aulia, mahasiswi Fakultas Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Binus, Jakarta.

Sumber:

Cahyoputra, L. A. (2016, March 31). Asean Harus Bersatu Selesaikan Konflik Laut China Selatan. Berita Satu.

Emmers, R. (2001). The Influence of the Balance of Power Factor within the ASEAN Regional Forum. ISEAS, 275-291; 23(2). .

Raharjo, S. (2014). PERAN INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LAUT TIONGKOK SELATAN. Jurnal Penelitian Politik, 55-70.

Rosyidin, M. (2018, November 08). Kultur Strategis China di Laut China Selatan. detikNews.

Suharman, Y. (2019). DILEMA KEAMANAN DAN RESPONS KOLEKTIF ASEAN TERHADAP SENGKETA LAUT CINA SELATAN. INTERMESTIC Journal of International Studies, 127-146; 3(2). .

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com