Orkestrasi Perang Generasi Kelima (Bagian 1)

Bagikan artikel ini

Bahwa hegemoni para adidaya, globalisasi dan revolusi industri 4.0 merupakan aspek (lingkungan) strategis yang mampu mengubah “wajah perang” di muka bumi. Tidak boleh dipungkiri, ada kontribusi William S. Lind, analis Amerika, yang menulis buku empat generasi dalam sejarah perang. Adapun singkat narasi wajah perang oleh Lind dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, peperangan generasi pertama mengacu pada pertempuran kuno dan pasca klasik dimana bertempur dengan banyak tenaga, memakai taktik phalanx, garis dan kolom dengan tentara berseragam dari suatu kerajaan;

Kedua, peperangan generasi kedua adalah taktik modern awal setelah ditemukan senapan dan senapan sungsang serta terus berlanjut melalui pengembangan senapan mesin dan tembakan tak langsung;

Ketiga, fokus peperangan generasi ketiga adalah penggunaan taktik modern yang diturunkan dari teknologi modern untuk meningkatkan kecepatan, sembunyi-sembunyi dan kejutan untuk melewati garis musuh serta menghancurkan pasukan lawan dari belakang. Ini merupakan akhir dari peperangan linier di tingkat taktis, tak hanya saling berhadapan untuk saling mengalahkan, tetapi juga untuk mendapat keuntungan terbesar;

Keempat, sedangkan ciri peperangan generasi keempat adalah kembali ke bentuk-bentuk peperangan yang terdesentralisasi, mengaburkan batas-batas antara perang dan politik, antara kombatan dan warga sipil karena hilangnya negara-negara atas monopoli kekuasaan. Bentuk perang kembali ke model konflik yang biasa terjadi di zaman pra-modern.

Selanjutnya ide dan konsep peperangan generasi kelima belum terbukukan, tetapi sudah menjadi pemikiran stakeholders serta tetap berbasis pemikiran Lind. Intinya, peperangan generasi kelima adalah perang propaganda dan informasi guna meraih tujuan strategis, operasional dan taktis. Tanpa kerusakan terukur yang dapat diidentifikasi oleh target (lawan) bahkan tidak mengetahui kalau dirinya diserang. Ini paling menarik justru pihak lawan kehilangan momentum peperangan. Itulah poin inti dalam peperangan generasi kelima.

Jika disandingkan, agaknya, antara perang generasi kelima dengan peperangan nirmiliter atau asymmetric warfare memiliki kemiripan bahkan secara pattern (pola): “Hampir sama”. Tujuan strategis pada perang generasi kelima, misalnya, ini mirip “skema” dalam pola asymmetric war; sedang tujuan operasional identik dengan “tema/agenda” di peperangan asimetris; dan tujuan taktis pada perang generasi kelima identik dengan “isu” dalam asymmetric warfare.

Pola lazim dalam asymmetric warfare adalah: Isu – Tema/Agenda – Skema (ITS). Isu ditebar ke publik sebagai pintu pembuka, atau test the water; lalu tema digulirkan selain untuk mempertebal isu, juga menggiring opini publik; dan terakhir skema pun ditancap. Nah, skema pada asymmetric war ini identik dengan “tujuan strategis” dalam perang generasi kelima yaitu penguasaan/pendudukan (geo) ekonomi sebuah negara (target).

Kredo keduanya pun sangat mirip yakni: “Pihak lawan/target tidak memahami kalau dirinya diserang”. Artinya, selain kehilangan momentum perlawanan/peperangan, kehilangan kemenangan sebelum berperang, juga kerap kali si target (bangsa terjajah) justru “jatuh cinta” kepada pihak penyerang atau si penjajah.

Bersambung ke bagian 2

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com