Orkestrasi Perang Generasi Kelima (Bagian 2)

Bagikan artikel ini

Menurut William S. Lind (1980), bahwa pelibatan alutsista modern dalam peperangan dimulai sejak perang generasi ketiga dimana antara militer masing-masing negara yang berkonflik saling berhadapan dengan format perang konvensional melalui penggunaan teknik modern atau symmetric warfare. Tetapi saat ini, bentuk peperangan sudah total bergeser ke perang generasi keempat dengan ciri nirmiliter (asymmetric) seperti insurgensi, contohnya, ataupun separatisme dan lain-lain.

Memasuki revolusi industri 4.0, bentuk peperangan kian berubah. Munculnya cyber war atau perang siber merupakan potret imitasi bahwa ancaman konvensional di dunia nyata telah melompat ke dunia digital alias ruang siber (cyber space). Target serangan pun tak lagi murni pada koridor pertahanan dan keamanan saja, namun meluas di segala aspek kehidupan manusia (astagatra). Nah, akibat meluasnya skala serangan tersebut, gilirannya model peperangan dimaksud disebut dengan istilah “perang tanpa bentuk.” Inilah nama lain perang generasi kelima.

Jika sasaran utama peperangan generasi keempat adalah dampak politik, maka sasaran pertama perang generasi kelima justru dampak sosial, kemudian baru menyasar ke (dampak) politik dan militer.

Pada skenario canggih, serangan bisa dikombinasi antara strategi militer dan nirmiliter oleh kekuatan asing, misalnya, sehingga kerap disebut dengan istilah perang hibrida (hybrid war). Perang hibrida memang bagian dari peperangan modern. Menurut Phillip Hammond, mantan Menhan Inggris: “… dalam perang modern, orang hanya duduk – duduk di bungker dan di depan layar komputer sambil mengendalikan pesawat atau senjata siber… “.

Sedangkan menurut ahli militer Cina, Qiao Liang dan Wang Xiangsui, menyebut jenis peperangan ini dengan ungkapan “perang tak terbatas” (unrestricted warfare). Dan salah satu metode yang perlu diwaspadai pada praktik unrestricted warfare ala Cina adalah metode kombinasi yang disebut “supra-nasional”. Kenapa? Karena ia menggabungkan antara jaringan organisasi nasional, internasional dan aktor non-negara dalam satu gerak komando guna memenangkan peperangan. Ketiga jaringan di atas bukan hanya berkolaborasi, ataupun bersinergi — tetapi “bersenyawa,” sebagaimana yang kini tengah berlangsung secara sistematis, masive dan senyap. Ya. Tanpa letusan peluru, tiba-tiba si target sudah menjadi bagian “provinsi”-nya. Luar biasa. Retorikanya adalah, “Apakah ini akibat kebijakan one country and two system, yakni elaborasi antara ideologi kapitalis dan komunis?”

Lantas, dimana perang proxi (proxy war) berada? Ya. Seperti halnya supra-nasional, ia cuma metode. Dalam perang proxi, justru para proxi (agen binaan) ditempatkan di institusi strategis dan/atau direkruit serta diletak pada entitas (organisasi) besar di masyarakat. Tugasnya selain membangun opini publik, selaku influencer, contohnya, yang utama adalah menerbitkan kebijakan – kebijakan dan/atau aturan yang pro kepada “tuan”-nya.

Dalam konteks lain, proxy war juga dimaknai sebagai lapangan tempur. Korea misalnya, ia merupakan medan tempur bagi Amerika/AS melawan Cina, atau Ukraina adalah lapangan tempur bagi Rusia versus Barat dan lain-lain.

Kembali ke perang generasi kelima. Ketika para stakeholders lebih suka menyebut perang tanpa bentuk daripada istilah lainnya, hal itu semata-mata karena fenomena VUCA yaitu kondisi yang sangat dinamis, fluktuatif, turbulent dan unpredictable akibat situasi yang volatility (mudah bergejolak), uncertainty (penuh ketidakpastian), complexity (kompleks) dan ambiguity (ketidakjelasan) di era revolusi 4.0.

Perubahan wajah peperangan di atas, menurut Charles Townsend (2000, The Oxford History of Modern War) disebut “perang modern.” Suatu bentuk peperangan yang sangat kontras atau berbeda dengan konsep, metode dan teknologi militer sebelumnya.

Dalam perang modern, subjek yang justru berkembang, baik berbeda di waktu maupun tempat. Ia berevolusi menyesuaikan zaman serta lingkungan (strategis) terkini baik global, regional maupun isu-isu lokal.

Seyogianya kudu diikuti pula dengan perubahan doktrin dan metode, misalnya, bila kemampuan daya tempur (combat power) ditentukan daya tembak (fire power), daya gerak (manuver), peran intelijen, perlindungan pasukan dan pangkalan (force protection), dan leadership secara terstrukur, tampaknya — memasuki perang generasi kelima, doktrin serta metode di atas harus dikembangkan/diubah lebih fleksibel. Kenapa? Karena perlu proses penyejajaran antara subjek perang —militer di suatu negara— dengan “pasar” sebagai bentuk perang.

Bersambung bagian -3

Baca juga: Orkestrasi Perang Generasi Kelima (Bagian 1)

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com