Dalam Soal Ianfu (Comfort Women), Korea Selatan Bukan Satu-satunya Korban Kejahatan Perang Jepang

Bagikan artikel ini

Kurang begitu jelas apa yang ada dalam pertimbangan para perancang kebijakan strategis luar negeri Jepang, ketika pada 28 Desember 2015 lalu Pemerintah Jepang dan Korea Selatan bersepakat untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu alias “para korban perbudakan seks” tentara Jepang di negara-negara jajahannya, yang dipaksa bekerja di rumah bordil Jepang selama berlangsungnya Perang Dunia II. Dan melalui Menteri Luar Negeri Fumio Kishida, Perdana Menteri Shinzo Abe menyampaikan permintaan maaf dan ungkapan penyesalan bagi para wanita Korea Selatan.

Kita sebagai warga negara Indonesia, yang kebetulan pada 1942-1945 pernah mengalami masa penjajahan Jepang yang mana pada kurun waktu itu pula kaum perempuan kita juga pernah dijadikan “obyek perbudakan seks” oleh tentara Jepang, tentu saja kita mengapresiasi kesediaan pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk menawarkan permintaan maaf beserta pemberian uang sebesar 1 miliar atau senilai 8,3 juta dolar AS dari anggaran nasionalnya terhadap para korban perbudakan seks tentara Jepang yang masih hidup di Korea Selatan.
Kita pun patut mengapresiasi pernyataan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida dalam keterangan persnya pada 28 Desember 2015, pemerintah Jepang mengakui secara tulus bahwa pihak militer Jepang pada Perang Dunia II memang telah merekrut para wanita untuk dijadikan “wanita penghibur” bagi militer Jepang, dan hal ini sangat melukai martabat dan kehormatan wanita.
Namun demikian, masih terkait dengan permintaan maaf dan ungkapan penyesalan Jepang kepada para wanita Korea Selatan, sepertinya ada sebuah kontradiksi di balik kesepakatan kedua negara tersebut. Yaitu, adanya desakan dari pihak Jepang agar Pemerintah Korea Selatan memindahkan Patung lambang wanita penghibur yang didirikan para aktivis di Seoul pada 2011 lalu itu, yang berlokasi  di seberang Kedutaan Besar Jepang di Seoul. Dan direlokasi ke tempat lain.
Bagi kami dari Global Future Institute, tentu saja sikap Jepang ini sama sekali tidak mencerminkan sikap resminya pada 28 Desember 2015 yang pada hakekatnya sudah meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan merasa menyesal. Padahal, patung tersebut justru merupakan simbol penderitaan yang dialami oleh para wanita Korea Selatan korban perbudakan seks tentara Jepang. Dan patung remaja juga merupakan lambang perjuangan mereka untuk memperoleh permintaan maaf resmi dan kompensasi dari Pemerintahan Jepang di Tokyo.
Tentu saja, kesediaan Jepang untuk memberi kompensasi terhadap para korban Ianfu yang masih hidup dengan syarat pemerintah Korea Selatan bersedia memindahkan patung monument simbol para korban perbudakan seks tentara Jepang, mengundang protes dari kalangan aktivis hak-hak sipil di Korea Selatan.
Terlepas dari inkonsistensi pemerintahan Jepang dalam penyelesaian soal Ianfu di Korea Selatan, yang sepertinya belum sepenuhnya tulus mengakui “kejahatan perangnya” di Korea Selatan yang tetap meminta syarat dipindahkannya monumen korban Ianfu yang berlokasi di Kedutaan Besar Jepang di Seou, menurut kami ada satu soal lain, yang tak kalah fundamental, bahwa dalam upaya penyelesaian soal permintaan maaf dan kompensasi terhadap para korban Ianfu yang masih hidup, Korea Selatan  bukan satu-satunya negara korban kejahatan perang Jepang.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina, juga harus menjadi prioritas Jepang untuk mengupayakan penyelesaian soal Ianfu, yang mana Jepang juga harus meminta maaf dan memberikan kompensasi yang adil kepada para korban Ianfu yang masih hidup, maupun kepada para anggota keluarga pihak korban.
Jepang Memandang Indonesia dan Filipina sebagai Negara Eselon Dua?  
Pertanyaan yang amat mengganggu bagi kita di Indonesia, mengapa Jepang bersedia bersepakat dengan Korea Selatan untuk minta maaf dan memberi kompensasi, tapi pemerintah Jepang sama sekali mengabaikan Indonesia dan Filipina?  Bukankah selama ini, terutama sejak era pemerintahan Suharto sejak 1967-1998, Jepang dan Indonesia merupakan mitra strategis dalam kerja sama di sektor ekonomi dan perdagangan? Lantas, kenapa dalam soal Ianfu Jepang lebih mengutamakan penyelesaian soal Ianfu dengan Korea Selatan dan cenderung mengabaikan Indonesia dan Filipina? Seakan Jepang dalam soal Ianfu, memandang Indonesia dan Filipina sebagai negara-negara peringkat kedua dalam orientasi politik luar negerinya.
Padahal, gerakan berbagai elemen masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) utamanya yang bergerak dalam isu perempuan, telah melancarkan berbagai kegiatan mendesak pertanggungjawaban pemerintah Jepang terhadap praktek-praktek kejahatan Perang Jepang di Indonesia, khususnya dalam memperlakukan para wanita Indonesia sebagai obyek perbudakan seks tentara Jepang.
Pada 9 November 2011, Global Future Institute menyelenggarakan sebuah Workshop dengan tema : Strategi Membangun Kesadaran Sejarah bagi Generasi Masa Depan Sejarah Ianfu Indonesia: Kasus Ianfu Indoensia dan Rawa Gede, bersepakat bahwa Perjuangan terhadap para Korban Ianfu Indonesia harus diletakkan dalam perspektif Mengembalikan Harkat dan Martabat mereka sebagai Korban.
Para peserta workshop waktu itu bersepakat mengajukan beberapa usulan langkah kongkrit yang kiranya perlu disampaikan sebagai bahan masukan baik kepada pemerintah Indonesia maupun Dewan Perwakilan Rakyat:
1. Perlu Pelurusan Sejarah Ianfu Indonesia bahwa mereka adalah korban akibat Kejahatan Perang Tentara Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.
2. Mengusulkan kepada pemerintah Indonesia, agar segera memasukkan Jugun Ianfu ke dalam buku sejarah sebagai korban dari masa Penjajahan Jepang di Indonesia.
3. Perlu segera dibuat monument, prasasti atau bahkan museum, sebagai simbol yang bisa berbicara mengenai apa yang terjadi pada waktu penjajahan Jepang di Indonesia, dan apa yang pernah dialami oleh para Korban Ianfu Indonesia, khususnya Kaum Perempuan Indonesia.
4. Mengingat pentingnya peran Pemerintah dalam mendukung dan membantu perjuangan elemen-elemen masyarakat terhadap para korban Ianfu Indonesia dalam konteks mengembalikan harkat dan martabat mereka sebagai korban, maka perlu adanya keterlibatan lintas-kementerian yang ada di pemerintahan.
5. Meminta Pemerintah Indonesia agar Jepang harus bertanggungjawab dalam keikutsertaannya dalam pelurusan sejarah Jugun Ianfu Indonesia. Sehingga tidak cukup hanya dengan permintaan maaf saja.
6. Meminta Pemeritan Indonesia agar Jepang ikut membantu pengungkapan sejarah Ianfu Indonesia.
7. Meminta perhatian dari seluruh lembaga-lembaga pendidikan terkait dengan pengajaran sejarah di semua tingkatan pendidikan, dalam menyajikan Sejarah Ianfu Indonesia menurut sudut pandangn sejarah yang benar dan faktual.
8. Menggarisbawahi pentingnya Penyelesaian Soal Ianfu Indonesia diletakkan dalam perspektif hubungan Indonesia-Jepang yang lebih setara dan bermartabat.
9. Untuk program jangka pendek, mengingat kehidupan para korban saat ini yang berada dalam kesulitan ekonomi, maka perlu segera digagas Program Jaminan Sosial bagi para korban Ianfu yang berada di luar konteks program Lanjut Usia.
Sejarah Kelam Jepang di Indonesia, Filipina, Cina, Taiwan dan Korea 
Sekali kami perlu ingatkan, bahwa Korea Selatan bukan satu-satunya korban kejahatan perang Jepang di Asia Pasifik. Berdasarkan berbagai studi sejarawan maupun para pegiat perjuangan hak-hak sipil mengenai praktek perbudakan seksual atau Ianfu di beberapa negara eks jajahan Jepang di Asia, ada sekitar 200 ribu perempuan muda yang dipaksa menjadi pekerja seks atau yang kemudian dikenal sebagai Jugun Ianfu. Para perempuan muda ini berasal dari Indonesia, Cina, Taiwan, Filipina dan Korea.
Dan ketika kita melakukan flash back atau kilas  balik penyikapan pemerintah Jepang dalam soal Ianfu ini, terungkap beberapa kali membuat pernyataan-pernyataan yang inkonsisten atau berubah-ubah.
Merujuk pada sebuah berita dari AFP, pada 1993, sebenarnya pemerintah Jepang, melalui jurubicaranya waktu itu, Yohei Kono, telah meminta maaf kepada para korban (Survivors) Jugun Ianfu dan mengakui keterlibatan Jepang sehingga menyebabkan penderitaan lahir dan batin terhadap para korban Ianfu tersebut (In a landmark 1993 statement, then chief Japanese government spokesman Yohei Kono apologized to former comfort women and acknowledged Japan’s involvement in causing their suffering).   
Namun anehnya pada 2007, Perdana Menteri Shinzo Abe justru menyangkal keterlibatan Jepang dalam mendukung dan mendorong praktek perbudakan seksual tentara Jepang tersebut, dan bahkan mengatakan tak ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa Jepang secara langsung mendukung adanya perbukan seksual tentara Jepang.
Padahal, dari berbagai sumber pustaka terkait penelitian seputar Jugun Ianfu, setidaknya diperkirakan 100 ribu sampai 400 ribu perempuan muda dipaksa untuk melayani “hasrat seksual” tentara Jepang sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Khususnya di negara-negara jajahan Jepang di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Sekadar ilustrasi dalam kasus Indonesia, menarik informasi terbaru yang dilaporkan oleh Eka Hindra, research associate Global Future Institute dan peneliti independen tentang praktek perbudakan seksual yang berlangsung di Indonesia antara 1942-1945. Menurut informasi Eka, berdasarkan penelusuran arsip sementara di kota Solo, Jawa Tengah, terdapat 150 perempuan yang telah dijadikan Ianfu  di dua Ianjo yang diberi nama Fuji Ryokan dan Chiyoda Ryokan , di daerah Gladak. Bahkan secara khusus, Eka sempat mewawancarai Ianfu dari Karang Pandan, bernama Kasinem pada 2008-2011. Dugaan sementara , salah satu dari 150 Ianfu dengan nama Jepang Yako.
Tentu saja ini baru sepenggal kisah tragis perempuan Indonesia yang telah direndahkan martabat dan harga dirinya akibat praktek perbudakan seksual tentara Jepang di Indonesia.
Temuan Eka dari arsip di Solo bisa dinilai cukup kredibel mengingat reputasi dan rekam jejaknya yang begitu intensif sebagai peneliti maupun advokator Ianfu Indonesia sejak 1999. Kisah Mardiyem asal Yogyakarta dan Suharti di Blitar, merupakan penemuannya yang telah membuka mata dunia. Eka juga sempat bertemu dengan saksi sejarah 67 tahun Silam bernama Sri Sukanti, survivor Ianfu dari Salatiga.
Sukanti mengisahkan sejarah kelam hidupnya dalam suka cita. Ia terlahir sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang Wedana bernama Soedirman dan Ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya dimulai pada pertengahan tahun 1945. “Di suatu siang sekitar pukul 11 datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi. Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang kalau Wedana Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita”. Singkat cerita, Sukanti bersaksi bahwa tentara Jepang yang membawanya itu bernama Ogawa. Malam pertama di sana, saya dimandikan, keramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Ogawa persis seperti boneka”, kenangnya terpukul.
Untuk kisah selengkapnya, artikel Eka Hindra berjudul “Nyah Kran Tawanan Di Gedung Papak” – Jugun Ianfu Part II (Bagian Pertama).
Dalam seminar yang kami adakan pada Oktober 2010 lalu di Jakarta, Sri Sukanti kami hadirkan sebagai salah seorang saksi hidup korban Ianfu. Kehadiran Ibu Sri Sukanti di hadapan peserta seminar sehari tentang Jugun Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme di Indonesia.
Dalam seminar yang diprakarsai Global Future Institute itu,, Sukanti sempat mengejutkan sekitar 65 orang peserta seminar yang hadir di Hotel Santika, Slipi, Jakarta. Kesaksiannya yang singkat namun penuh emosi tersebut membuktikan betapa kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942-1945, utamanya lewat kebijakan paksa bagi para perempuan Indonesia untuk menjadi budak seks tentara Jepang memang nyata adanya.
Dalam presentasinya di depan peserta seminar yang diselenggarakan oleh Global Future Institute tersebut, Sukanti berkata: “Selama menjadi Ianfu, saya diperlakukan seperti binatang oleh tentara Jepang. Saya diperlakukan seperti kuda. Setelah merdeka hingga sekarang saya sangat sedih karena tidak pernah ada perhatian dan solidaritas dari masyarakat maupun negara kepada saya yang telah menjadi korban kekejaman tentara Jepang.
Setelah Jepang pergi, saya menikah. Suami saya seorang tukang batu. Dari perkawinan itu saya tidak dikaruniai anak. Mungkin karena waktu menjadi Ianfu saya disuntik oleh tentara Jepang. Kalo tidak salah 16 kali saya disuntik. Dan kalo saya inget suntikan itu sedih saya. Sakit sekali. Pokoknya saya ini merasa hancur.
Yang diinginkan Sukanti, Rosa, Kasinem, Icih, maupun para korban Ianfu lainnya,  sebenarnya sederhana saja. Permintaan maaf dari Pemerintah Jepang. Sekaligus Rehabilitasi reputasi dan nama baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal” melainkan orang-orang yang dipaksa sebagai obyek perbudakan seks akibat sistem militerisme tentara Jepang dengan sengaja dan sadar memang memobilisasi dan memaksa para perempuan di negara-negara jajahan Jepang untuk jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara Jepang.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com