Dina Y. Sulaeman, alumnus Magister Hubungan Internasional Unpad, research associate di Global Future Institute (GFI)
Pemerintah mulai mewacanakan lagi pengurangan subsidi BBM. Seperti biasa, tulisan seorang pengamat ekonomi soal ‘kebohongan subsidi BBM’ kembali disebarluaskan di media sosial (FB, blog, dll). Argumen soal ‘kebohongan subsidi’ memang membuat nyaman masyarakat yang memang umumnya anti pencabutan subsidi. Namun, menurut sebagian orang, hitung-hitungan yang dilakukan sang pengamat ekonomi ini sangat banyak menyederhanakan, terlalu banyak berasumsi, dan banyak variabel yang tidak dilibatkan, terutama yang dari segi keteknikan.
Saya tidak akan membahas detil soal hitungan ini karena bukan bidang saya. Yang jelas, di internet kita bisa menemukan cukup banyak tulisan yang dengan detil menjelaskan dimana letak kesalahan kalkulasi sang pengamat ekonomi.
Ada argumen yang banyak diulang-ulang oleh pihak-pihak yang antipencabutan subsidi, yang saya tahu pasti kesalahannya, yaitu argumen yang melibatkan Iran. Iran disebut-sebut sebagai negara yang menjual minyak dengan harga sangat rendah kepada rakyatnya, yaitu Rp 1287/liter. Ini tidak benar. Harga bensin di Iran saat ini minimalnya 4000 IRR/liter dan ada pembatasan pembelian; akan saya jelaskan nanti. (IRR= Iranian Riyal; per 21 April 2013, 4000 IRR= Rp3160)[1]
Yang mungkin akan mengejutkan banyak orang, Iran pun MENCABUT subsidi BBM-nya. Pernah di suatu masa, harga bensin di Iran memang sangat murah, sekitar Rp1500/liter. Tapi, itu bukan harga asli, melainkan disubsidi 80%.
Sejak akhir tahun 2006, pembelian bensin bersubsidi dibatasi (setiap mobil cuma boleh beli bensin 120 liter/bulan/mobil), dan akhirnya mulai akhir 2010 subsidi pun dikurangi. Menariknya, semua itu terjadi tanpa gejolak (tentu saja, kalau protes-protes minor, selalu ada dalam masyarakat Iran yang memang karakternya outspoken –blak-blakan-itu). Yang lebih menarik, Wamen ESDM kita dulu, Dr. Widjajono Partowidagdo (alm) pernah berkunjung ke Iran untuk mempelajari apa yang dilakukan Iran dalam efisiensi energi. Tapi, sayang sebelum beliau bisa mengaplikasikan apapun , beliau meninggal dunia (yang menurut pengamatan sebagian orang, agak ‘misterius’).
Ada satu fakta penting yang perlu dicermati: Iran memberikan subsidi BBM. Ini jelas kontradiktif dengan pernyataan seorang pengamat ekonomi terkenal: ‘tidak ada yang disebut subsidi BBM itu’. Padahal, Iran adalah negara dengan cadangan minyak nomor 3 di dunia dan dengan cadangan gas nomor 2 di dunia. Iran jauh lebih kaya minyak daripada Indonesia, tapi mereka tetap memberikan subsidi.
Artinya apa? Pemakaian BBM di Iran sangat tinggi karena (dulu) harganya murah, bahkan 18 kali lipat tingkat konsumsi orang Jepang dan 9 kali lipat orang AS. Kasus penyelundupan BBM ke luar negeri pun banyak terjadi. Iran pun terpaksa mengirim minyak mentahnya ke negara-negara lain untuk di-refinery, karena hasil refinery di dalam negeri tidak cukup, saking borosnya. Ketika harus di-refinery di luar negeri, jelas memakan biaya besar. Dan ketika dijual di dalam negeri, pemerintah harus memberikan subsidi agar harga tetap murah. Artinya, pemerintah terbebani oleh subsidi ini.
Saya sempat berada di Iran ketika harga bensin di sana sangat murah. Saat itu, saya menyaksikan sendiri, betapa borosnya rakyat Iran. Mereka mengisi tangki mobil sendiri (karena tidak disediakan pelayan di pom bensin) dengan ceroboh, sehingga bensin itu berceceran. Mereka cuek karena harga yang sangat murah.
Apa yang dilakukan Iran untuk mengatasi masalah ini? Pemerintah di sana dengan tepat melihat bahwa Iran memiliki cadangan gas yang sangat besar. Bila rakyat menggunakan bahan bakar gas (dari jenis CNG), Iran akan menghemat sangat banyak uang (yang digunakan untuk subsidi) dan bahkan menghasilkan banyak uang (karena surplus BBM bisa dijual). Inilah yang secara sistematis dilakukan Iran dan dilakukan secara kontinyu, meski presidennya berganti-ganti. Proses sosialisasi pencabutan subsidi itu dilakukan sejak tahun 1993, era Presiden Rafsanjani. Sosialisasi itu bahkan dilakukan lewat film. Di komedi lawak Powarchin, yang membuat kota Teheran lengang (saking semua orang duduk di rumah menonton film serial tersebut), sering diselipkan propaganda (dengan cara yang mengundang tawa) betapa subsidi minyak itu membebani pemerintah. Bayangkan bila uang untuk subsidi itu dialihkan membuat rumah sakit, sekolah, bla…bla..(demikian’iklan’ di film lucu tersebut).
Di saat yang sama, sejak 1999 (era Khatami), dimulailah proyek jangka panjang pembangunan stasiun pengisian CNG; dimulai dengan membangun pipa-pipa gas hingga ke pelosok desa-desa. Tahun 2004, seorang periset senior lembaga riset milik pemerintah berhasil menciptakan tabung CNG untuk mobil dan hasil risetnya itu diproduksi massal oleh pemerintah tahun itu juga. Stasiun pengisian CNG pun dibangun di seantero negeri. Tahun 2004 itu pula, Iran-Khodro (industri mobil terbesar Iran) mulai membuat kit-converter untuk mobil yang mau beralih dari BBM ke CNG. Iran-Khodro juga memulai produksi mobil berbahan bakar CNG yang selesai tahun 2005 (era Ahmadinejad).
Masih tahun 2004 itu pula, kepolisian Iran mulai menertibkan lagi sistem pendataan kepemilikan mobil untuk menunjang program e-smart-card untuk kartu bensin subsidi.
Tahun 2005, Pemerintahan Ahmadinejad memberikan subsidi kepada rakyat yang ingin mengganti sistem mobilnya agar berbahan bakar CNG. Subsidi itu berupa kit-converter, juga subsidi untuk pengadaan tabung CNG-nya, bahkan subsidi untuk orang-orang yang mau membuka usaha pompa CNG. Seseorang hanya perlu punya tanah kosong minimal 1000 m2 dan uang modal 500 juta IRR. Selanjutnya, semua alat, keperluan, dan berbagai biaya tambahan untuk membangun pompa CNG itu disuplai pemerintah.
Selanjutnya, sejak 2010, mulailah pembatasan subsidi dilakukan dengan menggunakan semacam kartu subsidi (e-smart card). Setiap mobil cuma berhak membeli 60 liter/bulan bensin yang disubsidi 50%. Harga bensin super 5.000 IRR dan bensin biasa 4.000 IRR perliter. Kartu subsidi ini ada PIN-nya dan harus cocok antara nomor mobil, nama pemilik mobil, dan warna mobil. Satu mobil tidak bisa memakai jatah mobil lain saat membeli bensin. Jika pemakaian bensin sebuah mobil lebih dari 60 liter/bulan, pemilik mobil tersebut harus membeli bensin dengan harga pasar Iran (yang sebenarnya masih juga disubsidi 20 %), yaitu 8.000 IRR/liter (bensin super) dan 7.000 IRR/ liter (bensin biasa).
Sementara itu, harga 1 tabung CNG adalah 60.000 IRR yang bisa dipakai untuk jarak sekitar 750 km. Ketika di pasar terjadi perbedaan harga: harga BBM lebih mahal daripada CNG, jelas, rakyat akan memilih dengan sukarela: mengganti sistem mobilnya dengan sistem CNG (apalagi ditunjang dengan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah).
Jadi, inilah yang umumnya kita abaikan di tengah hiruk-pikuk perdebatan tentang pencabutan subsidi BBM. Publik lebih fokus kepada dampak negatif pencabutan subsidi BBM. Padahal, ada masalah lain yang lebih penting diangkat yaitu upaya mencapai kemandirian energi.
Minimalnya ada tiga fakta yang sepertinya agak diabaikan para pengamat yang berkali-kali muncul di televisi (atau menulis di koran).
Pertama, Indonesia bukan lagi negeri yang kaya minyak. Indonesia saat ini berada di peringkat 22 dalam daftar pemilik cadangan minyak terbanyak dunia. Sejak era Orde Baru, kebijakan energi Indonesia sangat bertumpu kepada minyak, tanpa melakukan upaya pengembangan sumber-sumber energi terbarukan. Semakin lama, cadangan minyak Indonesia semakin menurun sementara minyak tetap menjadi sumber utama energi di Indonesia.
Kedua, minyak Indonesia pun tidak sepenuhnya diproduksi bangsa ini. Pertamina hanya memproduksi 13,8% dari total produksi minyak Indonesia, sementara sisanya diproduksi oleh perusahaan asing, antara lain Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%), dan CNOOC (4,6%). Perusahaan-perusahaan asing itu tentu saja menjual minyaknya dengan harga pasar internasional karena berdasarkan aturan UU Migas, pemerintah tidak berhak lagi ikut campur dalam kebijakan perusahaan-perusahaan asing tersebut. Sementara, demi memenuhi konsumsi dalam negeri, Indonesia setiap harinya harus mengimpor 600.000 barel minyak dengan harga internasional dan dijual dengan harga Indonesia. Inilah sebabnya pemerintah mensubsidi BBM.
Ketiga, terjadi ketidakefisienan dalam pengelolaan energi kita. Antara lain, mengapa kita hanya mengelola 13% minyak Indonesia dan sisanya diserahkan kepada perusahaan asing dengan bagi hasil yang tidak adil? Selain itu, mengapa kita harus memilih untuk mengimpor minyak, sementara kita mempunyai sumber energi yang jauh lebih murah bila dimanfaatkan, yaitu batu bara dan gas? Anehnya, batu bara dan gas justru dijual murah kepada negara asing.
Jawaban dari pertanyaan ini sudah banyak yang tahu: kalau ada energi alternatif, pastilah itu mafia-mafia minyak Indonesia maupun asing akan rugi besar! Itulah sebabnya mereka menekan pemerintah supaya tidak mengembangkan energi alternatif. Yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban anggaran hanya mencabut subsidi, tanpa ada upaya penyiapan infrastruktur untuk penggunaan energi alternatif. Di sinilah letak kesalahan besarnya. Jangan malah dikaburkan pada isu ‘kebohongan subsidi’.
Inti dari tulisan ini hanya satu: marilah kita lebih jernih dalam menyikapi berbagai isu. Tidak semua pencabutan subsidi itu antirakyat. Pencabutan subsidi hanya persoalan di ‘permukaan’, tapi ada hal-hal yang lebih penting dicermati dan disuarakan. Dan yang kunci utamanya memang pada pemerintahan yang jujur, amanah, dan bervisi. Mudah-mudahan kelak kita memiliki pemerintah yang seperti ini. Amin.
[1] 1 Rupiah = 1,265 IRR; 1 USD = 12, 285 IRR, per 21 April 2013, menurut http://www.xe.com/currencyconverter/