Sejak 2011 lalu, perang saudara yang berkecamuk di Suriah antara pasukan pendukung pemerintahan Bashar al Assad versus milisi bersenjata yang dibina AS dan NATO, masih berlangsung hingga kini. Bahkan kemudian melibatkan Rusia, Iran dan kemudian Turki, sebagai kekuatan penyeimbang terhadap persekutuan AS-NATO yang bermaksud menggulingkan Presiden Assad.
Sumber berita: https://www.strategic-culture.org
Namun demikian, dengan tetap berlarutnya krisis Suriah meski sudah berlangsung selama 7 tahun, agaknya kubu AS dan NATO merasa gagal untuk memplot Suriah sebagai negara satelitnya. Berkat bantuan yang solid dari Rusia, Iran dan Turki, AS kelompok-kelompok milisi bersenjata binaan AS dan NATO, sampai sejauh ini gagal menggulingkan Presiden Assad.
AS dan NATO sepertinya sudah menyiapkan rencana B untuk menentukan lokasi baru untuk memicu Perang Dunia III. Menariknya, sejak 2014 AS dan Uni Eropa, khususnya Jerman, mulai mempertimbangkan Ukraina, negara pecahan dari Uni Soviet, untuk dijadikan lokasi untuk memicu berkobarnya Perang Dunia III antara AS-NATO versus persekutuan Rusia-Iran-Suriah-Turki. Seraya mengubah sifat perang dari Perang Konvensional menjadi Perang Nuklir.
Ukraina, negara pecahan dari Uni Soviet yang sekarang merupakan negara sendiri, saat ini merupakan sekutu strategis AS dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Tak heran jika Washington memperlakukan Ukraina saat ini seperti anggota NATO.
Sebuah artikel menarik berjudul US Switching to Ukraine as Location to Start World War III Against Russia Menggambarkan Ukraina bakal jadi medan perang proxy AS versus Rusia, yang berpotensi menjadi Perang Dunia III yang diwarnai oleh perang nuklir yang dilanckarn kedua negara adikuasa tersebut. Kalau skenario ini jadi kenyataan, maka Suriah yang semula jadi medan proxy AS versus Rusia sejak krisis Suriah berlangsung pada 2011 lalu, agaknya akan segera bergeser ke Ukraina.
Pada 4 September lalu, Presiden Donald Trump memperingatkan Suriah, Iran dan Rusia, agar tidak menumpas para milisi bersenjata binaan AS dan NATO yang berbasis di provinsi Idlib. Jika ketiga negara itu bersikukuh menumpas, AS akan melancarkan invasi militer besar-besaran terhadap Suriah, Iran dan Rusia.
Meski saat ini baru sekadar gertak sambal belaka, namun ini mengisyaratkan sebuah tren global yang cukup berbahaya. Berarti baik AS maupun Rusia akan semakin meningkatkan eskalasi kekuatan militernya maupun postur pertahanannya pun bakal semakin agresif. Bahkan pada skala kemungkinan timbulnya Perang Nuklir dari kedua belah pihak.
Alhasil, perang konvensional bakal segera beralih jadi perang nuklir. Maka itu menarik mencermati dua pertemuan penting pada 7 dan 17 September lalu. Yang mana baik Rusia, Turki, Iran dan Suriah, bersepakat untuk mengalihkan kendali kekuasaan provinsi Idlib kepada Turki sebagai salah satu negara anggota NATO.
Meskipun hal ini merupakan hasil kesepakatan antara Putin, Rouhani, Erdogan dan Assad. Namun kesepakatan tersebut harus dibaca sebagai solusi sementara untuk membendung niat AS dan sekutunya NATO untuk melancarkan invasi militer berskala besar terhadap Rusia maupun Suriah dan Iran.Sebab bagi AS dan NATO kendali kekuasaan terhadap provinsi Idlib di Suriah amat vital karena disanalah milisi-milisi bersenjata binaan CIA yang terkait dengan Al Qaeda bercokol.
Menariknya, berdasarkan kesepakatan pertemuan pada 7 September dan 17 September lalu, Turki telah berfungsi sebagai daerah penyangga antara kubu AS-NATO versus Rusia-Iran-Suriah. Sehingga peran Turki jadi vital dan strategis dalam percaturan politik internasional di Timur Tengah.Bisa jadi akibat terciptanya keseimbangan antar kekuatan adikuasa di Suriah yang bermuara pada jalan buntu, maka sejak 2014 lalu AS dan NATO mulai menerapkan rencana B yaitu Menggeser medan perang proxy dari Suriah ke Ukraina.
Maka pada 2014 itulah AS dengan dukungan dari Jerman dan beberapa negara Uni Eropa, mendorong penggulingan Presiden Viktor Yanukovich dari kursi kepresidenan. Dan memunculkan Poroshenko sebagai kepala pemerintahan baru boneka AS dan Blok Barat. Dengan mengandalkan dukungan dari partai Svoboda yang berhaluan fasisme/nazisme sebagai salah satu pilar dari pemerintahan koalisi di bawah pimpinan Poroshenko.
Sepertinya, manuver penggulingan Yanukovich pada 2014 merupakan langkah awal membangun sebuah basis baru di Ukraina, sebagai medan perang proxy AS versus Rusia, untuk memicu meletusnya Perang Dunia III. Bantuan militer AS kepada Ukraina berupa dua pesawat tempur, punya dua makna strategis. Persekutuan AS-NATO dengan Ukraina yang juga sudah bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara ini, semakin solid. Kedua, donasi dua pesawat tempur dari AS kepada Ukraina ini dimaksudkan untuk menghadapi kekuatan militer Rusia.
Kalau melihat gelagat perilaku Presiden Trump yang sepertinya selalu mengintegrasikan diplomasi ekonomi-perdagangannya dengan peningkatan eskalasi kekuatan militernya, prediksi menuju perang dunia III dengan menggunakan senjata nuklir, agaknya bukan sekadar angan-angan kosong. Hal terburuk bisa saja terjadi.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)