Deklarasi Djuanda: Pagar Perairan Indonesia

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Kalau boleh mengulas, ajaran geopolitik dan (mungkin) yang kali pertama membahas “geopolitik”-nya Indonesia Raya justru Panglima Soedirman, “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947), sedangkan Deklarasi Djuanda 1957 merupakan implementasi teori Pak Dirman di atas. Klimaks atau titik puncak perjuangan “Deklarasi Djuanda” membuahkan hasil bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State) diterima oleh masyarakat internasional. Ini termaktup pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang disahkan di Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982.

Selanjutnya kita meratifikasi UNCLOS 1982 ini dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 1985 tanggal 13 Desember 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut), dan kemudian ditetapkan melalui UU No 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Itulah “PAGAR” Indonesia agar perairan kita terjaga dari “pelayaran bebas” oleh asing.

Dalam UNCLOS dan UU 6/1996, semua kapal asing memang dapat melewati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan untuk keperluan melintas dari satu bagian laut bebas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ke bagian lain laut bebas, namun aktivitas pelayaran asing diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 36 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Inilah PP tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang harus, mutlak dan wajib dilintasi oleh kapal-kapal asing bila mereka berlayar dalam wilayah perairan Indonesia.

Sampai disini, diskusi lanjutan soal ALKI, baik ALKI I, II sampai ALKI III, III-A, III-B dan III-C. Nanti akan kita kaitkan dengan “Poros Maritim Indonesia” atau Tol Laut yang —tampaknya— merupakan kelanjutan program “Pendulum Nusantara”-nya Pemerintah SBY pada program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)

Sebelum lahir Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) dimana nusantara yang dikelilingi laut dan setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Betapa dahsyat “PAGAR” yang bernama Deklarasi Djuanda, ‘kan?

Hakekat ALKI I, II dan III

ALKI I untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia dan sebaliknya via Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda, sedangkan ALKI II adalah jalur Laut Sulawesi ke Samudera Hindia dan sebaliknya via Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok. ALKI III adalah perlintasan dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu, dll hingga ALKI III-A, B dan C dari Samudera Pasifik ke Laut Timor atau ke Laut Arafura dan sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram, dan Laut Banda.

Pendulum Nusantara (PN) adalah sebuah sistem transportasi barang dengan menggunakan kapal ukuran besar (kapasitas 3000-4000 TEU) yang melewati sebuah jalur laut utama dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia secara rutin. Karena pola gerakannya dari barat ke timur dan kemudian berbalik timur ke barat (seperti gerakan sebuah pendulum ketika digoyangkan), maka program ini disebut Pendulum Nusantara.

Di dalam jalur laut utama tersebut, akan ada 5 pelabuhan utama yang akan disinggahi oleh kapal-kapal ukuran besar, yaitu Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Makassar dan Sorong (Papua). Lima pelabuhan ini juga berfungsi sebagai titik simpul atau hub regional bagi daerah di sekitarnya (disebut dengan loop). Barang-barang akan dikirim ke pelabuhan di sekitarnya menggunakan kapal yang lebih kecil.

Perbedaan yang agak mencolok mungkin soal arah gerakan saja, jika PN dari Barat ke Timur, sedangkan Tol Laut kebalikannya, dari Timur ke Barat.

Kita cuma punya 3 (tiga) ALKI kecuali ALKI III yang mengembang hingga A, B dan C. Adakah yang ingat dan paham soal rencana ALKI IV —lintasan dari Timur ke Barat— yang dahulu pernah digagas oleh Amerika dan Aussie namun ditolak oleh Indonesia? Tahun berapa? Nah, menurut seorang pakar kelautan kita Dr Y Paonganan http://www.dakwatuna.com/ apabila lintasan Timur – Barat yang melintas Laut Jawa dibuka, maka ibarat memberi akses “kamar pribadi” kita kepada para maling, bisa-bisa istri kita dicolong!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com