Presiden Jokowi Harus Fokuskan Sektor Maritim, Perdagangan dan Investasi di G-20

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Indonesia, bersama Cina dan Rusia, harus galang kekuatan multilateral berdasarkan skema BRICS, untuk mencegah AS dan Uni Eropa menggunakan forum G-20 untuk memainkan kepentingan-kepentingan ekonomi politiknya.

Belajar dari blunder Presiden Jokowi ketika menyatakan berniat gabung dengna Trans Pacific Partnership (TPP) saat  bertemu Presiden Barrack Obama beberapa waktu berselang, dalam forum G-20 yang diadakan pada 15-16 November 2015 mendatang, maka perlu ada suatu langkah terobosan yang strategis dalam keikutsertaan Indonesia dalam forum multilateral yang diadakan di Turki kali ini.
Sebagaimana kajian-kajian Global Future Institute sebelumnya, kami berkali-kali mengingatkan bahwa gagasan terbentuknya G-20 sejatinya diprakarsai oleh Amerika Serikat ketika negara Paman Sam ini dilanda krisis ekonomi. AS ketika itu bermaksud membagi kesulitan ekonomi dengan negara-negara lain, termasuk dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga bisalah dikatakan bahwa G-20 dibentuk dengan maksud untuk menyelematkan perekonomian negara-negara yang tergabung dalam G-7, yaitu gabungan antara AS dan beberapa negara industri di Eropa Barat.
Kedua, G-20 sebenarnya tidak bisa diharapkan sebagai forum ekonomi untuk mengubah tata dunia baru, apalagi untuk menampung aspirasi dalam skala yang lebih luas. Justru sebaliknya, AS dan Eropa Barat dalam G-7 bermaksud membagi beban kepada negara-negara berkembang.
Menyadari hal itu, Pemerintahan Jokowi-JK kiranya harus memfokuskan diri pada sektor maritime, perdagangan dan investasi, untuk ikut mewarnai dinamika perkembangan global yang dampaknya juga mulai melanda forum G-20. Yaitu ketika dalam menghadapi kecenderungna AS dan Uni Eropa untuk membangun Kutub Tunggal atau Unipolar di dalam forum G-20, maka Rusia dan negara-negara yang tergabung dalam BRICS mulai menyusun kekuatan penyeimbang di dalam forum G-20.
Dalam tataran inilah, Indonesia dengan mengedepankan sektor maritime, perdagangan dan investasi, bisa mempunyai alasan pembenaran untuk ikut bergabung dalam skema  BRICS yang dimotori oleh Cina dan Rusia. Hal ini tentunya amat menguntungkan mengingat BRICS sudah memiliki aspirasi dan skema tersendiri dalam ikut mempengaruhi perkembangan ekonomi dunia, di luar skema persekutuan strategis AS dan negara-negara yang tergabung dalam G-7.
Dengan merujuk pada skema BRICS, Indonesia bisa ikut memainkan peran sentral dalam menciptakan format baru persekutuan ekonomi negara-negara berkembang, dan bahkan menjadi pemrakarsai utama dalam penyusunan skema tersebut. Dengan memanfaatkan aliansi strategis Rusia-Cina yang sudah terbangun sejak 2001 melalui terbentuknya Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Bagi Indonesia, langkah pilihan untuk ikut menyusun kekuatan penyeimbang melalui skema BRICS di forum G-20, rasa-rasanya cukup beralasan mengingat fakta  bahwa meskipun Rusia tergabung dalam G-8 (gabungan negara-negara G-7 plus Rusia), namun pada hakekatnya Rusia tetap berada di luar skema persekutuan strategis Amerika-Inggris maupun negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa.
Selain itu, langkah pilihan bersekutu dengan Rusia-Cina dalam kerangka BRICS, kiranya tetap sesuai dengan kebijakan luar negeri RI yang bertumpu pada kedaulatan dan kemandirian sebagaimana tercermin dalam azas politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Dalam konteks inilah, fokus pemerintahan Jokowi-JK untuk menitikberatkan sektor maritim sebagai agenda unggulan dalam forum G-20 15-16 November mendatang, merupakan “pintu masuk” menuju kerjasama strategis Indonesia dengan Cina dan Rusia melalui skema BRICS.
Skema BRICS Jauh Lebih Menguntungkan Indonesia
Kedekatan Indonesia dengan Cina saat ini sebenarnya sudah benar, hanya saja belum tepat, karena  belum didasarkan kerangka kerjasama dan skema yang strategis dan tepat sasaran. Dalam menjalin kerjsama baik dengan Cina maupun Rusia, Indonesia harus membangunnya atas dasar kerangka kerjasama multilateral, dan bukan bilateral semata-mata. Kalaupun pada perkembangannya nanti akan dijabarkan dalam kerjasama bilateral, tetap harus dituntun oleh semangat dan komitmen kerjasama segitiga Indonesia-Rusia dan Cina secara multilateral.
Menyusul pertemuan Presiden Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi Senin 3 November, Jokowi terkesan akan mendorong Cina membantu pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan bidang kemaritiman. Pada tataran ini, pemerintah Indonesia harus hati-hati dan pandai-pandai untuk bermain. Apalagi ketika persaingan global antara Amerika Serikat dan Cina di sepanjang jalur sutra, yang mana termasuk di dalamnya Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, semakin meningkat skala dan intensitasnya dalam beberapa waktu belakangan ini.
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point (MSRP). Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sebagai investor, Cina pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan Cina? Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Jika tawaran Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.
Tentu saja perlu analisis dan penilaian yang kritis terkait permintaan Cina untuk mengaitkan rencana Poros Maritim pemerintahan Jokowi-JK dan Jalur Sutra Maritim Cina. Ketika sasaran strategis Jalur Maritim Cina bertumpu pada strategi String of Pearl yang tujuan strategisnya adalah penguasaan wilayah-wilayah yang punya nilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara, Poros Maritim dan Pembangunan Tol Laut semata-mata didasarkan pada gagasan pembangunan ekonomi dan proyek pembangunan infrastruktur bidang kemaritiman. Dalam hal pembangunan tol laut misalnya, tujuan sesungguhnya hanya sebatas untuk meningkatkan jalur armada angkut kargo laut antar pelabuhan.
Jika skema kerjasama Indonesia-Cina seperti ini, maka Indonesia di masa depan akan berada pada pihak yang dirugikan. Karena melalui skema SERB dan MSRP, secara geopolitik Cina akan menguasai Indonesia secara bertahap melalui matra ekonomi.
Akibatnya, di tengah persaingan global yang semakin menajam antara Amerika dan Cina di matra politik, militer dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, posisi tawar Indonesia justru malah semakin melemah. Dan akan menjadi sasaran perebutan pengaruh antara kedua negara adidaya tersebut.
Bagi negara-negara asing, kerjasama strategis dengan Indonesia di sektor maritim memang  punya nilai strategis. Sekadar ilustrasi, potensi industri berbasis maritim bernilai 1,2 Triliun dollar Amerika Serikat per tahun.
Wajar jika beberapa negara adidaya, berebut pengaruh untuk menguasai sektor maritim Indonesa dengan memanfaatkan program penguatan sektor maritim sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Jokowi.
Adapun penguatan sektor maritim memang sudah dicanangkan oleh Menteri Koordinasi Kemaritiman Indroyono Susilo kepada pers beberapa waktu lalu. Konsep penguatan sektor maritim bertumpu pada ketersediaan kapal-kapal besar yang rutin hilir mudik dengan frekuensi tinggi dari ujung barat di Aceh sampai ujung timur di Papua, atau dari ujung utara sampai ujung selatan Indonesia. Melalui penerapan konsep ini, diharapkan ada peningkatan frekuensi perdagangan antarpulau dan antardaerah.
Selain itu, Menko Kemaritiman Indroyono juga mencanangkan perlunya pembangunan infrastruktur yang mendahului pembangunan Tol Laut sebagaimana yang menjadi program unggulan Jokowi. Seperti misalnya dengan memperkuat jalur utama pelayaran. Untuk itu, Menko Indroyono menekankan ada empat pelabuhan yang perlu segera dibangun di empat titik jalur utama pelayaran dari barat hingga timur Indonesia, yaitu Belawan, Jakarta, Makasar, dan Sorong.
Yang tak kalah penting terkait program pembangunan sektor maritim adalah kesiapan industri nasional kita. Maka dari itu, pembangunan memperkuat sektor maritim harus bersinergi dengan kementerian-kementerian lain khususnya ekonomi. Karena pada perkembangannya kemudian, hal ini menjadi tantangan untuk mengembangkan ekonomi kelautan. Yang itu berarti, seluruh kegiatan ekonomi akan dipusatkan di beberapa wilayah pesisir dan di lautan. Sehingga mau tidak mau, para pemangku kepentingan ekonomi kelautan akan memusatkan perhatiannnya pada beberapa sektor seperti perikanan, industri pengolahan, bahari, dan sebagainya.
Mengingat luasnya lingkup pembangunan sektor maritim dan kelauatan, nampaknya terlalu riskan jika pemerintah Indonesia hanya mengandalkan pada ajakan bantuan kerjasama dari Pemerintah Cina.
Skema tawaran kerjasama Cina kepada Indonesia melalui SERB dan MSRP, memang menjadi sebuah pola baku Cina untuk mengedepankan kerjasama government to government dalam kerangka kerjasama bilateral. Dalam perhitungan Cina, pola kerjasama bilateral akan jauh lebih menguntungkan negara tirai bambu tersebut untuk mengatur dan mengendalikan negara mitra-nya, termasuk Indonesia.
Untuk Cina yang sangat menguasai Perang Asimetris dalam menaklukkan negara sasaran dengan mendayagunakan matra ekonomi dan sosial-budaya, pola kerjasama bilateral ala SERB dan MSRP menjadi sarana yang efektif untuk menguasai negara sasaran. Seperti yang sedang coba dilakukan terhadap Indonesia menyusul kedatangan Menteri Luar Negeri Wang Yi.
Maka dari itu, Indonesia harus memanfaatkan momentum ajakan kerjasama Cina tersebut, dalam kerangka yang jauh lebih strategis, yaitu dengan menawarkan kontra skema yaitu kerjasama pembangunan infrastruktur dalam kerangka kerjasama ala BRICS (Brazil, Russia, India dan South Africa). Mengapa jauh lebih strategis dan menguntungkan bagi Indonesia?
Karena skema kerjasama ala BRICS, yang tentunya tidak sekadar mengikutsertakan Cina, melainkan juga Rusia, didasarkan pada gagasan untuk membentuk aliansi strategis antar negara-negara berkembang. Melalui skema kerjasama ala BRICS, termasuk juga dalam kerangka membangun kembali kejayaan maritim Indonesia, Indonesia akan mempunyai beberapa alternatif pertimbangan dalam rangka menyusun rencana-rencana strategis bersama, yang tidak sekadar untuk memperkuat kepentingan Indonesia, melainkan juga untuk memperkuat persekutuan negara-negara berkembang, sehingga bisa menjadi kekuatan penyeimbang di tengah-tengah dominasi Amerika dan Uni Eropa di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Melalui skema BRICS, Indonesia bisa menyerap inspirasi dari Rusia yang mampu dan berhasil memadukan pembangunan ekonomi dengan visi geopolitik Rusia. Terkait dengan pembangunan infrastruktur, Indonesia bisa menyerap inspirasi dari Rusia terkait dengan Proyek lintas perbatasan yang menghubungkan Timur dan Barat sebagai upaya membangun dampak positif dan menguntungkan bagi koneksitas berskala global. Yang mana, pembangunan ekonomi di Siberia, wilayah Rusia Timur, dijadikan landasan untuk menjadikan Siberia yang semula merupakan “halaman belakang” menjadi “halaman muka” karena Siberia merupakan pintu gerbang Rusia ke Asia Pasifik melalui jalur timur.
Agar bisa mempertimbangkan gagasan kerjasama dalam skema BRICS, para elit politik dan berbagai elemen strategis bangsa, khususnya stakeholder kemaritiman di Indonesia, harus mengenali terlebih dahulu nilai strategis dari beberapa wilayah di Indonesia secara geopolitik.
Pada tingkatan yang lebih praktis dan teknis, Rusia jelas merupakan rujukan yang jauh lebih handal terkait bantuan pengembangan industri maupun teknologi. Apalagi beberapa waktu lalu, dalam sebuah Konferensi antar Kamar Dagang dan Industri antar negara-negara APEC di Hongkong, Rusia sempat menawarkan Program Transfer Technologi Fund kepada negara-negara berkembang yang tergabung dalama APEC. Sayangnya, Pemerintahan Presiden SBY tidak merespon tawaran strategis Rusia sebagaimana yang diharapkan.
Melalui Skema BRICS, yang mana Rusia akan punya peran yang sama strategisnya dengan Cina, Indonesa akan punya beberapa rujukan dan opsi perbandingan. Mengingat fakta bahwa Rusia sangat berpengalaman dalam pembangunan bidang industri, kiranya Pemerintahan Jokowi akan bisa memanfaatkan bantuan dan bimbingan dari Rusia terkait pembangunan di sektor marikultur atau budidaya laut, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, serta industri dan jasa maritim.
Ini cukup beralasan karena sampai saat ini, dari 11 sektor tersebut, baru 20 persen yang termanfaatkan karena keterbatasan teknologi dan sumberdaya manusia. Pada tataran ini, kerjasama Indonesia dengan melibatkan Cina dan Rusia berdasarkan Skema BRICS, Indonesia bisa menyerap pengalaman dan keahlian kedua negara adidaya tersebut secara lebih strategis dan menguntungkan kedua belah pihak.
Selain itu, melalui skema BRICS, meski Cina dan Rusia tetap menjadi induk dari pola kerjasama strategis ini, namun Indonesia bisa mengikutsertakan beberapa negara berkembang yang terjalin dalam kerjasama model ini, untuk mengajukan usulan bersama terhadap Cina dan Rusia sehingga tercipta kerjasama yang saling menguntungkan danwin-win solution.
Gagasan ini amat penting bagi Indonesia terkait kerjasama internasional bidang maritim, karena makna sesungguhnya dari negara maritim adalah: Kita sadar geopolitik bahwa negeri kita ini punya kekayaaan alam tanpa batas di dasar laut. Bukan sekadar negara kelautan bahwa Indonesia itu secara fisik negri dekat laut, dikelilingi laut, atau terhubung dengan laut. Sehingga ketika melakukan kesepakatan strategis dengan negara-negara mitra, kita tahu persis apa kekuatan dan keunggulan kita secara geopolitik. Kita mengenali geopolitical advantage kita sendiri. Sehingga kita punya posisi tawar yang tinggi di mata negara-negara mitra.
Atas dasar kerangka kebijakan strategis mengembalikan kejayaan maritim Indonesia inilah, skema kerjasama ala BRICS harus menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun kerjasama strategis bidang kemaritiman dengan negara-negara asing.
Kemungkinan Rusia sebagai mitra strategis sebagai alternatif dari Cina, kiranya sudah selayaknya jadi bahan pertimbangan. Apalagi Presiden Vladimir Putin sendiri sudah mengisyaratkan akan membuka pintu kerjasama dengan negara-negara mitra di ASEAN, termasuk Indonesia. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Beijing November 2014 lalu, Putin mengatakan ngin memanfaatkan potensi kerja sama Rusia dengan Asia Tenggara untuk menguntungkan kedua pihak. Berkata Putin: “Rusia, sebagai bagian dari kawasan Asia Pasifik, harus menggunakan keunggulan mereka yang kompetitif menjadi pusat perkembangan ekonomi, teknologi, dan investasi yang tumbuh dengan cepat.”
Adapun keunggulan yang ditawarkan Putin ketika itu adalah wilayahSiberia dan Far East (Timur Jauh) Rusia. Dalam kajian Global Future Institute menjelang KTT G20 20 pada 2013 lalu, Rusia mempunyai program unggulan terkait proyek pembangunan infrastruktur yang dipandang oleh negara beruang merah tersebut cukup strategis dari sudut pandang kepentingan dan prioritas nasionalnya.
Melalui Program of Development of Siberia and Far East, Rusia mengaitkan pembangunan infrastruktur dan upaya membangun pengaruh geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Karena Siberia merupakan pintu masuk ke kawasan Asia Pasifik. Selain kenyataan bahwa wilayah Primorsky Krai dan kota Vladivostok saat ini dipandang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Timur Jauh Rusia. Wilayah ini juga berbatasan langsung dengan kawasan pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan dekat dengan pusat-pusat perkembangan ekonomi di negara-negara kawasan Asia Pasifik yang notabene juga tergabung dalam forum ekonomi APEC.
Jika Indonesia bisa diikutsertakan dalam Program of Development of Siberia and Far East, maka beberapa kerjasama pembangunan infrastruktur yang dicanangkan sebagai prioritas oleh pemerintahan Jokowi, bisa dikembangkan dalam kerjamasa Indonesia-Rusia dalam bidang rel kereta api, melalui skema Transit Jalur Kereta Api Siberia. Maupun berbagai kerjasama infrastruktur baru yang kiranya jauh lebih bermanfaat bagi Indonesia. Termasuk dalam kerangka kerjasama maritime sesuai konsepsi Poros Maritim Jokowi. Sehingga bisa dikembangkan secara lebih strategis tidak saja sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, melainkan juga dengan memanfaatkan nilai strategis beberapa wilayah Indonesia secara geopolitik.
Maka masuk akal jika Pemerintahan Presiden Jokowi mulai mempertimbangkan kerjasama strategis dengan Rusia atas dasar pertimbangan tersebut. Jika kita petakan secara lebih rinci, Rusia setidaknya punya keunggulan di beberapa bidang antara lain:
1. Militer
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
3. Sumberdaya Manusia
4. Sejarah dan Peradaban
5. Sumberdaya Mineral
6. Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin.
Beberapa kajian tim Global Future Institute beberapa waktu lalu sudah merekomendasikan pemerintahan SBY-Budiono agar lebih jeli dalam memanfaatkan peran strategis negara-negara seperti Cina dan Rusia yang ingin meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G-7. Khususnya Rusia, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras bidang Industri strategis, termasuk bidang militer, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian. Bahkan juga kerjasama peningkatan sumberdaya manusia, khususnya riset dan pendidikan.
Agus Setiawan, Research Associate Global Future Institute, dalam diskusi terbatas yang diadakan oleh Global Future Institute, mengusulkan agar Indonesia dan Rusia menjalin kerjasama dengan Rusia dalam teknologi Refinery. Baik Refinery minyak maupun refinery CPO. Sehingga pada perkembangannya Indonesia-Rusia akan semakin kuat daya tawarnya di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Bagi Indonesia sendiri, dengan kerjasama teknologi refinery dengna Rusia, akan memiliki teknologi refinery sendiri, sehingga Indonesia bisa kembali menjadi negara eksportir minyak lagi seperti dulu. Persoalan krusia Indonesia saat ini mengapa Indonesia saat ini amat bergantung pada impor minyak dari 16 negara, karena teknologi refinery yang dimiliki Indonesia bukan untuk minyak Indonesia. Sehingga minyak Indonesia dibuat di Singapura dan di beberapa negara lain. Beda halnya dengan Venezuela, yang mana teknologi refinery yang diciptakan memang dimaksudkan untuk minyak mereka.
Maka itu Global Future Institute berpandangan bahwa fokus Indonesia dalam sektor maritim di forum G-20, bisa menjadi jembatan untuk merajut skema kerjasama yang lebih strategis antara Rusia-Cina melalui Skema BRICS. Seraya pada saat yang sama, Indonesia kembali memainkan peran sentral untuk menggalang kerjasama strategis antar negara-negara berkembang. Seperti yang pernah digagas oleh Presiden pertama RI Sukarno, ketika bermaksud mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara baru merdeka dan berkembang pada Agustus 1966.
Sayangnya konferensi yang bernama CONEFO itu batal gara-gara meletusnya Gerakan 30 September 1965. Sekarang, saatnya momentum itu dihidupkan kembali. Apalagi, kenyataan sejarah waktu itu, Rusia sangat mendukung gagasan Sukarno untuk membentuk aliansi strategis negara-negara berkembang melalui CONEFO. Bukan tidak mungkin, spirit CONEFO dan BRICS, masih didasari oleh aspirasi dan semangat yang sama. Yaitu memberdayakan negara-negara berkembang, seraya saat yang sama membendung rencana AS dan Uni Eropa untuk membentuk Kutub Tunggal atau Uni Polar di forum ekonomi.
Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK, harus ikut mencegah agar AS sekutu-sekutunya di Uni Eropa menggunakan forum G-20 untuk memainkan kepentingan-kepentingan ekonomi politiknya.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com