Cerpen Kecil (Geo) Politik
Cara Orde Baru mengalihkan perhatian (deception) agar rakyat tak berpikir politik dan tidak berpolitik praktis, modusnya dilempar sebuah ‘permainan’. Permainan itu dulu bernama Porkas, misalnya, atau SDSB —varian perjudian— dan lain-lain. Betapa canggih. Selain pemerintah bisa menarik pungutan dari hal ilegal (judi) guna membiayai program kegiatan (olahraga), juga yang paling utama — warga masyarakat cenderung lupa bahkan abai terhadap dinamika politik. Sebagian besar publik apolitik. Hari-harinya sibuk meramal mimpi serta asyik memasang lotre. Nyaris tidak ada gejolak politik yang berarti dikala Porkas dan/atau SDSB diizinkan beroperasi.
Kalau sekarang —era reformasi— terutama sejak 2004, ‘permainan deception‘ oleh rezim (sistem dan aturan) malah lebih canggih ketimbang Orde Baru. Mainan yang dilempar ke publik bukan lagi perihal judi dan hal-hal ilegal, namun hal legal bahkan konstitusional melalui sistem negara yakni one man one vote. “Satu orang satu suara”. Ini model demokrasi ala Barat dalam election alias pemilu. Model demokrasi paling tren di abad ke-21.
Akan tetapi, ketika demokrasi impor tersebut dipraktikkan di negara yang belum matang berdemokrasi, dipastikan akan ada dampak (ikutan) negatif. Sudah tentu. Faktanya, selain one man one vote cuma sekadar hura-hura politik berbiaya tinggi, “pesta rakyat”, ia juga bisa berubah jadi malapetaka bagi bangsa dimaksud jika one man one vote bertabrakan dengan kearifan lokal alias local wisdom. Memang tampak gaduh dan mewah di atas permukaan, tetapi miskin substansi. “Politik glamor.” Kegaduhan demokrasi (impor) tidak menyentuh ke kepentingan rakyat/nasional.
Dalam one man one vote, contohnya, rakyat diajak ikut ke ranah politik. Seolah-olah turut berpartisipasi dalam dunia politik, padahal di- plekotho. Sekali lagi, one man one vote memposisikan rakyat ‘dikerjain’ habis-habisan (plekotho), atau dimanfaatkan dalam makna negatif.
Contohnya, bagaimana?
Pada praktik operasional one man one vote, setelah tahap pencoblosan di TPS selesai, rakyat selaku pemilik kedaulatan tertinggi justru tidak bisa lagi menitipkan suaranya. Bahkan saluran untuk menyampaikan aspirasi pun sulit diperoleh. Ini sama saja plekotho. Bagaimana tidak, semua hak-hak rakyat sebagai ‘pemilik saham’ di republik ini dikooptasi partai politik (parpol). Geblek. Maka menjadi wajar bila sekarang marak apa yang disebut dengan istilah ‘parlemen jalanan’. Demonstrasi, misalnya, atau unjuk rasa dalam keseharian. Atau, penggaduhan melalui media sosial menjadi cara baru menyampaikan uneg-uneg agar didengar para elit dan pengambil kebijakan. Banyak contoh di berbagai aspek. No viral, no justice. Hal itu representasi atas kemacetan aspirasi rakyat kepada para wakilnya di parlemen, termasuk terhadap institusi pelayanan lain seperti penegakkan hukum misalnya, atau program infrastruktur daerah yang pating blang-blonteng seperti jalan di Lampung, dan lain-lain.
Jujur kudu diakui, bahwa Kedaulatan Rakyat kini telah dibajak para elit politik dan ketua parpol, karena setelah warga memberi suaranya di TPS, aspirasi pun wassalam. Para wakil rakyat lebih takut kepada ketua partai daripada rakyat —pemilik saham— sebagaimana guyon parikeno satu diantara anggota PDI-P, tatkala RDP antara Komisi III dengan jajaran Kemenko Polhukam terkait transaksi mencurigaikan ratusan trilun rupiah di Kemenkeu.
Inilah permainan biadab yang dikemas dengan cara modern, ngetren, dan aktual, berbasis UUD NRI 1945, konstitusi hasil amandemen empat kali terhadap UUD 1945 (Naskah Asli). Kenapa begitu, sekali lagi — bahwa hak rakyat selaku pemilik kedaulatan tertinggi dibajak oleh parpol secara biadab melalui tata cara seolah-olah beradab.
Memang, diwaktu amandemen sesi ke-4 (2002) UUD 1945, status MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara diturunkan menjadi Lembaga Tinggi Negara setingkat BPK, MK, DPR dan lain-lain. Gilirannya, MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan Ketetapan/TAP MPR yang bersifat regeling alias mengatur; tidak ada lagi GBHN (politik rakyat); tidak memiliki Mandataris MPR. Presiden hanya petugas partai, bukan petugas rakyat/negara; dan bila presiden melanggar konstitusi, terbentang mekanisme panjang untuk impeachment atau Sidang Istimewa dan lain-lain.
Inilah satu diantara dampak buruk ketika Kedaulatan Rakyat dibajak oleh entitas yang tidak berhak. Partai politik memang pilar-pilar yang menopang berdirinya sebuah negara, tetapi hakiki pemiliknya ialah rakyat. Melalui partai, aspirasi rakyat diakomodir lalu dijadikan program dan kebijakan negara dalam bentuk GBHN yang berorientasi kepada rakyat. Hari ini, silahkan lihat sendiri akibat ketiadaan politik rakyat alias GBHN. Banyak kebijakan bahkan terbit UU yang orientasinya bukan kepada rakyat, tetapi cenderung atas ‘pesanan’ partai, dan berpihak ke kaum pemodal yang ikut membiayai proses kampanye, misalnya, atau pemenangan ketika copras-capres, dan lain-lain.
Jadi, menurut saya, one man one vote di Tanah Air itu permainan biadab namun dikemas dengan tata cara beradab. Entah sampai kapan.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments