Dalam dua artikel saya sebelumnya, lebih memusatkan diri pada upaya AS untuk meningkatkan postur militernya yang lebih agresif di kawasan Asia-Pasifik seturut dengan dirilisnya the Indo-Pacific Strategy oleh Gedung Putih dan Pentagon sejak 2017. Dalam artikel kali ini, saya akan fokus pada mengapa AS begitu menaruh perhatian pada kawasan Asia-Pasifik bahkan sedemikian rupa khawatirnya sehingga Washington mengembangkan konsep Indo-Pasifik menurut cara pandang geopolitik AS.
Menurut The National Security Strategy (NSS), AS memandang Indo-Pasifik sebagai kawasan yang membentang dari Pantai Barat Amerika Serikat hingga ke Pantai Barat India. Menurut perspektif geopolitik AS, kawasan ini mewakili wilayah terpadat dan paling dinamis di sektor ekonomi dunia.
Bukan itu saja. AS juga menilai dari dimensi politik, ekonomi dan militer pengaruh Cina di kawasan ini semakin kuat, yang mana pengaruhnya telah merambah jauh ke luar kawasan Asia Selatan, Eropa-Asia, serta benua Afrika.
(Baca lebih rinci karya Abhiram Singh Yadav, Indo-Pasifik, Sebuah Konstruksi Geopolitik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2022)
Maka untuk merespons gerak laju Cina di kawasan ini kemudian AS berupaya menggalang persekutuan strategis dengan negara-negara yang terletak di sekeliling batas geografis Cina. Inilah salah satu motif geopolitik AS ketika mendorong terbentuknya Quadrilateral (QUAD) yang terdiri dari AS, Australia, Jepang dan India seiring terbentuknya Strategi Indo-Pasifik.
Serangkaian aktivitas militer yang berada dalam naungan dan arahan AS-NATO sudah dilakukan seperti penempatan mariner AS di dekat Darwin, Australia. Atau Latihan militer bersama antara AS, Jepang dan India di Malabar yang termasuk perairan India.
Namun manuver militer AS-NATO dengan dalih menciptakan stabilitas dan keamanan maritime di Asia-Pasifik, justru malah memicu Cina untuk meningkatkan dan melindungi posisinya di kawasan tersebut. Adanya QUAD justru malah memicu Cina semakin meningkatkan eskalasi operasi militernya di Asia-Pasifik.
Nampaknya oleh sebab mulai menyadari menurunnya pengaruh AS di kawasan Asia-Pasifik, maka upaya menggalang persekutuan militer dengan negara-negara sekutunya di Asia-Pasifik dengan menggunakan dalih untuk menerapkan strategi rebalance atau menyeimbangkan kembali pengaruh AS di kawasan tersebut.
Namun terlepas dari dalih AS untuk merespons ancaman Cina di kawasan yang disebut Indo-Pasifik, sejatinya yang paling mengkhawatirkan AS dalah Laut Cina Selatan. Menurut Hasyim Djalal, mantan Direktur Jenderal Penelitian dan Pengembangan Kementerian Luar Negeri dan salah satu pakar hukum laut mumpuni Indonesia, pernah menulis bahwa ketertarikan Amerika Serikat kepada Laut Cina Selatan karena perairan ini merupakan rute tersingkat atau jalan pintas dari Samudra Pasifik untuk dapat mencapai Samudra Hindia, Maka itu bagi Washington Laut Cina Selatan merupakan isu krusial.
(Baca: Artikel Bunga Ramadani di Jurnal The Global Review Quarterly terbitan Januari 2013, halaman 65 dan seterusnya)
Adapun bagi Cina, isu keamanan di Laut Cina Selatan juga menempati skala prioritas yang hampir sama pentingnya dengan isu Tibet dan isu Taiwan. Yang paling jadi pertaruhan Cina adalah melindungi keamanan energinya. Apalagi kalau pada beberapa kajian ilmiah yang dirilius Center for a New America Security misalanya lewat publikasinya bertajuk Cooperation from Strength: The United States, China and South China Sea terbitan 2012, dipaparkan bahwa gugus kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel menyimpan cadangan minyak sebesar 7 miliar barel serta 900 triliun kubik gas.
Bila angka itu memang benar adanya, maka bukan saja Cina, melainkan juga AS memandang perairan Laut Cina Selatan merupakan produsen sumber energi terbesar kedua di dunia setelah kawasan Timur Tengah.
Maka tak heran jika sejak era pemerintahan Barrack Obama pada 2009 lalu, AS telah mendorong ASEAN membentuk ASEAN Treaty of Amity and Cooperation, dan menjadi negara pertama kali memasukkan isu mengenai Laut Cina Selatan pada Shangrila-Dialogue di Singapura pada 2011 lalu. Shangrila-Dialogue merupakan pertemuan berkala para menteri pertahanan negara-negara ASEAN dengan beberapa negara besar seperti AS dan beberapa negara yang tergabung dalam NATO.
Maka itu kalau kita telisik secara jeli, motif geopolitik utama di balik upaya mendorong negara-negara sekutunya di Asia Pasifik ke dalam skema Strategi Indo-Pasifik adalah untuk menguasai Laut Cina Selatan sebagai rute penghubung antara Samudra Hindia ke Samudra Pasifik.
Selain itu nilai strategis Laut Cina Selatan secara geopolitik karena posisinya yang membentang dari Pulau Hainan hingga Malaysia dan Singapura. Satu lagi yang tak kalah penting, pasokan minyak yang diangkut melalui Selat Malak dari Samudra Hindia menuju Asia Timur mencapai enam kali lipat jumlah kapal yang melewati Terusan Suez dan tujuhbelas kali lipas yang melewati terusan Panama. Bayangkan betapa strategisnya nilai geopolitik Laut Cina Selatan.
Maka dari itu kesepakatan kerjasama militer AS-Filipina dalam skema EDCA bisa dibaca sebagai upaya untuk mengamankan jalur perairan di sekitar Laut Cina Selatan. Pada 1972 AS memang berhasil mendapat izin dari Filipina membangun pangkalan militernya di Subic dan Clark. Namun pada 1992 seiring berakhirnya Perang Dingin, kedua pangkalan militer AS di Filipina tersebut ditutup atas desakan dari berbagai elemen masyarakat sipil di Filipina.
Namun demikian, latihan militer bersama 14 negara yang dimotori India di pulau Andaman, pada decade 1990an tetap berlangsung. Menariknya, dari 14 negara yang ikut latihan tersebut beberapa di antaranya tergabung dalam negara-negara persemakmuran (Common Wealth) eks koloni Inggris seperti India, Australia, Malaysia, Brunei dan Singapura.
Maka itu seperti yang digambarkan dengan sangat bagus oleh Abhiram Singh Yadav, nampaknya sasaran strategi politik-militer Indo-Pasifik AS adalah menguasai wilayah-wilayah yang terletak di Indo-Pasifik bagian Tengah. Sebab wilayah ini menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik melalui berbagai laut dan selat. Secara kebetulan sebagian besar perairan laut Indonesia juga termasuk ke dalam wilayah Indo-Pasifik Tengah. Kecuali pantai Barat Sumatra yang masuk ke dalam wilayah perairan Indo-Pasifik Barat.
Segi paling penting yang perlu digarisbawahi terkait sasaran utama Strategi Politik-Militer Indo-Pasifik AS adalah fakta bahwa Perairan lainnya yang juga menjadi bagian dari wilayah Indo-Pasifik Tengah adalah Laut Cina Selatan, Laut Filipina, Pantai utara Australia, dan laut di sekitar Nugini, Mikronesia bagian barat dan tengah, Kaledonia Baru, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji dan Tonga.
Cara pandang geopolitik AS yang seperti inilah yang kemudian mendasari ide pembentukan persekutuan militer dengan Australia, Jepang dan India dalam skema QUAD. Maupun belakangan dengan Filipina lewat skema EDCA. Melalui Strategi Politik-Militer Indo-Pasifik, AS nampaknya berupaya mereformasi dan menata-ulang kembali kolaborasi dan kemitraan negara-negara di Asia-Pasifik dengan Cina seiring semakin menguatnya kebangkitan Cina sebagai negara adikuasa baru di Asia-Pasifik.
Maka itu dari perspektif geopolitik dan kepentingan nasional Indonesia kini dan mendatang, semua prakarsa AS dan NATO yang diarahkan untuk membangun persekutuan-persekutuan strategis dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti antara AS-Filipinan lewat skema EDCA, tidak akan menciptakan kondisi yang stabil dan aman di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara khususnya. Sebab Collective Security yang digalang AS dan NATO lewat pembentukan pakta pertahanan dengan negara-negara di Asia Pasifik seperti Jepang, India, Taiwan, dan Filipina, sejak awal didasari pendekatan yang konfrontatif dengan memaksa negara-negara di Asia-Pasifik untuk memilih berada di kubu AS atau Cina. Bahkan metode serupa juga dilakukan AS dan NATO di kawasan Eropa. Dengan demikian pendekatan Hard-Power AS-NATO untuk membendung pengaruh Cina dan Rusia di pelbagai kawasan sama sekali tidak efektif.
Maka Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya harus dengan segera menentukan sikap agar kawasan Asia Tenggara kembali menjadi zona damai, bebas dan netral sebagaimana merujuk pada ASEAN Bali Concord I dan II. Sehingga Indonesia dan negara-negara mitra ASEAN lainnya tidak perlu menjalin hubungan kerjasama militer berbasisi Pakta Militer ala EDCA yang dirancang oleh AS dan NATO. Dan tidak perlu ikut serta dalam berbagai aktivitas militer yang diarahkan oleh AS dan NATO seperti latihan militer bersama atau operasi militer bersama.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)