Persekutuan Militer AS-Filipina, Skema EDCA, dan Dokumen Rand Corporation 2000

Bagikan artikel ini

Orientasi kebijakan Pentagon untuk meningkatkan kehadiran militernya secara lebih agresif di kawasan Asia-Pasifik nampaknya semakin nyata sejak 2017 lalu, ketika Presiden Donald Trump mencanangkan apa yang disebut the Indo-Pacific Strategy. Bahkan pada era pemerintahan Presiden Joe Biden orientasi kebijakan pertahanan AS yang bersifat agresif dan ekspansif sama  sekali tidak berubah.

Asisten menteri pertahanan AS Ely Ratner pada Desember 2022 lalu mengatakan bahwa pada tahun 2023 postur angkatan bersenjata yang ditempatkan di negara-negara yang berada dalam kawasan Indo-Pasifik akan mengalami perubahan pada skela yang semakin membesar (the most transformative year in US force in the Indo-Pacific region).

Bahkan pada Januari 2023 lalu peningkatan postur pertahanan angkatan bersenjata AS yang semakin agresif ditandai dengan kehadiran resimen Korps Marinir AS di Jepang, sebagai bagian integral dari persekutuan AS dan Jepang untuk memodernisasikan angkatan bersenjatanya pada skala yang semakin meningkat.

United States Defense Secretary Lloyd Austin (R) walks past military guards during arrival honors at the Department of National Defense in Camp Aguinaldo military camp on February 2, 2023 in Quezon City, Manila, Philippines.

Begitu pula dengan AS dan Filipina sesuai dengan skema the Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Yang mana berdasarkan kesepakatan antara menteri pertahanan AS Lloyd Austin dan mitranya menteri pertahanan Filipina Carlito Galvez Jr, Filipina telah memberikan akses kepada tentara AS untuk menguasai empat lokasi strategis yang akan diproyeksikan sebagai pangkalan militer bagi AS.

Baca: The Transformation of the U.S.-Philippines Alliance

Keberadaan empat pangkalan militer AS berdasarkan skema EDCA tersebut akan digunakan oleh kedua negara membangun fasilitas-fasilitas militer terkait penyediaan sarana-sarana perhubungan untuk menunjang operasi-operasi militer yang dilakukan. Selain pada saat yang sama juga untuk memodernisasikan angkatan bersenjata Filipina dalam jangka Panjang.

Perkembangan terbaru tersebut nampaknya merupakan upaya Washington menghidupkan kembali persekutuan militer lama antara AS-Filipina semasa Perang Dingin. Namun ketika tembok Berlin runtuh pada 1989, pakta pertahanan kedua negara tersebut kehilangan alasan strategisnya untuk tetap dipertahankan. Pada 1991 senat AS menolak perpanjangan pangkalan AS di Filipina yang keberadaannya sudah berlangsung sejak 1947. Alhasil, tentara AS terpaksa meninggalkan kedua pangkalan militernya di Filipina, yaitu Subic dan Clark.

Sepanjang 2002-2012 kebijakan AS fokus pada operasi-operasi kontra terorisme sampai kemudian secara mengejutkan Cina berhasil menguasai sebuah kepulauan kecil yang terletak di Laut Cina Selatan (Scarborough Shoal, yang mana wilayah itu menjadi obyek sengketa wilayah antara Filipina dan AS.

Sepertinya sejak diambil-alihnya Scarborough Shoal oleh Cina pada 2012 itulah AS kemudian memanfaatkan kekhawatiran terhadap ancaman Cina sebagai momentum menghidupkan kembali persekutuan militer AS-Filipina seperti di era Perang Dingin. Dengan dalih adanya ancaman yang semakin berbahaya dari Cina.

Namun meski Filipina menghadapi potensi ancaman dari Cina, tidak serta merta ajakan AS tersebut disetujui Manila. Bahkan pada 2016 ketika Presiden Rodrigo Duterte terpilih sebagai presiden, secara provokatif melecehkan Washington dengan menolak ajakan membentuk Pakta Pertahanan dan mengancam akan mengakhiri latihan-latihan militer bersama kedua negara.

Bukan itu saja. Duterte malah mengisyaratkan akan membangun persekutuan baru dengan Cina. Bahkan pada 2018 Duterte mengumumkan akan membatalkan program kerjasama militer AS-Filipina the Philippines -United States Visiting Forces Agreement.

Menariknya kenapa Cina sendiri tidak mengimbangi secara setimpal perilaku Duterte yang terkesan mulai dari berpaling dari Washington. Cina hanya membantu ala kadarnya saja untuk investasi sehingga malah memicu kecaman dari kalangan nelayan dan operator-operator di bidang minyak dan gas bumi.

Baca artiekel saya sebelumnya:

Upaya AS dan Inggris Mendorong Persekutuan Militer di Asia Pasifik Akan Memicu Militerisasi dan Perlombaan Senjata

Bisa jadi Cina memandang manuver Duterte tersebut hanya lip-service atau retorika belaka, karena pada kenyataannya Duterte tetap tunduk pada tekanan internal khususnya dari angkatan bersenjata Filpina untuk menunda dihentikannya program  the Philippines -United States Visiting Forces Agreement.

Dan estimasi Cina sepertinya terbukti benar, sebab pada 2019 menteri luar negeri AS era Presiden Trump secara tegas menyatakan bahwa AS berkewajiban untuk menjaga keamanan Filipina di Laut Cina Selatan, yang mana kemudian diterjemahkan oleh Washington dan Manila ke arah persekutuan militer atau Pakta Pertahanan bersama seperti pada era Perang Dingin. Tren menuju terbentuknya kembali pakta pertahanan ala Perang Dingin semakin nyata ketika pada Juli 2021 menteri pertahanan Austin berkunjung ke Manila yang mana salah satu hasilnya berhasil mendesak pemerintah Filpina secara resmi mengurungkan niatnya untuk menghentikan program the Philippines -United States Visiting Forces Agreement. 

Philippine Gen. Francis Coronel, right, shakes hands with US Army soldiers after a live-fire exercise during a March 31 joint exercise between the Philippines and the US at Fort Magsaysay in the Philippines.

Sebaliknya pada Agustus 2021 itu pula, menteri pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengadakan kunjungan balasan ke Washington memperingati 75 tahun kerjasama militer AS-Filipina sekaligus menandai dihidupkannya pakta pertahanan AS dengan negara-negara sekutunya di Asia Tenggara ala SEATO semasa Perang Dingin dulu. Maka di sinilah  persekutuan militer AS-Filipina berdasarkan SKEMA EDCA mulai diluncurkan.

Kalau kita kilas balik sejenak, pada 2000 lalu Rand Corporation, sebuah think-thank yang dibiayai Pentagon, pernah merilis sebuah studi bertajuk The Role of the Southeast Asia in the US Strategy toward China. Melalui dokumen Rand Corporation 2000 tersebut secara terang-terangan merekomendasikan perlunya Washington menaruh perhatian akan bahaya dari Cina dalam merespon kehadiran militter AS di Asia Tenggara.

(Baca: Rand Corporation Report, The Role of The Southeast Asia in the US Strategy toward China, tahun 2000)

Rand Corporation menyarankan untuk mengembangkan suatu strategi yang bernama hedging strategy atau Strategi Memagari, yang nampaknya hal ini merupakan sebuah istilah baru untuk menggantikan konsepsi lama yaitu containment strategy yang digunakan pada era Perang Dingin.

Konsep hedging strategy itu digunakan Rand Corporation untuk membenarkan alasan AS perlunya menghadirkan dan memperkuat kehadiran dan akses militer AS atas berbagai fasilitas yang diperlukan guna membendung pengaruh Cina.

Kalau kita cermati manuver AS menghidupkan kembali persekutuan militer lama dengan Filipina berdasarkan skema EDCA, sepertinya masih berpedoman pada laporan Rand Corporation pada tahun 2000 lalu tersebut. Laporan Rand Corporation secara tegas dan lugas menekankan:

“Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru dalam tempo 10 sampai 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata.”

Terlepas analisis dan prakiraan keadaan yang dibuat Rand Corporation pada tahun 2000 tersebut memang nyata adanya atau sekadar dibuat-dibuat, namun yang jelas pada 2017 Presiden Donald Trump mencanangkan terbentuknya Strategi Indo-Pasifik yang disertai secara bersamaan dengan terbentuknya Pakta Pertahanan QUAD empat negara: AS, Australia, Jepang dan India. Apakah kemudian the Indo-Pacific Strategy yang dicanangkan Gedung Putih dan Pentagon pada 2017 itulah yang kemudian menghidupkan kembali pakta pertahanan AS dengan Filipina yang notabene merupakan sekutu tradisional AS di Asia Tenggara?

Satu hal pasti, seperti tertulis dalam laporan Rand Corporation pada 2000 lalu, AS perlu membina hubungan yang kuat dengan negara-negara ASEAN. Secara khusus Rand Corporation menyebut Singapore, Filipina, dan Vietnam yang ditengarai memiliki posisi strategis untuk mengepung Cina. Adapun Singapore dinilai berlokasi sangat ideal  untuk menguasai choke point (titik-titik kunci) seperti Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Dengan demikian diharapkan AS akan bisa membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan.

(Baca juga sebagai pembading: Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara, jurnal The Global Review Quarterly terbitan Januari 2013)

Nampaknya dokumen Rand Corporation 2000 itulah yang jadi tujuan strategis AS di balik dihidupkannya kembali Pakta Pertahanan AS-Filipina berdasarkan Skema EDCA.

Yang mendasari kekhawatiran para penentu kebijakan luar negeri dan pertahanan AS nampaknya adalah keamanan jalur laut yang berada dalam lintasan Laut Cina Selatan. Seorang anggota kongres AS Josep Liberman pada 2012 memperingatkan bahwa Laut Cina Selatan merupakan rute perdagangan Asia, oleh karena itulah wilayah tersebut harus diamankan. Dan itu berarti, AS harus mendorong Filipina agar semakin meningkatkan postur militernya secara lebih agresif, utamanya di sekitar Laut Cina Selatan.

Dengan adanya indikasi kuat bahwa terbentuknya kembali Pakta Militer bersama AS-Filipina berdasarkan skema EDCA sebagai bagian integral dari upaya Washington untuk menggalang persekutuan militer dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya untuk membendung Cina, maka dengan demikian Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN lainnya, sama-sekali tidak berkepentingan untuk menjalin skema kerjasama militer yang dirancang oleh AS dan NATO ala QUAD atau AUKUS. Maka dengan begitu tidak perlu ikut serta dalam berbagai aktivitas militer yang berada dalam naungan dan arahan AS dan NATO.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI) 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com