Demokrasi Pancasila Dalam Cengkraman Liberalisme (Bagian 2 – Selesai)

Bagikan artikel ini
Samuel Lengkey, Direktur Eksekutif Jaringan Analisis Strategis, Pendiri Lembaga Kajian Ilmu Hukum 1708, Managing Director Mahapatih Law Firm, Haggai Institute, Sarjana Hukum Univ. 17 Agustus, Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Univ. Jayabaya
Demokrasi Pancasila
Apabila kita melakukan proses ontologis eksistensi bangsa Indonesia, maka kita akan menemukan satu kata, yakni Pancasila. Ontologi Pancasila yang dimaksud, bukan dikaji secara filosofis, atau dengan normatif groundslag, apalagi dalam ruangan sempit yang bernama norma hukum. Pancasila dalam kajian ini kita tempatkan sebagai etnomologis bangsa. Ontologi bangsa yang mendefinisikan secara logis, kritis dan objektif bangsa Indonesia, sehingga berbeda dengan bangsa yang menganut paham keagamaan, paham marxis, liberalis atau yang lainnya. Pancasila adalah jati diri bangsa, identitas bangsa dan karakter bangsa Indonesia.
Lima sila dalam Pancasila mengandung emosi bangsa Indonesia, yang mampu diterjemahkan oleh seorang anak muda yang kaya wawasan ideologi, memiliki pemahaman teologi secara universal, mengalami penjajahan secara langsung, sehingga membentuk pribadi pemberontak untuk melawan penindasan, sensitif secara emosional akibat melihat dan merasakan penderitaan rakyat. Itulah Bung Karno. Namun, Pancasila bukan hanya karya Bung Karno semata, melainkan karya para pendiri bangsa yang mengalami perasaan yang sama dan kualitas emosi yang sama dengan Bung Karno. Sila dalam Pancasila merupakan kristalisasi pribadi bangsa.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan dan bukan bangsa beragama. Indonesia lahir bukan karena suatu agama tertentu, akan tetapi lahir karena perjuangan orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaannya. Agama memang memiliki kontribusi sebagai pengikat dan nilai juang untuk mendirikan bangsa, namun banyak pejuang yang meninggal yang beragam agamanya, bahkan tidak memiliki agama (kepercayaan lokal). Dalam sila pertama, bangsa Indonesia mengalami ujian yang sangat berat untuk mencapai kesepakatan untuk melahirkan bangsa Indonesia, akan tetapi oleh kesepakatan para pendiri bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai toleransi untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan, maka para pendiri bangsa mampu meredam ego masing-masing dan menahan kepintaran masing-masing dalam membangun argumentasi, sehingga perbedaan dalam agama terakomodir dalam Pancasila. Perdebatan dalam sila pertama Pancasila merupakan jantung utama bangsa, karena apabila saat itu para pendiri bangsa tetap mempertahankan pendapat keagamaan masing-masing, maka jantung bangsa Indonesia akan pecah dan mengalami kegagalan lahirnya bangsa Indonesia.
Sila kemanusiaan merupakan gambaran pribadi-pribadi yang memiliki keinginan untuk dihormati, dihargai, dicintai, dikasihi dan diperlakukan sebagai manusia, yakni apa yang kita rasakan harus dipahami dengan rasa yang sama dengan manusia yang lain. Jika kita ingin dicintai, maka manusia harus saling mencintai, jika ingin diperlakukan adil maka manusia harus berlaku adil, apabila kita tak mampu memikul beban yang dibebankan kepada kita, maka jangan membebankan beban itu kepada orang lain yang tidak mampu memikul beban yang sama. Kita tidak ingin dihina, oleh karena itu kita tidak boleh menghina, kita tidak ingin disakiti, oleh karena itu kita tidak boleh menyakiti, kita tidak ingin dibohongi, oleh karena itu kita tidak boleh membohongi. Kita menginginkan keadilan, karena itu kita harus berlaku adil. Kemanusiaan manusia menuntut posisi yang sama, bahwa manusia ingin keadilan dan keadilan itu adlah keadilan yang berkeadaban. Keadilan dan keadabanlah yang menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya dan membedakan manusia dengan hewan yang memiliki keinginan saling memangsa satu dengan yang lain.
Keadilan dan keadaban manusia membuat manusia merasa nyaman untuk dapat melakukan kegiatan kemanusiaan, saling menolong, saling membantu, saling memahami, saling menghargai dan membuat setiap orang istimewa tanpa membedakan agama, suku dan golongan. Sikap ini menjadikan manusia menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak pribadi atau golongan terhadap yang lain. Sehingga dengan keadilan yang sama kita terima dan kita berikan pada orang lain secara beradab. Maka, manusia akan menjadi sejajar untuk menjalankan kehidupannya. Menerima kelebihan dan kekurangan setiap orang membuat manusia ingin bersatu, karena persatuan lahir bukan dari persamaan, melainkan lahir dari perbedaan yang tajam, namun telah melalui proses penemuan jati diri kemanusiaan yang sadar sesama ciptaan Tuhan untuk saling menghargai hingga ingin bersatu secara terorganisir dalam wujud suatu bangsa. Manusia sadar bahwa setiap manusia lahir bukan dari satu jenis kelamin yang sama, harus ada perbedaan kelamin untuk disatukan agar melahirkan manusia yang baru. Bahwa proses melahirkan manusia yang baru merupakan proses emosi manusia yang saling menginginkan walapun penuh perbedaan dan pertentangan.
Setiap bangsa memiliki rakyat dan rakyat adalah pemilik bangsa itu sendiri. Karena itu, sebagai pemilik, rakyat adalah penentu jalannya suatu negara, rakyat yang menentukan siapa yang rakyat inginkan untuk dijadikan pemimpin mereka. Rakyat memberikan haknya kepada seseorang yang rakyat pilih diantara mereka untuk menata, mengatur keragaman, dan perbedaan yang ada ditengah rakyat agar dapat hidup berdampingan dan harmonis sesuai prinsip-prinsip berdirinya suatu bangsa. Rakyat sadar bahwa keinginan setiap orang berbeda, satu dengan yang lain cenderung Page | 11 untuk saling melukai, melanggar prinsip-prinsip yang sudah disepakati, oleh karena itu rakyat memilih pemimpin, akan tetapi bukan sebagai pemimpin otoriter yang menjadikan keinginan pemimpin sebagai keinginan rakyat yang dipimpin, melainkan keingian rakyat diwujudkan sebagai kebijakan untuk menjalakan negara. Pemimpin yang dipilih rakyat adalah pemimpin yang sadar, cerdas, berwibawa, sekaligus memahami kondisi rakyat yang dipimpin, oleh karena itu pemimpin rakyat adalah pelayan rakyat dan bukan sebaliknya rakyat dijadikan pelayan bagi pemimpin.
Pemimpin yang terpilih harus bijaksana dalam memutuskan perkara yang sulit, menyelesaikan sengketa dan konflik, memberikan solusi bagi yang bertikai dan bukan menjadi sumber konflik oleh karena keinginan pribadi dan kemauan sekumpulan rakyat. Pemimpin yang mampu memusyawaratkan keinginan dari setiap perwakilan, sehingga menjadi pemimpin dari semua rakyat dan bukan pemimpin dari sekumpulan rakyat. Rakyat butuh pemimpin yang mengerti penderitaan rakyat, mampu membahasakan keinginan rakyat dalam bentuk kebijakan pemerintah secara adil dan bijaksana.
Sehingga, pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang rendah hati, bijaksana dan mampu menundukkan dirinya dengan menempatkan keinginan bangsa diatas kepentingan berbagai golongan. Jika pemimpin yang memimpin rakyat beragama dengan takut akan Tuhan, maka memerlukan rakyat yang dipimpin sebagai manusia yang sama dengan dirinya yang memimpin. Pemimpin tersebut dapat mempersatukan rakyat, karena setiap persoalan dan masalah bangsa diselesaikan secara mufakat dan bukan voting berdasarkan suara terbanyak, karena kelompok kecil tak mampu terakomodir, maka keadilan sosial bagi rakyat mudah terwujud dan tujuan rakyat untuk dipimpin oleh pemimpin tercapai.
Inilah demokrasi Pancasila yang membedakan negara Indonesia yang seharusnya berbeda dengan negara lain. Negara yang mempercayai adanya Tuhan dan menginginkan rakyatnya bertuhan, namun tidak memaksakan Tuhan dan ajaranajaran Tuhan kepada rakyatnya. Rakyat dan pemimpin berlaku adil dengan sikap yang beradab, rakyat dan pemimpin yang terikat dalam rasa persatuan dan keinginan yang ingin terus bersatu, tanpa ingin berpisah karena rakyat dipimpin secara adil dan bijaksana sehingga ada keadilan bagi setiap manusia. Karena itu, Pancasila adalah karakter pribadi bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai demokrasi Pancasila disampaikan secara jelas dan gamblang dalam sila ke-empat Pancasila, bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan sila ke-lima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Paham kerakyatan yang dipimpin, harus dipahami secara kultural, yakni kepemimpinan bersama. Kerakyatan dipimpin bukan oleh seorang pemimpin, akan tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh kepemimpinan secara bersama dan keseluruhan. Kepemimpinan secara bersama harus dilaksanakan oleh hikmat dan bijaksana, yakni bukan berdasarkan keinginan masing-masing kelompok dalam rakyat itu, mengedepankan dan mempertahankan pendapat masing-masing, mengabaikan pendapat dan perbedaan masing-masing.
Hikmat kebijaksanaan dalam kerakyatan yang dipimpin adalah rakyat secara bersama dapat memahami pertentangan keras dan tajamnya perbedaan pendapat namun dapat menyelesaikan semua konflik secara bijaksana. Apabila prinsip-prinsip kerakyatan dapat dijalankan secara hikmat dan bijaksana, maka prinsip permusyawaratan adalah ruang bersama rakyat untuk memberikan keterwakilan secara aspiratif. Inilah nilai Pancasila berdasarkan budaya bangsa Indonesia dan budaya bangsa Indonesia bukan berdasarkan prinsip mayoritas dan minoritas, karena kata tersebut tidak ada dalam kamus budaya bangsa Indonesia. Prinsip mayoritas dan minoritas dalam demokrasi terkubur oleh nilai-nilai permusyawaratan Pancasila, maka dengan prinsip ini memilih pemimpin dari para pemimpin. Pemimpin yang memimpin adalah orang pillihan dari para pemimpin yang bijak, mampu merangkul, mampu menyelesaikan masalah dan bukan pembuat masalah, serta mampu mensejahterahkan rakyat dengan kreatif dan inovatif tanpa menjual kekayaan sumber alamnya dengan merugikan rakyatnya sebagai pemilik kekayaan alam.
Asas kedaulatan rakyat yang menjiwai demokrasi saat ini harus bersumber dari asas kerakyatan, yakni aturan kehidupan rakyat Indonesia dahulu yang telah membudaya dengan sifat murah hati, suka tolong menolong, menyelesaikan masalah dengan dialog, menghargai pendapat dan perbedaan, menghormati keputusan bersama tanpa melakukan perlawanan untuk kebaikan bersama, bahkan ikut serta melaksanakan keputusan yang telah disepakati, walaupun menolak dengan berbagai pertimbangan pribadi dan kelompok. Para pemimpin yang dipercayakan menjalankan keputusan bersama berlaku bijak dan mempertimbangkan segala nasehat yang diberikan, walaupun tajam dan menyinggung ego pribadi, namun demi kepentingan bangsa tetap menundukkan dirinya. Pemimpin memutuskan keputusan yang strategis dengan mempertimbangkan kondisi rakyat dan mengikutsertakan rakyat untuk membuat kebijakan, sehingga keputusan tersebut bukan keputusan sekumpulan orang pandai, terpelajar atau golongan kecil, maka nasib rakyat bukan ditangan segelintir orang. Inilah asas musyawarah mufakat demokrasi indonesia.
Intropeksi Ideologis 
Kesimpulan sementara ini menimbulkan banyak pertanyaan, karena setiap pertanyaan tentang, apakah demokrasi Indonesia telah berjalan sesuai keinginan bangsa yang terkandung dalam Pancasila? Pertanyaan itu membuka ruang pertanyaan yang lebih besar dan lubang menganga untuk dikaji lebih dalam. Lubang menganga tersebut semakin menelanjangi bagain-bagian tubuh bangsa indonesia yang sudah mengidap berbagai penyakit kronis. Komplikasi penyakit tubuh bangsa Indonesia sudah tidak bisa diobati oleh dokter manapun, selain dari tubuh bangsa Indonesia itu sendiri yang berjuang melawan penyakit kronis yang bangsa ini derita.
Dimanakah demokrasi Indonesia sesuai dengan Pancasila?, apabila bangsa ini telah kehilangan karakter dan jati diri bangsa? Dulu lahirnya Pancasila karena karakter masyarakat Indonesia dan pendiri bangsa terwujud dalam sila-sila Pancasila, namun saat ini identitas bangsa itu itu telah hilang oleh kepentingan pribadi, golongan dan agama dalam diri pemimpin yang mengubur Pancasila itu sendiri?.
Bangsa Indonesia seperti bangsa yang telah menjadi korban hipnotis yang tidak mampu berbuat apa-apa, selain menjalankan keinginan bangsa lain, oleh berbagai ideologi dan pemahaman transnasional yang bukan karakter bangsa, sehingga bangsa Indonesia lumpuh tak berdaya, bahkan terluka parah sambil terus menelan obat demokrasi brutal sambil menunggu ajal didepan yang sedang tersenyum menanti.
Karena itu tidak ada jalan lain selain, melakukan proses perenungan ideologi dengan sadar dan rendah hati untuk menemukan kembali Indonesia yang telah lama hilang akibat konflik politik dan pertarungan kekuasaan untuk membagi-bagi kekayaan alam Indonesia dengan mengabaikan panggilan suci para pendiri bangsa Indonesia yang pada saat perumusannya penuh dengan perjuangan, namun dengan sadar dan rendah hati mampu mengabaikan kepentingan agama, golongan, suku, dan membuang egoisme atas kepintaran masing-masing. Para pendiri bangsa telah membuktikan bahwa demokrasi yang mereka inginkan adalah demokrasi rasa Pancasila yakni karakter dan pribadi kita sendiri, bukan rasa demokrasi yang lain. Demokrasi yang lain dianggap hanya sebagai menu tambahan dalam demokrasi gaya Indonesia.
Semoga melalui proses penyucian idelogi ini kita kembali ke cita-cita pendirian bangsa dengan Menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara dengan mengembalikan Pancasila berada di posisi sesuai keinginan para pendiri bangsa dan kita sebagai penerus bangsa dapat mewujudkan cita-cita para leluhur bangsa agar mereka tersenyum manis didunia sana yang lebih indah dan damai.[]
(Makalah dalam bedah Buku: Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila, yang dilaksanakan oleh Gerakan Pemantapan Pancasila di Gedung Granadi, Jl. Rasuna Said Blok XI. Kv. 8-9 Kuningan Jakarta Selatan, Selasa, 1 Maret 2016.)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com