Di buku saya Prahara Suriah, saya menulis tentang Deraa/Daraa antara lain, mengutip pernyataan Mufti Besar Suriah, Syeikh Ahmad Badruddin Hassoun (ulama Sunni) dalam wawancaranya dengan Del Spiegel :
Maret 2011
Deraa penuh dengan aktivitas dan ‘pengunjung’ dari luar negeri jauh hari sebelum ‘kebangkitan’ palsu memulai dramanya.
Masjid Omari menjadi arena persiapan, latihan dan pergantian kostum. Para teroris Libya, yang masih segar dari dari peperangan menggulingkan Gadafi telah berada di Deraa jauh hari sebelumnya.
Pimpinan masjid Omari adalah Sheikh Ahmad al-Sayasneh, lelaki tua yang matanya bermasalah, yang memaksanya memakai kacamata gelap kemana saja. Tak hanya sulit melihat, matanya juga sensitif dari cahaya, yang memaksanya selalu berada di dalam ruangan, dan kadang, menyendiri.
Al-Sayasneh mampu mencari tahu asal seseorang dari aksen dan suaranya. Aksen Deraa sendiri sangat unik. Semua lelaki yang berada di masjid itu merupakan orang lokal.
Adapun para ‘pengunjung’ dari Libya, sengaja berdiam diri agar tak ketahuan kedoknya. Mereka lalu membaur, bekerja bersama lelaki lokal – para pemain kunci yang menjadi rekan mereka nantinya.
Ikhwanul Muslimin
Partisipasi pengikut Ikhwanul Muslimin di Syria, yang membantu pergerakan teroris Libya, adalah elemen penting dari rencana CIA, yang disusun dan disutradarai dengan baik dari Yordania.
Bantuan dan kerjasama dari pengikut Salafi lokal memungkinkan tentara bayaran dari Libya untuk bergerak di Deraa tanpa menimbulkan kecurigaan. Orang-orang lokal inilah yang nantinya maju di ‘garis depan’.
Agen CIA yang bertanggungjawab dalam operasi Deraa menjalankan strateginya dari kantor mereka di Yordania. Mereka telah menyediakan senjata dan uang yang diperlukan untuk membakar ‘revolusi’ di Syria.
Dengan senjata dan uang yang cukup, Anda bisa membakar ‘revolusi’ di mana saja di dunia.
Realitasnya, demonstrasi di Deraa pada Maret 2011 tidak dipicu dari tulisan grafiti yang dibuat oleh para remaja, dan sebenarnya tak ada barisan orangtua yang marah menuntut anak mereka dibebaskan.
Semuanya merupakan bagian dari naskah gaya Hollywood, yang ditulis oleh agen CIA berpengalaman, dengan satu misi: Lengserkan Assad.
Deraa hanyalah Episode 1:
Kenyataannya, para remaja pembuat grafiti dan para ‘orangtua’ mereka tak pernah ada. Tak pernah punya nama. Dan tak pernah punya foto. Identitas mereka ‘hilang’.
Setiap kebangkitan memerlukan dukungan akar rumput. Biasanya, ada sesuatu kejadian luar biasa yang terjadi, yang memancing demonstran turun ke jalan. Aparat keamanan lalu turun ke jalan untuk menjaga ketertiban dan jika ada sesuatu yang ‘brutal’ terjadi pada demonstran yang ‘damai’, skala demonstrasi akan bertambah besar.
Ini merupakan titik dimana demonstran bisa mengambil dua pilihan: pulang, atau melawan dengan kekerasan, yang akhirnya bertemu dengan kekerasan yang lebih keras dari aparat keamanan, dan memicu revolusi dalam skala penuh.
Banyak di antara demonstran di Deraa yang tak menyadari bahwa mereka berada dalam demonstrasi ‘palsu’. Para pemeran ekstra yang tak dibayar.
Orang-orang yang tak tahu situasi ini memang memiliki ketidakpuasan dengan Assad, yang tertahan selama satu generasi atau lebih – yang utamanya berakar pada Wahabisme, ideologi politik yang diekspor secara global oleh Saudi Arabia.
Para petempur Libya telah menumpuk persenjataan di masjid Omari jauh hari sebelum rumor mengenai remaja pembuat grafiti ditangkap pemerintah mulai beredar.
Ironinya, pimpinan masjid itu, al-Sayasneh, tak menyadari situasi dan kehadiran teroris asing di dalam masjidnya sendiri.
Yordania
Senjata-senjata itu hadir di Deraa dari kantor CIA di Yordania. Pemerintah AS sendiri sangat dekat dengan Raja Yordania. Uniknya, meski 98% terdiri dari warga Palestina, Yordania memiliki perjanjian damai dengan Israel – meski 5 juta saudara mereka dikurung dalam penjara tanpa atap.
Raja Yordania, Abdullah, tak hanya seorang pengambil resiko, dia juga seorang ‘penjudi’. Fakta ini menjadi elemen penting dalam latar belakang krisis Syria, dimana Syria telah menjadi tonggak pembela hak dan kemerdekaan warga Palestina selama 40 tahun terakhir.
Kebijakan AS untuk menghancurkan Syria dan mengganti pemimpinnya tak hanya soal jalur gas, ladang minyak, lokasi strategis dan emas yang dimilikinya. Kehancuran Syria juga dimaksudkan untuk menggerus tonggak Palestina tersebut jadi abu.
Bashar al-Assad, adalah salah satu dari sedikit pemimpin Arab yang punya suara teguh soal Palestina.
Deraa
Lokasi Deraa yang berbatasan dengan Yordania merupakan alasan utama mengapa wilayah itu dipilih untuk memulai drama kebangkitan Syria. Karena jika Anda tanya kebanyakan warga Syria, apakah mereka pernah mengunjungi Deraa atau punya rencana kesana, kebanyakan akan berkata, ‘tidak’.
Deraa adalah kota pertanian kecil. Ia memiliki nilai sejarah yang penting karena reruntuhan arkeologis di situ, namun selainnya, Deraa tak punya potensi untuk memulai kebangkitan nasional.
Mudahnya mengangkut senjata dari Yordania ke Deraa membuatnya menjadi lokasi yang tepat untuk memicu revolusi. Orang dengan akal sehat tentunya akan mengira revolusi di Syria akan berawal di Damaskus atau Aleppo.
Faktanya, bahkan hingga di tahun kedua krisis, warga Aleppo tak pernah berpartisipasi dalam demonstrasi, atau meminta Assad untuk mundur.
Warga Aleppo tak mau ikut serta dalam misi CIA, dan dengan menolak berpartisipasi, mereka merasa kekerasan yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya.
Namun, AS kemudian membentuk Free Syrian Army (FSA) yang kebanyakan berasal dari Idlib dan sekitarnya, mengundang ‘jihadis’ dari luar negeri, yang menyerbu Aleppo melalui Turki.
Turki
Kebanyakan ‘jihadis’ ini datang ke Turki menumpang Turkish Airlines, dari Afghanistan, Eropa, Australia dan Afrika Utara. Mereka mendarat di Istanbul, kemudian diangkut dengan bus milik pemerintah Turki langsung ke perbatasan Turki-Aleppo.
Tiket pesawat, bus, gaji, persediaan, makanan dan pengobatan sepenuhnya disediakan pejabat Saudi di Turki. Senjata disuplai oleh AS dari gudang mereka di pelabuhan Benghazi, Libya. Senjata tersebut merupakan sitaan (selain emas) dari militer Libya saat misi AS-NATO menggulingkan Gadafi berjalan dengan sukses.
Mehdi al-Harati, warga Libya dengan paspor Irlandia, didapuk menjadi pimpinan FSA, setelah kesuksesannya memimpin teroris di Libya. Sebelumnya, Al-Qaeda tak punya nafas di Syria. Dalam konteks perang di Iraq, Syria sendiri telah menampung lebih dari 2 juta pengungsi Iraq menjadi tamunya.
Tunisia, Libya, Mesir dan kemudian Syria merupakan urutan dalam ‘Arab Spring’. Namun skenario di Syria tak berjalan mulus. Operasi ini berjalan melebihi deadline dan sudah over-budget bagi AS.
Media
Di sinilah lalu peran media mainstream menjadi vital dalam penghancuran Syria.
Rula Amin dari Al-Jazeera sempat berada di Deraa mewawancarai al-Sayasneh di masjid Omari. Al-Jazeera sendiri merupakan media milik dan dioperasikan oleh pangeran Qatar – yang juga merupakan pendana utama FSA.
Sementara AS menyediakan senjata, persediaan dan gambar militer dari satelit, semua gaji, uang suap dan pengeluaran lainnya dibayar oleh pangeran Qatar dan raja Saudi.
Krisis Syria merupakan produksi kerjasama antara AS, Uni Eropa, NATO, Turki, Yordania, Israel, Saudi Arabia, Qatar dan Yordania.
CIA sendiri menyatakan bahwa operasi seperti Deraa, bahkan penyerangan frontal tak pernah menjadi masalah bagi AS. Yang terpenting, pendanaan harus disediakan dari negara lain, karena warga AS tak peduli soal nasib Syria, yang penting mereka tak dipungut pajak untuk itu.
Al-Jazeera, CNN , BBC dan France24 kemudian langsung memulai kampanye propaganda masal mendiskreditkan pemerintahan Syria dan menggambarkan para teroris sebagai pejuang ‘kebebasan’ lokal.
Kadangkala, propaganda mereka terdengar seperti kaset rusak, yang bisa ditebak ditulis dari satu kantor yang sama. Dari jurnalis macam Robert Fisk hingga Joshua Landis, media berpura-pura tahu apa yang terjadi di dalam Syria.
Hingga kini, rakyat Syria sendiri masih sulit memahami, mengapa Barat bisa memihak teroris asing dan ekstrimis ketimbang warga sipil Syria.
Sebagai film berskala ‘besar’, Barat menggunakan rekaman ponsel murah yang lalu kemudian menjadi viral ke seantero dunia, menggambarkan ‘pemberontak’ Syria sedang mengalami perjuangan dramatis demi kemerdekaan dan keadilan – ala Amerika.
Sejak awal krisis, Al-Jazeera memberi hadiah $100 untuk setiap video amatir dari Syria. Industri baru langsung tumbuh subur di Syria, dengan ‘sutradara’ dan ‘aktor’ menjamur demi kekayaan. Keaslian video itu tak pernah dipertanyakan, media hanya menginginkan konten yang bisa mendukung propaganda mereka.
Hollywood
Deraa merupakan adegan pembuka yang belum juga selesai. Ulama yang menjadi pemain kunci di adegan awal, Sheikh al-Sayasneh, sempat dikenai tahanan rumah, lalu diselundupkan ke Amman, Yordania pada 2012. Kini, ia mengajar di Washington DC, AS. Persis seperti impian aktor yang mendambakan Hollywood, yang merupakan Mekkah bagi industri film, Sheikh Sayasneh telah menggapai Mekkah-nya semua proyek pergantian rezim.