Fenomena buzzer atau pasukan cyber dalam perpolitikan bukan saja terjadi di tanah air. Hasil penelitian Universitas Oxford berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation, yang dilakukan Philip N. Howard dan Samanta Bradshaw menunjukkan lebih dari 70 negara menggunakan buzzer, antara lain AS, Italia dan. Lalu, ada juga Cina, Arab Saudi, Iran, India hingga Indonesia.
Misalnya, di AS, penggunaan buzzer pada waktu pemilu 2016 sepaket dengan hacking email dan doxing. Di Italia, buzzer dipakai dengan diseminasi hoax dan fake news saat referendum. Di Jerman diterapkan dalam pemilu Bundestag.
Sejumlah negara yang punya teknologi canggih seperti Cina, Rusia, Arab Saudi dan Venezuela menggunakan buzzer untuk propaganda komputasi operasi pengaruh dunia. Facebook dan Twitter menghubungkan operasi pengaruh asing ke tujuh negara China, India, Iran, Pakistan, Rusia, Arab Saudi dan Venezuela, yang telah menggunakan platform ini untuk mempengaruhi audiens global.
Secara sederhana buzzer dapat dikelompokkan sebagai mereka yang terorganisasi dan mereka yang terpengaruh. Karena itu bisa jadi, tanpa kita sadari kita menjadi bagian dari buzzer untuk pihak tertentu.
Dr Kolier Haryanto, Pengamat Hubungan Internasional, Universitas Indonesia.