Ledakan Beirut Sulut Ketegangan Israel vs Iran dan Hezbullah

Bagikan artikel ini

Ledakan yang di pelabuhan Beirut mengindikasikan adanya ketegangan yang semakin memuncak antara Israel dan Hezbullah dimana Israel menargetkan salah satu pemimpin Hizbullah di Suriah. Ledakan Beirut yang mengerikan itu menghadirkan konstelasi baru dan menciptakan fakta yang berbeda di Lebanon dan kawasan. Selain itu, ledakan tersebut berdampak pada kondisi para aktor, terutama Hizbullah yang didorong untuk mencari keluar dalam menangani banyak masalah yang dihadapinya, baik secara internal dan eksternal, termasuk masalah eskalasi dengan Israel atau risiko membuka front perang skala besar di wilayah tersebut.

Potret Segitiga Israel-Iran-Hezbullah

Ambisi Israel untuk melumpuhkan Hezbullah dengan menargetkan tokoh utamanya harus dimulai dalam konteks serangan tanpa henti yang dilancarkan Israel terhadap posisi milisi Iran di Suriah dengan tujuan mengusir Iran keluar dari negara ini. Hal ini bertepatan dengan ledakan berturut-turut yang terjadi di sejumlah lokasi di Iran (terutama ledakan Natanz), selain operasi sporadis, yang sebagian besar menunjukkan adanya peran Israel berikut intelijennya dalam peristiwa tersebut.

Israel sejatinya menengarai bahwa Iran punya peran besar dalam memperkuat posisi Suriah di kawasan. Atas pertimbangan itu pula, Israel pun belum lama ini mengintensifkan serangannya terhadap pangkalan dan aset Iran di Suriah dan di dalam Iran sendiri. Selain itu provokasi Israel terhadap Iran kemungkinan besar juga bertolak dari penilaian Israel bahwa Iran saat ini tengah mengalami momen yang lemah sebagai akibat dari kondisi ekonomi dan politik yang dialaminya. Bahkan, boleh jadi tindakan Israel tersebut juga memperlemah peran Rusia di kawasan terutama pengaruh kuatnya di Suriah.

Selain itu, Israel memperkirakan bahwa tahapan yang dilakukannya saat ini hingga tanggal pemilihan presiden AS, merupakan peluang untuk menyerang Iran dan milisinya mengingat adanya pemerintahan AS yang memahami langkah Israel, yang mungkin saja tidak sejalan dengan haluan pemerintahan AS jika pemilu dimenangkan oleh Joe Biden. Mengapa, karena Biden mungkin akan lebih memilih perdamaian dengan Iran mengikuti jejak pendahulunya dari Partai Demokrat, Barack Obama.

Tindakan-tindakan provokatif Israel sejatinya bisa dibaca sebagai bentuk kebatinan politik dalam negeri Israel sendiri yang semakin lemah. Mengingat, potensi ancaman dari Hizbullah sangat mungkin mengingat postur kekuatannya yang saat ini sudah memiliki puluhan ribu rudal. Sementara di sisi lain, Iran sedang dalam perjalanan menuju destinasi negara nuklir. Israel tentu akan berpikir bahwa semua tindakan provokatifnya sedikit banyak bisa mengubah wajah kawasan demi kepentingan Israel. Namun, terlepas dari tekanan berat sanksi AS yang dideritanya, Iran telah berhasil menghindari upaya untuk memaksanya mengubah perilakunya di wilayah tersebut. Terlebih menyusul proses penandatanganan perjanjian strategis dengan China untuk menyelamatkannya dari krisis ekonomi yang parah. Selain itu, Iran juga sedang berupaya memperbarui perjanjian strategisnya dengan Rusia selama dua puluh tahun ke depan.

Alhasil, suara-suara mulai bermunculan di Israel, terutama dalam pembentukan militer, menyerukan agar dilakukan operasi untuk menetralisir rudal Hizbullah dalam konteks pertempuran yang singkat dan tegas sebelum terlambat. Mereka berbagi dengan beberapa surat kabar Israel tentang persepsi mereka tentang perang berikutnya dalam konteks rencana “Tnufa” (“Momentum”) untuk periode 2020-2024. Institute for National Security Studies (INSS) di Israel menyimpulkan bahwa virus corona dan kondisi ekonomi yang sulit di Lebanon dan Suriah telah mempercepat kondisi keamanan dan politik lebih dari yang diharapkan. Hal ini menunjukkan adanya perubahan estimasi terkait perang dengan Hizbullah. Sejumlah jenderal telah memberikan solusi teknologi untuk menyelesaikan kompleks rudal Hizbullah, yaitu sistem “Skyguard”, berdasarkan laser kimia yang sangat kuat yang mampu mencegat rudal dengan cepat dan murah.

Upaya Iran Lepas dari Jeratan

Iran saat ini sedang memeragakan gaya diplomasinya dengan cara yang sangat berbeda, yaitu mengamati terlebih dahulu atas provokasi Israel, alih-alih melakukan konfrontasi langsung dengan Israel dan AS skala yang leih luas. Namun, yang menjadi catatan bahwa Iran baru-baru ini menunjukkan kesiapannya jika suatu saat harus terlibat konfrontasi langsung dengan Israel. Ini jelas ditunjukkan melalui perjanjian dengan rezim Suriah untuk memasoknya dengan sistem pertahanan udara yang canggih.

Namun, indikasi terpenting dari serangkaian peristiwa tersebut adalah upaya untuk memanaskan front antara Israel dan Hizbullah. Media Israel mengungkapkan bahwa sel yang menjadi sasaran di dekat Golan dan yang mencoba menanam alat peledak di sisi jalur perbatasan itu bukan milik Hizbullah. Sebaliknya, itu adalah sel Iran yang setia kepada salah satu milisi yang direkrut oleh Iran di daerah dekat Golan. Hizbullah juga diyakini berada di bawah tekanan Iran untuk segera merespons tetapi lebih memilih bersabar dengan dalih bahwa respons harus efektif dan diperhitungkan pada saat yang bersamaan.

Iran percaya bahwa itu adalah kepentingannya untuk mengalihkan konfrontasi dari dalam negeri Iran dan menyimpannya di Suriah. Iran bahkan lebih menyukai konfrontasi di Lebanon, meskipun risikonya terhadap sekutu Iran, yaitu Hizbullah, karena ini akan berkontribusi memecah gelombang serangan di dalam negeri Iran. Hal ini sangat beralasan, mengingat dampak langsung yang ditimbulkannya terhadap stabilitas rezim politik di satu sisi, dan menunda proyek nuklir, yang telah menjadi impian Iran dan memperkuat keamanan dan otoritas rezim dalam menghadapi lawan internalnya di sisi lain.

Preferensi Iran untuk menggeser konfrontasi ke arena Suriah bertepatan dengan keinginan Israel yang memancing Hizbullah untuk segera meresponya melalui front Suriah karena keyakinan bahwa Israel memiliki poin keunggulan dalam konteks operasi di Suriah. Selain itu, tidak seperti perbatasan Lebanon, perbatasan Suriah dianggap sangat nyaman untuk melakukan serangkaian operasi, tidak memiliki hukum yang jelas, dan tidak saling menghalangi.

Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa ledakan pelabuhan Beirut yang mengerikan telah mengubah fakta di lapangan secara dramatis dan mempengaruhi sikap dan posisi para pihak yang berkonflik. Hal ini sejalan dengan pandangan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) bahwa Melalui pengeboman Lebanon, tetap yang sedang digoyang adalah bagian Selatan dari Asia Tengah yaitu Afghanistan, Pakistan dan terutama Iran. Maka pada gilirannya akan memantik campur tangan Cina, dari sebelah timur Asia Tengah, dan Rusia dari sebelah utara Asia Tengah. Belum lagi Turki dari sebelah Timur maupun India yang juga termasuk dalam bagian Selatan yang hiruk-pikuk, tentunya juga tidak akan tinggal diam.

Akankah Asia Tengah akan kembali jadi medan perebutan pengaruh antarkekuatan adikuasa selain kawasan Asia-Pasifik? Mari kita cermati terus perkembangannya ke depan.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI) dan dosen di Universitas Islam Lamongan (UNISLA)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com