Peperangan Generasi Kelima = Perang Asimetris?

Bagikan artikel ini

Selaras dengan pemikiran William S. Lind yang telah menerbitkan buku Perang Generasi Keempat, dan sebagai argumen ia menarasikan Perang Generasi Kesatu hingga Generasi Ketiga. Sedang ide dan gagasan Perang Generasi Kelima sudah menjadi pemikiran publik, tetapi tetap berbasis pada pemikiran Lind.

Perang Generasi Kelima ialah perang propaganda dan perang informasi guna meraih tujuan strategis, operasional dan taktis, serta tanpa kerusakan terukur yang dapat diidentifikasi oleh target (pihak lawan). Yang paling utama pada Perang Generasi Kelima adalah, pihak target (lawan) bahkan tidak mengetahui bahwa dirinya tengah diserang. Dan sudah barang tentu, pihak lawan telah kehilangan momentum peperangan itu sendiri. Itulah poin inti dalam Perang Generasi Kelima.

Agaknya, antara Peperangan Asimetris (Asymmetric Warfare) dengan Peperangan Generasi Kelima ini ada kemiripan bahkan secara pattern (pola): “Hampir sama.”

Tujuan strategis pada Peperangan Generasi Kelima, misalnya, itu seperti “skema” dalam pola Perang Asimetris; sedangkan tujuan operasional, hampir sama dengan “tema/agenda” dalam Perang Asimetris; dan yang terakhir, tujuan taktis pada Perang Generasi Kelima pun identik dengan “isu” dalam Asymmetric Warfare.

Sebagaimana dipahami bersama, bahwa pola lazim pada Asymmetric Warfare adalah isu – tema/agenda – skema atau disingkat ITS. Isu ditebar sebagai pintu pembuka; kemudian tema digulirkan selain memperkuat isu, juga menggiring opini publik; dan selanjutnya skema pun ditancapkan.

Nah, skema dalam Asymmetric Warfare ini identik dengan “tujuan strategis” dalam Perang Generasi Kelima yakni penguasaan/pencaplokan/pendudukan geoekonomi sebuah negara. Kredo keduanya pun mirip yakni “pihak target/lawan tidak memahami kalau dirinya tengah diserang”. Artinya, selain kehilangan momentum perlawanan/peperangan, juga pihak target (bangsa terjajah) kerap justru “jatuh cinta” bahkan membela secara mati-matian pihak penyerang atau si penjajah.

Inilah yang kerap terjadi di era kolobendu. Entah hingga kapan.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com