Mengurai Functionally Illiterate dan Generasi Copas

Bagikan artikel ini

Ada gejala yang cukup menggelisahkan di dunia pendidikan pada era pandemi, bahwa model pembelajaran jarak jauh yang kini menjadi tren di level manapun, berpotensi memperluas apa yang disebut dengan istilah buta aksara secara fungsi atau istilahnya functionally illiterate.

Secara histori-filosofi, buta aksara secara fungsi ini sesungguhnya telah ada sejak dahulu, tetapi sifatnya sporadis, tidak terstruktur dan tak semasif seperti sekarang ini.

Tatkala kini menjadi tren, semata-mata karena kondisi pandemi Covid-19 yang mengglobal. Ya. Ada fenomena bahwa sebagian pembelajar hanya bisa membaca tetapi tidak memahami apa yang dibaca.

Persoalan yang muncul secara struktural ialah, bahwa para pembelajar cuma dijejali tulisan namun tidak pernah diajak bicara. Disuruh membaca tetapi jarang ada dialog apalagi diskusi. Lagi-lagi, hal ini akibat ruang offline (tatap muka) terbatas. Gilirannya, pembelajaran secara virual menjadi kambing hitam di satu sisi, sedang fuctionally illeterate itu sendiri sebenarnya sudah ada semenjak dulu. Ia kerap disyairkan melalui bait-bait filosofi: “Punya mata tetapi tak melihat, punya hati tetapi tak merasa, punya telinga namun tidak mendengar”. Sekali lagi, itulah buta aksara secara fungsi atau functionally illeterate.

Pada gilirannya, kondisi tersebut membidani apa yang disebut copy-paste (copas) di kalangan pembelajar. Jika budaya copas merambah ke dunia akademis, ini merupakan fenomena menggelisahkan serta perlu dipecahkan bersama karena ada kecenderungan plagiasi produk dengan dalih pandemi. Kenapa begitu? Karena dikhawatirkan akan lahir generasi copas yang hakikinya adalah meniru atau memalsu tanpa harus menggali ide ataupun menemukan inovasi-inovasi baru. Memang terdapat diktum ATM (amati, tiru, modifikasi) sebagai rujukan bahkan sebagai pembenarnya. Ironis memang. Padahal hidup kudu bisa membaca baik secara tekstual maupun kontektual. Ya. Selain mampu membaca lingkungan (strategis), misalnya, atau mencermati isyarat alam, juga harus bisa membaca “diri sendiri”. Bila tidak bisa membaca nantinya bakal jadi bodoh. Filosofinya begini: “Kalau bodoh jangan seperti hewan, kalau pintar jangan seperti setan”.

Pandemi Covid-19 adalah keniscayaan global. Tidak dapat dihindari. Pembelajaran virtual kini telah menjadi budaya bahkan peradaban baru yang harus dijalani oleh siapapun baik guru, dosen, pendidik maupun para pembelajar itu sendiri di satu sisi, sementara mencetak SDM unggul adalah misi pendidikan di sisi lain.

Bagaimana kita harus bersikap?

Pada seminar PKB Juang TNI-Polri di Sesko TNI, Selasa, 28 Juli 2020 di Bandung, terdapat pointers menarik terkait tren virtualisasi pendidikan dan SDM unggul, antara lain:

Pertama, ada 5 (lima) hal yang tidak dimiliki oleh mesin, yaitu:

1) rasa ingin tahu (curiosity);
2) empathy;
3) kreativitas dan inovasi (out of the box);
4) memiliki program;
5) multidicipliner of thinking.

Kedua, ciri SDM unggul meliputi:

1) gaya hidup sehat;
2) ikuti digitalisasi;
3) ikut arus internasional;
4) membutuhkan sinergisitas penguatan kapasitas;
5) membangun ketahanan ipoleksusbudhankam; dan
6) ciptakan nilai tambah berbasis riset.

Nah, kedua poin besar di atas dengan masing-masing sub poin seyogianya bisa dijadikan titik awal bersama dalam mengeliminer, atau minimal mengurangi fenomena buta aksara secara fungsi (functionally illeterate) di lingkungan lembaga pendidikan pada era pandemi.

Demikian adanya, terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com