“Durian Montong” dan “Jeruk Tiongkok” Dari Golan

Bagikan artikel ini

Derek Manangka, Wartawan Senior

Pebruari 1993, saat rombongan kami wartawan Indonesia berada di Israel, Perang Dingin atau Detente baru saja selesai. Detente antara blok komunis versus blok non-komunis itu berakhir dengan diawali oleh runtuhnya Tembok Berlin di Jerman Oktober 1989.

Sebelum penjebolan tembok yang membelah Berlin Timur (komunis) dan Berlin Barat (non-komunis), Uni Sovyet bubar dan negara intinya berganti menjadi Rusia. Pemicunya sendiri, pidato Mikhail Gorbachev, pemimpin tertinggi Uni Sovyet yang menekankan perlu dan pentingnya demokrasi dan keterbukaan (glasnost dan perestorika).

Tuntutan demokratisasi dan liberalisasi pun dengan cepat melanda hampir semua provinsi di Uni Sovyet mulai dari yang berada di kawasan Eropa sampai dengan Asia Barat. Di Eropa lahir negara baru seperti Latvia dan Estonia, sementara di Asia seperti Kazakhstan dan atau Uzbekisthan.

Salah satu dampak atas bubarnya Rusia, bermigrasinya ratusan bahkan ribuan ilmuwan Uni Sovyet berdarah Yahudi ke Israel. Negeri Yahudi ini seperti mendapatkan durian runtuh. Para ilmuwan yang selama ini memiliki kepintaran dalam berbagai bidang tapi tak dimanfaatkan oleh Sovyet Komunis, akhirnya mendapatkan tempat berkarya di Israel.

Di tempat yang baru ini, para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu tersebut, ditampung di sebuah pusat penelitian. Mereka diberi tugas dan kebebasan penuh melakukan penelitian dan pengembangan sesuai keahlian dan minat masing-masing. Hasil itu jika menguntungkan Israel, langsung dipatenkan pemerintah dan dijual ke negara atau perusahaan korporasi yang berminat.

Temuan yang dipatenkan bermacam-macam. Mulai dari makanan, obat-obatan, kimia dan senjata pembunuh umat manusia. Semakin eksklusif dan berharga hasil temuan itu, semakin mahal harganya. Semakin banyak devisa yang masuk ke kantong uang pemerintah Israel.

Alhasil di dunia saat ini, tidak sedikit temuan yang digunakan masyarakat dan sejatinya merupakan temuan ilmuwan Israel. Konon diantaranya internet dan google translation.

Teknologi internet tadinya hanya digunakan secara terbatas. Di AS pengguna internet tadinya hanya terbatas pada lembaga yang memerlukan komunikasi super cepat dan rahasia. Seperti Dinas Rahasia CIA dan Gedung Putih. Internet tidak digunakan untuk tujuan komersil.

Tapi setelah ditemukan teknologi yang lebih maju hasil dari pengembangan internet, internet lalu dilepas ke publik. Internet menjadi alat pendukung kegiatan komersil.

Sama halnya dengan Google Translation yang ditemukan oleh ilmuwan Israel.

Kami dibawa ke pusat penampungan para imigran Yahudi yang berasal dari negara-negara pecahan Uni Sovyet. Ada sekitar 10 ilmuwan yang diperkenalkan, tetapi kami tidak sempat melakukan komunikasi atau tanya jawab langsung. Para ilmuwan itu sedang melakukan penelitian dan uji coba.

Penjelasan yang diberikan antara lain, para ilmuwan sedang melakukan penelitian yang jika berhasil menemukan temuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia, hasil temuannya itu akan dicarikan pembelinya. Pembeli bisa berupa sebuah negara atau lembaga usaha bersifat korporasi. Nilai atau harga jualnya tergantung tingkat kemanfaatannya. Yang pasti, jika terjadi transaksi, sang ilmuwan bisa mendadak kaya raya.

Pada saat menjelaskan sebuah kemungkinan berubahnya nasib seorang ilmuwan secara drastis, mata kami semua tertuju kepada para ilmuwan yang duduk manis di depan kami.

Mereka terkesan seperti manusia robot atau orang idiot. Mereka acuh tak acuh, cara berpakaian tak beraturan. Rambut acak-acakan, usia masih muda tapi tampang sudah seperti kakek-kakek.

Kesan yang muncul, para ilmuwan dari bekas negara komunis itu, selama ini sudah cukup letih karena otak dan kecerdasan mereka diperas. Mereka sudah bekerja keras tanpa dapat imbalan dari pemerintah Uni Sovyet. Mereka letih dan miskin. Tidak heran kalau penampilan mereka mirip orang yang tak punya empati sama sekali kepada sekeliling.

Tapi situasi bisa berubah secara tak terduga. Bila hasil temuan mereka laku mahal, merekapun bisa menjadi manusia kaya raya secara instan.

Dalam memanfaatkan kepintaran para ilmuwan, Israel selain menjual paten, juga mendirikan perusahaan baru yang khusus memperdagangkan produk hasil temuan ilmuwan itu. Perusahaan ini kemudian menjual sahamnya ke publik antara lain ke pasar-pasar modal di Wall Street, New York, Amerika Serikat, London, Frankfurt, Paris atau Tokyo.

Demikianlah antara lain sistem yang digunakan Israel untuk membesarkan para ilmuwannya dan mencari devisa melalui hasil penjualan paten maupun royalti.

Sistem ini pulalah yang antara lain membuat hubungan Israel dan Amerika Serikat menjadi sangat dekat. Atau ada ketergantungan permanen antara Tel Aviv dan Washington. Karena konon, banyak produk AS yang dijual ke pasar global dengan penghasilan jutaan sampai milyaran dolar per tahun, aslinya atau patennya berasal atau berada dalam penguasaan Israel.

Di abad modern – dalam dunia pertanian, menurut penjelasan kepala pusat penelitian Israel, negara itu misalnya sudah berhasil mengembangkan buah melon tanpa biji. Dan satu-satunya negara yang boleh memgembangkan biakan dan menjual melon tanpa biji tersebut adalah Spanyol.

Di bidang perikanan, sekalipun Israel tak memiliki wilayah perairan yang luas, tetapi Israel merupakan eksportir terkemuka di bidang ikan hias. Ikan yang diperlihara dalam aquarium itu antara lain berasal dari Laut atau lebih tepat disebut Danau Galilea.

Sebelum abad modern, Yahudi Israel juga sudah mengembangkan bunga Tulip yang selama ini hanya dikenal sebagai produk eksklusif negeri Belanda.

Pada acara tour tentang pusat-pusat penelitian, kami antara lain dipertemukan dengan sejumlah petani peneliti yang membisniskan berbagai produk pertanian melalui “green house”. Ukurannya relatif kecil. Tetapi di dalamnya terdapat bermacam-macam percobaan bibit tanaman. Dengan “green house”, percobaan dan penelitian bisa dilakukan sepanjang musim. dari Januari sampai Desember.

Di antara produk pertanian yang diperkenalkan kepada kami antara lain jeruk manis yang berasal dari pohon kecil dan tangkainya pendek-pemndek seperti tanaman hias khas Jepang, bonsai.

Jeruk dari “green house” tersebut, lumayan enak untuk tidak mengatakan enak tenan, mencegah terjadinya promosi gratis atas produk buatan Israel. Tetapi kalalu mau jujur, memang harus dikatakan sangat enak dan lezat.

Setelah melihat kemudian mencicipinya, saya benar-benar kagum atas hasil percobaan dari “green house” tersebut.

Tapi saya lebih kagum lagi, setelah kembali ke Jakarta. Masih di tahun 1993 itu tatkala jalan-jalan mencari makan di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di sebuah ruko tepat di samping Pizza Hut Delivery – seberang Mall Kelapa Gading, jeruk khas Israel itu sudah diperdagangkan di sana. Karena penasaran, saya coba bertanya kepada si penjual.

“Pak ini ‘Jeruk Tiongkok’, manis dan enak”, ujar si penjual.

Saya tidak tahu apakah si penjual itu memang jujur karena dia tidak tau asal-usul jeruk tersebut. Yang pasti jeruk ini sangat mirip sekali dengan yang di “green house” Israel, yang letaknya tak jauh dari Dataran Tinggi Golan, wilayah subur yang berbatasan dengan Syria.

Saya sempat berpikir, jangan-jangan jeruk hasil percobaan di “green house” Golan itu, patennya sudah dijual oleh Israel kepada Tiongkok.

Masih di seputar “green house” di Israel, selain bertemu dengan petani peneliti yang asli Israel, kami juga dipertemukan dengan sejumlah petani asal Thailand. Tentu saja pertemuan itu memancing keinginan untuk bertanya. Apa gerangan maksudnya ?

Terutama kalau dilihat substansi dan alasan yang mendorong kami bersedia menerima undangan Kadin Israel. Kami dijanjikan bertemu dengan politisi papan atas negara itu. Bukan dengan petani atau melihat rumah pembiakan tanaman pertanian.

Harapan saya, setidaknya kami dibawa ke tempat-tempat yang unsur politiknya, lebih dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan isu politik. Apakah itu politik luar negeri atau politik bilateral. Misalnya ke Kementerian Pertahanan, pabrik pembuat pesawat tempur, bertemu dengan ahli mengenai Indonesia. Jadi bukan ke lahan pertanian mini, apalagi bertemu dengan petani asal Thailand.

Seandainya petani Thailand itu diganti dengan petani asal Indonesia, masalahnya akan lain. Daya tarik pertemuan itu tentu kuat. Dari konteks berita, pertemuan itu memiliki “news value” yang cukup tinggi.

Setelah pertemuan berlangsung beberapa menit, secara berangsur saya mulai menangkap pesan moral dari acara tersebut.

Israel selama ini punya hubungan diplomatik dengan Thailand. Sehingga kerja sama di segala bidang dapat dilaksanakan oleh kedua negara. Termasuk di bidang pertanian.

Dengan negeri sejuta candi atau kuil itu, rupanya Israel sudah berhasil mendapatkan proyek jutaan dolar Amerika Serikat. Bidang pertanian yang menjadi konsentrasi kerja sama terletak pada pertanian padi dan buah-buahan tropis atau tropical fruits.

Israel masuk ke pertanian padi dengan target melipatl gandakan produksi beras sehingga Thailand benar-benar menjadi negara ekpsortir beras terbesar di dunia.

Melalui kerja sama tersebut, Israel memberikan pelatihan kepada para petani bagaimana membuat pembibitan padi, menanam dan merawatnya. Semua pelatihan tersebut dilakuikan di pusat-pusat yang menyediakan “green house”.

Selain beras, Israel menggarap buah-buahan tropis yang ada di Thailand. Yang digarap misalnya “durian montong”. Durian ini sudah sangat terkenal kelezatannya. Tetapi berbagai kekurangan banyak melekat dalam durian montong. Misalnya cita rasanya, kadang berbeda antara buah yang berbeda pohon.

Yang dilakukan Israel, standardisasi. Menciptakan teknologi yang mampu membuat seluruh buah durian montong, di manapun dia tumbuh, hasilnya mempunyai rasa yang sama. Cita rasanya diseragamkan. Produksinya pun dibantu dengan teknologi khusus sehingga memungkinkan sebuah pohon bisa menghasilkan buah berlipat kali dari pohon yang tanpa bantuan teknologi.

Lalu kalau diekspor, dengan kemasan khusus, durian montong akan tahan lama.

Setelah sukses menggarap atau membantu pengembangan beras dan “durian montong”, Israel menggarap semua buah-buahan tropis lainnya seperti mangga, pisang, nenas, manggis dan pepaya.

Saya menduga, Israel melihat antara Thailand dan Indonesia – dalam hal pertanian dan buah-buahan tropis, memiliki banyak kesamaan.

Dengan cara tadi, Israel nampaknya ingin meyakinkan, bahwa jika Thailand berhasil menjadi eksportir terbesar dunia dalam bidang beras dan buah-buahan tropis, mengapa tidak dengan Indonesia ?

Dengan luas wilayah yang jauh lebih besar dibanding Thailand, potensi Indonesia jelas lebih besar. Tapi potensi tersebut tak akan bisa berarti apa-apa. jika tidak dibantu dengan kemampuan teknologi.

Sama halnya dengan deposit nikel, emas dan mungkin uranium di Tembaga Pura, Papua. Deposit yang terkandung di dalamnya, boleh jadi tak akan pernah habis hingga tujuh generasi. Tetapi tanpa memiliki dan menguasai teknologi yang diperlukan, potensi dan kekayaan alam itu tak berarti apa-apa. *****

( B E R S A M B U N G )

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com