Bonari Nabonenar
Upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa, seperti halnya upaya pelestarian dan pengembangan bahasa-bahasa daerah lain yang ada di Indonesia, mesti dimaknai sebagai upaya menjaga dan merayakan keanekaragaman yang pada akhirnya bermuara pada: demi kejayaan Indonesia yang bhinneka tunggal ika, bukannya sebagai menambah potensi keberjarakan antara satu etnis dan etnis lain. UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan pun telah memberikan ruang yang cukup untuk upaya-upaya itu.
Banyak orang, komunitas, lembaga, menyadari betapa angka kematian bahasa-bahasa daerah (: bahasa ibu) terus melaju nyaris tanpa kendali. Dalam hal bahasa Jawa, para pemangku kepentingan pun bergerak, mengeluarkan segenap kemampuan, tenaga, pikiran, uang, untuk upaya mulia: mempertahankan/melestarikan dan mengembangkan bahasa ibu mereka.
Sanggar-sanggar bahasa dan Sastra Jawa dibangun, pertemuan-pertemuan para pecinta bahasa dan sastra Jawa diadakan, dari yang informal hingga yang formal, dari yang berskala kelompok kecil (5—10 orang) hingga yang melibatkan ratusan orang, dari yang beranggaran sejuta-dua juta rupiah hingga yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Panggung bahasa/sastra Jawa digelar, buku-buku (berbahasa Jawa) diterbitkan (oleh komunitas maupun perorangan), sarasehan, seminar, kongres pun diselenggarakan. Gerak para pemangku kepentingan bahasa dan sastra Jawa itu pun mendapat acungan jempol dari etnis pemilik bahasa ibu lain. Tetapi, mengapa kegegapgempitaan gerak para pemangku kepentingan itu seoalah tidak melahirkan kabar gembira yang signifikan? Jawaban yang pertama-tama dapat saya kemukakan untuk pertanyaan demikian adalah: sebab, selama ini kita abai terhadap hal paling penting dalam pemakaian bahasa Jawa, terutama pada ragam tulisan, yaitu ejaan.
Persoalan ejaan sekilas memang tampak sederhana tetapi sesungguhnya sangat mendasar, terutama berkaitan dengan penggunaan bahasa Jawa di dalam tulisan. Sebutlah contoh kata wedi (takut) harus dibedakan dengan wedhi (pasir), tutuk (mulut) harus dibedakan dengan thuthuk (pukul). Kata cara (cara) mesti dibedakan dengan coro (kecoak), teka (datang) berbeda dengan i (tempat air minum). Jika kita melihat teks lagu-lagu campursari berbahasa Jawa di dalam VCD yang dibuat oleh hampir semua perusahaan rekaman, tampaklah bahwa persoalan mendasar itu sama sekali tidak dipedulikan. Kekacauan penulisan ejaan ini sering pula dilakukan oleh instansi pemerintah melalui baliho atau spanduk yang dibuat untuk, misalnya, iklan layanan masyarakat.
Kekacauan ejaan dan bahkan penggunaan istilah juga dapat kita saksikan melalui media daring, dan terkonyol adalah ketika ada yang membuat grup di sebuah situs jejaring sosial: Pengurit Boso Jowo. Bukankah penggurit (penyair) itu seharusnya paham banget mengenai bahasa yang digunakan sebagai media ekspresinya? Kabar gembiranya: Google bakal menggandeng UGM untuk layanan bahasa Jawa di telepon selular. Tetapi, di lamannya sendiri, dan apalagi di layanan Google Translate, jika sedikit saja Anda paham bahasa Jawa, itulah salah satu alamat untuk bergelak-tawa.
Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa sudah dibuat oleh seorang peneliti senior di Badan Bahasa, Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka. Pedoman Pemakaian Ejaan Bahasa Jawa yang sudah disinkronkan dengan Pedoman Pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan juga sudah diterbitkan (dibagikan gratis kepada peserta Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya, 2011). Kamus Pepak Basa Jawa pun sudah diterbitkan. Yang sangat kurang adalah sosialisasinya. Media pelopor yang dapat dijadikan rujukan atau untuk sementara bolehlah dianggap sebagai ”panutan” juga ada: Panjebar Semangat, Jaya Baya (keduanya terbit di Surabaya), dan Djaka Lodang (Yogyakarta), ditambah lagi Tabloid Bro! (Surabaya). Beberapa koran berbahasa Indonesia juga menyediakan ruang untuk tulisan opini, cerpen, dan/atau puisi berbahasa Jawa: Solopos (Solo), Suara Merdeka (Semarang), dan di bawah Grup Jawa Pos ada Radar Bojonegoro. Andai semua itu bisa disosialisasikan dan diperkuat dengan penandatanganan bersama tekad untuk penggunaan kode aksara yang seragam antarkomunitas pemakai bahasa Jawa (ragam tulisan) dari komunitas orang Jawa yang ada di Jawa, Sumatra, Kalimantan … dan laian-lain, Malaysia, Suriname, Belanda, Kaledonia Baru, dan seterusnya, alangkah bagusnya. Jika ada pihak yang memiliki kepedulian dalam hal ini dan kemudian mengundang para pemilik laman pribadi untuk menekan tingkat kekacauan dalam hal penggunaan ejaan bahasa Jawa, pasti hasilnya akan sangat signifikan.
Melalui acara seminar atau rapat koordinasi yang saya ikuti, sering saya mengemukakan usulan agar para penyanyi lagu-lagu Jawa, termasuk dari jenis campursari, pengarang lirik lagu Jawa, dan para produser atau pemilik perusahaan rekaman dikumpulkan untuk diajak berbicara mengenai pemakaian ejaan dalam lirik-lirik lagu berbahasa Jawa, agar pada suatu hari nanti tidak lahir lagu yang mengandung lirik seperti ini, ”Yen mangan ra diator wetengmu mesthi loro.” (Terjemahan yang benar: Jika makan mesin pendingin, perutmu pasti dua). Padahal, yang dimaksudkan oleh penulis lirik adalah: ”Jika makan tidak diatur, perutmu pasti sakit,” yang dalam bahasa Jawa seharusnya dituliskan, ”Yen mangan ra diatur, wetengmu mesthi lara.”
Dalam kaitannya dengan ejaan, anak-anak muda sekarang pada umumnya tumbuh dengan lidah yang sudah sangat ”Indonesia”, sehingga kurang atau bahkan tidak lagi dapat melafalkan bunyi yang dalam bahasa Jawa (huruf latin) dilambangkan dengan [d]seperti pada kata: dadi, durung, udel, sada. Bahasa Jawa memiliki bunyi [d]dan [dh]: bedhug, dhadhung, kudhung, wudhar. Perhatikan para penyiar televisi pada siaran berbahasa Jawa, yang sering muncul pada lomba baca guritan (puisi Jawa) yang diikuti oleh para pelajar, kita akan menemukan huruf [d]yang diucapkan sebagai [dh]. Pada kasus seperti ini, kita tidak bisa berdalih dengan soal dialek, aksen, atau apa, sebab pergeseran bunyi dari [d]ke [dh]atau sebaliknya itu jelas-jelas mempengaruhi makna.
Itulah persoalan sangat strategis yang sejauh ini belum mendapatkan perhatian memadai dari para pemangku kepentingan bahasa Jawa. Bahkan, di hajatan intelektual berskala internasional yang melibatkan semua elemen: para pakar, guru bahasa (Jawa) hingga pesindhen dan pelajar yang menelan rupiah bermiliar-miliar, tampaknya orang masih lebih suka mengulang-ulang pembicaraan mengenai petatah-petitih Jawa, kandungan moral serat anu, kepemimpinan ideal menurut kitab anu, dan seterusnya. Dan, jangan lupa, mereka yang bergelar pakar itu medhar sabda-nya menggunakan bahasa lain, bukan bahasa Jawa.
Dengan ejaan yang seragam kita dapat membayangkan bahasa Jawa akan menjadi bahasa informal yang mendunia, karena tidak ada lagi kendala perbedaan kode aksara, misalnya satu pihak menggunakan ejaan ho-no-co-ro-ko sedangkan pihak lain menggunakan ejaan ha-na-ca-ra-ka. Jika misalnya orang Surabaya mau bersikukuh menuliskan piro (berapa) tidak mau menuliskannya dengan ejaan yang benar: pira, sebaiknya mereka memroklamasikan saja bahasa Jawa dialek (atau malahan idialek) Surabaya sebagai bahasa tersendiri—seperti yang beberapa waktu lalu menghangat di Banyuwangi dengan dialek (idialek?) Osing. Lalu, mengganti nomenklatur Surabaya menjadi Suroboyo. Tak usah dipikir berapa duit diperlukan untuk urusan administrasi berikut thethek-bengek-nya.
Facebook Comments