Taranov yang menjabat direktur Pusat Kajian Timteng-Kaukasus yang bernaung di bawah Institut Internasional Negara-Negara Baru mengatakan bahwa menyusul kandasnya proses perdamaian Timteng, Erdogan berusaha mengembangkan pengaruh geopolitik melalui “sayap-sayap NATO” tapi dia ternyata bangkrut di depan para mitra Baratnya dan menyebabkannya terjerumus pada konflik regional yang meliputi Suriah dan Irak.
RT mengutip laporan IRNA bahwa dalam percakapan telefon dengan Rouhani Senin lalu (18/7) Erdogan mengatakan, “Sekarang kami lebih bertekad lagi untuk berjalan seiring dengan Iran dan Rusia untuk dapat andil dan bekerjasama dengan keduanya dalam penyelesaian isu-isu internasional, sebagaimana kami bertekad untuk menggandakan upaya menuju pemulihan perdamaian dan stabilitas di kawasan.”
Di pihak lain, lanjut RT, Rouhani mengapresiasi “keberanian dan kematangan politik” rakyat Turki karena telah bangkit membela pemerintahan yang sah dalam menghadap para pelaku upaya kudeta gagal.
“Stabilitas dan ketentraman di Turki berpengaruh positif bagi iklim di kawasan secara keseluruhan, dan kami tidak ragu bahwa ketentraman di negara-negara Islam tidaklah menarik bagi para teroris maupun negara-negara besar,” ujar Rouhani. Rouhani juga mengatakan bahwa insiden upaya kudeta yang terjadi di Turki memperlihatkan mana kawan dan mana lawan yang sesungguhnya bagi Turki, di dalam maupun di luar negeri.
Mengenai kondisi Presiden Turki pasca upaya kudeta gagal, Taranov berpendapat bahwa Erdogan sebenarnya sudah lama menyadari telah masuk ke dalam jebakan agenda politik Barat serta menganggap agenda itu sebagai biang problematika pengungsian, dan ini dinyatakan Erdogan berulang kali secara blak-blakan sehingga mendobrak pintu Eropa bagi para pengungsi dan lantas keamanan Eropapun mendapat ancaman besar.
Menurut pakar Rusia ini, desakan Erdogan agar AS mengekstradisi Fethullah Gulen tanpa disertai argumentasi dan bukti dari Ankara mengenai keterlibatan Gulen di balik upaya kudeta menunjukkan bahwa Turki memang berniat mengusik hubungannya dengan Washington dan sengaja memainkan lagi “kartu Timur”.
Taranov juga menyebutkan ancaman Erdogan sebelumnya untuk mengarahkan Turki kepada Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai Cooperation Organisation/ SCO) apabila Uni Eropa menutup pintu bagi Ankara.
Taranov kemudian menyinggung spontanitas upaya Turki untuk menormalisasi hubungan Turki dengan Israel sekaligus Rusia, yang kemudian disusul dengan insiden serangan teror di Bandara Ataturk, Istanbul, dan lalu terjadi upaya kudeta menyusul adanya pernyataan bahwa akan segera diadakan pertemuan antara presiden Rusia dan presiden Turki. Menurut Taranov, semua ini terjadi bukan secara kebetulan.
Taranov menilai bahwa skenario awal upaya kudeta yang dikemukakan oleh Ankara mengindikasikan adanya sekelompok perwira tinggi Turki yang berusaha mengandaskan proses pendekatan dengan Israel dan Rusia. Sedangkan skenario kedua berbicara mengenai adanya kaitan sekelompok perwira tinggi dengan dinas rahasia Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA), dan skenario ketiga yang dinyatakan sendiri oleh Erdogan ialah keterlibatan Fethullah Gulen yang terasing di Amerika.
Taranov kemudian menyinggung kejutan lain yang terjadi bersamaan dengan upaya Erdogan memperkuat pemerintahannya dan mengamandemen konstitusi demi mengembalikan negaranya kepada sistem presidensial, sementara sekutu utamanya, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, juga menyerahkan RUU kepada Mahkamah Konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tujuh tahun.
Taranov mengingatkan keberhasilan Baku menggagalkan upaya kudeta pada Oktober lalu yang kemudian muncul data-data mengenai keterhubungan para pelaku upaya kudeta di Azerbaijan itu dengan beberapa tokoh di Ankara. Dia menilai tidak kecil kemungkinan Erdogan mendapatkan data dan informasi dari Baku mengenai rencana-rencana para pelaku kudeta di Turki sehingga Erdogan dapat menggagalkannya.
“Sketsa geopolitik mengalami perubahan. Jika Erdogan solid pada pendekatan politiknya itu, yakni gagasannya untuk membentuk koalisi dengan Iran dan Rusia, maka dia harus mengakui efektivitas pemerintahan al-Assad (Presiden Suriah) dan mengadakan perundingan soal ini, dan inilah yang akan membuka cakrawala penyelesaian krisis Suriah,” ujar Taranov.
Stanislav Taranov mengatakan bahwa sejauh ini statemen-statemen Turki memang belum menunjukkan adanya perubahan secara fundamental dalam pendirian Ankara terhadap pemerintahan Bashar al-Assad, tapi tidak kecil kemungkinan Turki dalam waktu dekat ini akan berhadapan dengan krisis yang lebih besar sebagai buntut kudeta yang gagal dilakukan oleh kalangan yang pro-Barat.
“Jelas bahwa dalam kondisi demikian Ankara akan masuk ke dalam koalisi-koalisi taktis, dan pemerintah Turki akan berusaha mengeruk dukungan dari para mitra koalisi yang memungkinkannya untuk memainkan ‘peran keseimbangan’ di tengah keruntuhan hubungan Turki dengan Barat,” pungkas Taranov.
Facebook Comments