Erdogan Kena Batunya?

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaemanresearch associate of Global Future Institute

Menyusul terjadinya aksi demo di berbagai kota di Turki yang dihadapi dengan represif oleh polisi Turki, Menteri Penerangan Suriah Omran Al-Zoabi menyerukan Erdogan agar turun dari jabatannya. Al-Zoabi juga menyatakan, “Erdogan mengendalikan negaranya dengan cara-cara teror, menghancurkan peradaban dan prestasi rakyat Turki.”

Pernyataan Al Zoabi ini bisa dianggap sebagai sindiran telak untuk Erdogan. Masih tak luput dari ingatan para pemerhati konflik Suriah, bulan November 2011, Erdogan menyeru kepada Assad, “Untuk kesejahteraan rakyatmu sendiri dan kawasan, tanggalkan saja kursi itu.”

Tak sekedar menyeru Assad mundur, Erdogan bahkan menyediakan wilayahnya sebagi base-camp para milisi bersenjata yang tergabung dalam Free Syrian Army. Bahkan Edogan mengizinkan kelompok-kelompok jihad yang berafiliasi dengan Al Qaida untuk menggunakan wilayah Turki sebagai tempat lalu lalang pasukan dan suplai senjata. Di sisi diplomatik pun, Erdogan pun menyediakan negerinya sebagai tuan rumah bagi berbagai negosiasi di antara para oposan Suriah dengan AS, Prancis, Inggris, Qatar, dan Arab Saudi.

Syria memang lahan petualangan politik yang sangat impulsif bagi Erdogan. Erdogan awalnya berusaha menjadi pemain utama di Timur Tengah dengan berbaik-baik kepada semua negara tetangganya dan membawa slogan zero problems with neighbours (nol problem dengan tetangga). Hanya setahun sebelum krisis Suriah meledak, Erdogan dan Assad bahkan bertemu dalam sebuah pertemuan yang penuh persahabatan,untuk membangun sebuah bendungan di sungai Orontes. Bendungan itu bahkan dinamai ‘Bendungan Persahabatan’.

Turki juga berusaha menjadi mediator bagi Israel-Syria untuk menyelesaikan konflik panjang mereka selama ini, meski akhirnya gagal. Untuk urusan Israel, sejak tahun 2009 Erdogan naik daun dan dipuja-puja kaum muslimin dunia. Gara-garanya, dalam sebuah konferensi internasional di Davos, Swiss, Januari 2009, Erdogan blak-blakan mengkritik Israel dengan mengatakan bahwa Perdana Menteri Israel Simon Peres membunuh anak-anak dan wanita-wanita tak berdosa di Gaza. Setelah berbicara demikian, Erdogan melakukan aksi walk out dari konferensi tersebut.

Peristiwa tahun 2009 itu sangat fenomenal dan dalam sekejap menaikkan pamor Erdogan. Dia pun dipuja-puja oleh banyak kaum muslimin dunia yang memang sangat mendambakan adanya pemimpin yang berani melawan Israel selain Ahmadinejad yang kurang disukai kaum takfiri. Tahun 2010, sikap keras Erdogan terhadap Israel berlanjut dengan dukungannya terhadap pengiriman bantuan ke Gaza. Bantuan itu dibawa para aktivis pembela Palestina dengan menggunakan kapal milik Turki, yang bernama Mavi Marmara.

Namun, konflik Suriah telah membawa Erdogan, dan Menlunya, Davutoglu, ke ujung tanduk. Demi ambisi untuk menjadi penguasa Timur Tengah, mereka mengabaikan doktrin diplomasi mereka sendiri (zero problems with neighbours) dan mau bersekutu dengan AS dalam mendukung pemberontak Suriah. Namun, mereka miskalkulasi. Dengan berpihak kepada Barat dan menjadi pion pelaksana ambisi Barat terhadap Suriah, justru akhirnya Turki yang kelimpungan. Sumber dana terkuras untuk ikut saweran mendanai para pemberontak Suriah. Wilayah perbatasannya menjadi tidak aman karena digunakan sebagai base-camp para pemberontak. Saling balas serangan rudal pun terjadi antara militer Turki dan Suriah, menimbulkan ketidakamanan.

Etnis Kurdi pun seolah mendapat kesempatan untuk bangkit melawan rezim Erdogan. Gelombang pengungsi dari Suriah juga membanjiri Turki dan siapapun tahu betapa repotnya (dan mahalnya) mengurus pengungsi perang. Kini, mereka merasakan sendiri akibatnya. Tidak ada yang akan mau mengganti semua kerugian yang diderita Turki akibat ikut-ikutan melibatkan diri dalam konflik Suriah. Rakyat Turkilah yang harus menanggung kerugian akibat ketertipuan Erdogan.

Tak heran bila kini Erdogan menuai hasil dari benih yang ditebarnya. Demo rakyat Turki telah memberikan tamparan telak kepada Erdogan. Mari kita tunggu saja perkembangannya. Apakah AS akan bersuara meminta Erdogan mundur dengan alasan ‘melakukan kekerasan kepada demonstran’? Bila itu terjadi, artinya AS memang tak butuh Erdogan lagi dan menginginkan terjadinya perubahan rezim di Turki. Tapi bila AS diam saja, sebagaimana diamnya menyaksikan aksi represi brutal rezim Al Khalifa di Bahrain terhadap para demonstran, maka ini lagi-lagi bukti betapa munafiknya AS. Jargon ‘penghormatan pada demokrasi’ bagi AS hanya digunakan untuk menumbangkan rezim yang tidak diinginkannya.

Sumber :Kajian Timur Tengah 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com