Gebrakan Menteri Susi Harus Dikembangkan ke arah Penguatan Pengamanan ALKI

Bagikan artikel ini

Langkah-langkah kecil yang diprakarsai oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti patut diancungi jempol, meski baru sebatas penumpasan terhadap pencurian ikan di laut. Lepas dari sinisme yang terlontar dari berbagai pihak, namun jika kita kaitkan dalam kerangka yang lebih strategis untuk memperkuat kembali superioritas Indonesia di matra laut, kiranya langkah-langkah kecil menteri Susi tetap patut diberi apresiasi.

Setidaknya mulai saat ini Malaysia dan Singapore, sudah harus berhati-hati dalam berhadapan dengan Indonesia. Keduanya, merupakan dua negara yang pernah dijajah Inggris, dan hingga kinipun masih berada dalam naungan pengaruh Inggris melalui Negara-negara Persemakmuran (Common Wealth).

Singapore, sejak masih bergabung dengan Malaysia, para tokoh politiknya memiliki kedekatan hubungan dan kepentingan dengan pemerintah Inggris. Maklum, kedua negara ASEAN tersebut sebelumnya memang merupakan jajahan Inggris. Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapore merupakan sarjana hukum lulusan Inggris. Begitu juga Tun Abdul Rahman dan Tun Abdul Razak, penguasa Malaysia sejak awal kemerdekaan pada 1947.

Sejak lepas dari Malaysia, Singapore pada dasarnya tetap menjalin hubungan strategis dengan Malaysia, apalagi ketika pada 1965 kedua negara sama-sama memandang Indonesia dan Presiden Sukarno sebagai ancaman yang cukup berbahaya di kawasan Asia Tenggara.

Salah satu wilayah perairan Indonesia yang selalu menjadi dua negara adidaya Amerika Serikat dan Inggris, yang mana  Malaysia dan Singapore termasuk sekutu strategisnya di Asia Tenggara, adalah Pulau Laut dan Pulau Subi Natuna.

Berdasarkan dokumentasi Global Future Institute, pada Juni 2009 monitor radar 212 milik Angkatan Udara menunjukkan adanya beberapa kapal asing memasuki Alur Laut Kepulauan Indonesia(ALKI), yang melewati perairan Pulau Laut dan Pulau Subi Natuna yang termasuk perairan Indonesia.

Hasil pengintaian pada waktu itu menunjukkan ada 6 kapal Amerika Serikat terdiri dari kapal induk lambung USS Ronald Reagan yang dianjungannya terdapat puluhan pesawat tempur yang sedang parker, dua kapal jenis destroyer, dua kapal frigate dan satu kapal tanker minyak.

Pada akhirnya kapal-kapal asing tersebut memang berhasil diminta untuk menjauh dari perairan Indonesia. Namun dari kejadian tersebut jelaslah sudah bahwa kedaulatan wilayah perairan Indonesia memang berada dalam bahaya dan cukup rawan. Bayangkan, sebuah kapal kapal tanker minyak melewati wilayah kedaulatan perairan Indonesia dengan dikawal oleh kapal-kapal tempur Amerika dari berbagai jenis seperti saya sebutkan tadi.

Manuver enam kapal perang Amerika tersebut mengindikasikan bahwa wilayah di Laut Cina Selatan, termasuk di perairan Natuna, memang memiliki nilai strategis dari sisi geopolitik internasional. Dan Indonesia, sudah seharusnya menyadari betul nilai strategis wilayah ini, sehingga perlu segera memperkuat kembali Pertahanan-Keamanan Maritim-nya. Pada tataran ini, gebrakan Menteri Susi untuk menindak beberapa kapal asing yang mencuri ikan di laut, memang belum punya makna strategis. Namun setidaknya, hal ini bisa menjadi sebuah momentum untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk memperkuat matra laut Indonesia, termasuk postur Angkatan Laut kita saat ini.

Pengamanan ALKI Dalam Kerangka Sistem Pertahanan Maritim RI

Maka dari itu, gebrakan Menteri Susi terkait soal pencurian ikan di laut, harus dikembangkan dalam lingkup yang lebih strategis, yaitu memperkuat Sistem Pertahanan Maritim Indonesia, dengan konsekwensi untuk memprioritaskan pembangunan dan modernisasi Angkatan Laut Kita, termasuk kebijakan pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) Angkatan Laut.

Terkait dengan hal itu, khususnya Operasi Pengamanan ALKI, ada beberapa masalah yang hingga kini masih perlu jadi perhatian para “Pemangku Kepentingan” Maritim Indonesia.

  1. Operasi Pengamanan ALKI yang selama ini merupakan tanggungjawab Angkatan Laut dan Angkatan Udara, operasi seringkali berjalan sendiri-sendiri dan tidak terpadu antara AL dan AU. Padahal Operasi Pengamanan ALKI berada di bawah komando Mabes TNI.
  2. Tidak adanya Komando Opeasi Gabungan yang melaksanakan operasi itu. Pertimbangan Mabes TNI: Operasi Gabungan hanya bisa dibentuk bila ada ancaman terhadap keutuhan dan keselamatan negeri ini.
  3. Fokus Operasi Pengamanan ALKI lebih pada  memantau pergerakan kapal perang di permukaan, selain pesawat udara militer yang lewat di atasnya. Sehingga saat ini belum ada fokus untuk meningkatkan kemampuan mengamati pergerakan kapal selam di bawah ai. Akibatnya, Indonesia belum mampu memantau semua pergerakan kapal perang di ALKI.
  4. Durasi Operasi. Meskipun operasi pengamanan ALKI, komando dan kendalinya di bawah Mabes TNI, durasi operasinya tidak sepanjang tahuan alias 24 jam x 365 hari.

Alhasil, operasi pengamanan ALKI hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja.  Bahkan kadang tidak sinkron jadwalnya antara operasi yang dilaksanakan oleh AL dengan yang digelar oleh AU. Tidak heran jika seringkali pesawat B737 Patmar AU tidak bisa bertindak apa-apa terhadap hasil pantauannya.

Berdasarkan peta masalah yang kita hadapi terkait Operasi Pengamanan ALKI, bisa kita tarik kesimpulan ada masalah yang cukup krusial di pihak TNI dalam menerapkan Strategi Pertahanan Maritim kita saat ini. Sehingga pihak AL dan AU tidak punya gambaran berapa radar pengamatan maritime yang kita butuhkan saat ini, begitu pula radar pertahanan udara (hanud) di sekitar ALKI.

Jangan-jangan, di kalangan perancang strategi pertahanan kita, memang kurang menaruh perhatian besar terhadap ALKI. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, para pemangku kepentingan Maritim Indonesia sepertinya abai geopolitik. Sehingga tidak mampu membayangkan kemungkinan terburuk, ketika suatu saat ALKI II diblokde oleh asing, maka jalur laut dan udara antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur bakal putus.

Padahal, skenario terburuk macam itu jauh lebih realistis untuk diantisipasi oleh TNI AL dan AU kita, daripada Skenario Invasi Asing yang menduduki semua wilayah kedaulatan RI.

Pertanyaannya kemudian, apakah ada indikasi pihak asing untuk menerapkan skenario pemutusan ALKI? Beberapa riset kecil yang dilakukan Tim Riset Global Future Institute, mengungkap adanya beberapa faktor pemicu (triggering factor) yang kiranya patut kita waspadai ke depan:

  1. Pihak Asing seringkali merasa Indonesia membatasi kebebasan pelayaran (freedom of navigation).
  2. Pihak Asing seringkali menyatakan Indonesia tidak kooperatif dengan mereka dalam isu-isu tertentu yang menyangkut kepentingan nasional mereka yang vital.
  3. Pihak Asing memanfaatkan gejolak politik di wilayah tertentu di Indonesia Timur, sehingga pihak asing merasa perlu untuk terlibat langsung secara militer.

Hakekat ALKI I, II dan III

Agar kajian singkat kita ini punya gambaran yang lebih jelas, ada baiknya saya urai serba sedikit hakekat dari ketiga ALKI yang jadi fokus bahasan kali ini.

ALKI I dimaksudkan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia dan sebaliknya via Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda.

Sedangkan ALKI II merupakan  jalur Laut Sulawesi ke Samudera Hindia dan sebaliknya via Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok.

Dan ALKI III, merupakan perlintasan dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu, dan lain-lain hingga ALKI III-A, B dan C dari Samudera Pasifik ke Laut Timor atau ke Laut Arafura dan sebaliknya melalui Laut Maluku, Laut Seram, dan Laut Banda.

Maka, untuk menopang urgensi Operasi Pengamanan ALKI yang bertumpu pada AL dan AU, maka modernisasi peralatan tempur kedua angkatan tersebut, harus menjadi agenda prioritas.

MODERNISASI PERALATAN TEMPUR TNI ANGKATAN LAUT

Sebagian peralatan tempur sudah tua dan tidak layak pakai. Anggaran pertahanan yang terbatas adalah penyebab utama TNI tidak dapat memodernisasikan peralatan tempurnya.

TNI AL saat ini, hanya 40 persen peralatan tempurnya yang layak pakai. Yaitu meliputi 126 unit KRI dengan kondisi siap operasi hanya 61 unit. Berarti hanya 48,4 persen dari 126 unit KRI yang bisa digunakan. Sedangkan dari 209 unit KAL, hanya 76 yang siap operasi (36%).

Dari 435 unit kendaraan tempur marinir, hanya 157 yang siap operasi(36,1%). Sedangkan dari 66 unit pesawat udara, yang siap operasi hanya 32 unit (48%).

Bisa dibayangkan betapa mudahnya pertahanan laut di perairan Indonesia ditembus oleh angkatan laut negara-negara asing. Apalagi ketika kondisi peratalan pertahanan kita rata-rata tidak sesuai dengan perkembangan tekonologi. Bahkan saat ini marinir kita masih menggunakan kendaraan kendaraan tempur produksi 1960-an.

Pada umumnya usia pakai kapal selam, kapal perusak kawal rudal, dan kapal cepat roket telah melebihi 22 tahun. Bahkan kondisi 79 buah KRI, kapal patroli, dan kapal pendukung yang layak pakai, usianya sudah mencapai 20 sampai 40 tahun. Usia yang sudah sangat tua dan renta untuk ukuran keampuhan peralatan tempur.

MODERNISASI TNI ANGKATAN UDARA

Menelisik kondisi tempur TNI angkatan udara kita, saat pesawat tempur milik TNI AU sebanyak 90 unit, terdiri dari F-16 Fighting Falcon, F-5 Tiger, A-4 Sky Hawk, Hawk 100/200, MK-53, OV-10 Bronco, dan Sukhoi. Sedangkan 140 pesawat lainnya merupakan armada pendukung, seperti pesawat latih, pesawat intai, pesawat angkut, pesawat VIP dan helikopter.

Namun, tragisnya, seperti juga yang dialami TNI AL, dari keseluruhan pesawat milik TNI AU hanya 57 persen yang dalam keadaan siap operasi. Disamping itu kondisinya pun berada di bawah standar. Inilah yang dialami oleh jenis OV-1 Bronco yang dibuat tahun 1976 dan digunakan TNI AU sejak 1979. Itupun hanya 4 yang dinyatakan siap.

Sedangkan pesawat tempur F-5 Tiger buatan 1978, dari 12 yang dimiliki hanya dua yang dinyatakan siap. Pesawat Hawk MK-53 buatan 1977, dari 8 unit yang ada, hanya dua yang dinyatakan siap atau layak operasi.

Selain itu, sejumlah pesawat angkut Fokker 27 buatan 1975, dari 7 yang ada, hanya 4 yang masih siap terbang.

Bandingkan dengan angkatan udara India yang jumlah pesawatnya saja mencapi 1007 unit dan helikopter sekitar 240 unit. Semuanya dalam keadaan siap operasi.

Pola Ancaman Berpotensi Lemahkan Pertahanan RI di Masa Depan

Keamanan perairan Indonesia nampaknya merupakan ancaman paling serius yang harus dihadapi TNI dalam beberapa tahun mendatang. Angka  perompakan yang terjadi di perairan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, merupakan yang tertinggi di dunia. Terlepas ini memang murni kejahatan di laut atau ada unsur rekayasa negara-negara besar seperti Amerika, agar punya alasan untuk menghadirkan kekuatan militernya di kawasan ini.

Penyelundupan manusia, juga berkaitan dengan ancaman dari laut, karena penyelundupan manusia melalui perairan di kawassan Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara. Penyelundupan manusia juga semakin meningkat.

Australia yang berada di sebelah selatan kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu negara tujuan para imigran gelap. Alhasil, perairan di kawasan Asia Tenggara, termasuk perairan Indonesia, menjadi jalur laut menuju benua tersebut.

Yang juga tak kalah serius sebagai pola ancaman yang berasal dari laut adalah penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kejahatan trans nasional inipun juga melewati perairan Asia Tenggara dan Indonesia.

Sebagai konsekwensinya, kegiatan ilegal ini memiliki aspek politik, ekonomi, dan bahkan melibatkan hubungan keamanan antar-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Karena kejahatan trans nasional ini pada perkembangannya akan mengancam stabilitas keamanan negara tujuan.

GANGGUAN KEAMANAN LAUT

Dengan jumlah lebih dari 17.500 pulau, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dua per tiga dari wilayah Indonesia merupakan wilayah laut dengan garis pantai 81 ribu km serta wilayah ZOO seluas 4 juta km2.

Kegiatan perdagangan dan transportasi internasional melalui Sea Lane of Transportation (SLOT) di perairan Indonesia terus meningkat. Namun, seiring dengan hal itu, potensi ancaman juga meningkat. Antara lain penangkapan ikan secara ilegal, imigran gelap, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam secara ilegal, termasuk pengambilan harta karun, penyelundupan barang dan senjata, serta penyelundupan kayu gelondongan melalui laut.

GANGGUAN KEAMANAN UDARA

Posisi strategis Indonesia sebagai salah satu poros lalu lintas dunia internasional menempatkan Indonesia rawan terhadap berbagai ancaman udara. Isu keamanan udara dengan potensi ancaman di masa depan meliputi ancaman kekerasan (pembajakan udara), sabotase objek vital (teror), ancaman pelanggaran udara (penerbangan gelap dan pengintaian terhadap wilayah Indonesia, ancaman suberdaya (pemanfaatan wilayah udara oleh negara lain), dan ancaman pelanggaran hukum melalui media udara (migrasi ilegal dan penyelundupan manusia).

Untuk mengawasi dan mengamankan wilayah udara dari segala gangguan dan ancaman, Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai kelemahan, antara lain Sumberdaya Manusia, sarana dan prasarana yang diperlukan.

Penulis, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com