Gejolak Mesir: Bukti Kebangkitan Islam dan Runtuhnya Hegemoni Superpower!

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Catatan terdahulu (baca: Mengkaji Gejolak Mesir dari Perspektif Geopolitik Jalur Sutera di www.theglobal-review.com) mengisyaratkan, bahwa menganalisa konflik politik di Mesir dari perspektif manapun sekarang ini, maka akurasinya ibarat ‘menembak sasaran bergerak’. Artinya belum tentu kena. Walaupun kebenaran teori pun sejatinya juga bersifat nisbi dan masih dikategorikan bergerak. Alasan pokok kenapa demikian (“bergerak”), selain turbulensi dan sifat unpredictable pada dinamika politik, juga yang vital ialah ragam informasi akibat kontra opini, penyesatan informasi, dan lain-lain dari berbagai pihak yang bertikai sehingga berpengaruh pada akuratif kajian. Apa boleh buat, edit dan counter berita memang bagian dari metode peperangan. Retorikanya: siapa kini yang menguasai media mainstream di muka bumi?

Pada kesempatan ini, penulis mencoba sedikit insight —- menelusuri data-data di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Kairo, berasal dari sumber-sumber Global Future Institute (GFI) di TKP berbasis fakta lapangan, yang merasakan serta mengalami hiruk-pikuk konflik secara langsung. Kendati akurasinya, sekali lagi — juga masih relatif. Tetapi semoga kali ini, note sederhana ini bisa mendekati kebenaran (akurat). Inilah telaah sederhananya.
Presiden Mesir terguling —Mohamad Morsi— meskipun lahir dari sebuah pemilu demokratis namun sejatinya asli produk Arab Spring hasil “rekaan” Barat. Hal ini perlu disadari bersama. Selanjutnya maksud “Barat” dalam hal ini ialah Central Applied Non Violence Action and Strategic (CANVAS), salah satu anak National Endowment for Democracy (NED). Sedangkan NED itu sendiri ialah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) milik Pentagon yang mendapat dukungan kongres Amerika (AS) kurang lebih USD 100 Juta/tahun, bahkan konon dijuluki sebagai LSM spesial ganti rezim.
Dari berbagai dokumen GFI, Jakarta dan Central Research for Globalization (CRG). Montreal, Kanada, bahwa CANVAS dan NED-lah operator sesungguhnya Arab Spring. Tak bisa dipungkiri. Inilah mapping awal gejolak (politik) massa di Jalur Sutera baik di Tunisia, Yaman, Libya, Syria dan lainnya, kendati gerakan massa tersebut sering diistilahkan smart power atau gerakan asimetris (non militer). Pola ini merupakan unggulan cara kolonialisasi ala Partai Demokrat, yang dimentori oleh Zbigniew Brzezinski. Berbeda dengan Partai Republik yang sering menggunakan hard poweratau simetris (invasi militer). Itulah model-model kolonialisme yang berkembang di muka bumi, sedangkan benang merah “watak” kolonial ternyata tidak berubah sepanjang masa yakni menciptakan pasar seluas-luasnya, mencari bahan baku semurah-murahnya!
Dengan demikian, membaca langkah (kolonialisme) Paman Sam sebenarnya tidak begitu sulit, jika yang berkuasa Demokrat akan cenderung memakai tata asimetris, ketika Republik memegang kendali maka cenderung memainkan cara-cara simetris. Itulah yang sering terjadi. Walau dalam perspektif politik global, tidak boleh dikatakan secara hitam putih seperti itu, sebab kedua pola sering bersinergi, entah bersama-sama atau simultan dengan intensitas berbeda, dan lainnya. Tergantung bagaimana kondisi target di lapangan. Pertanyaan menggelitik: dimana peran Central Intelligence Agency (CIA)?
Ingatkah Alan Weinstein, salah satu pendiri NED? Ini pernyataannya (1991): “banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA”. Tampaknya statement Weinstein boleh dijadikan premis pembuka (tabir). Pertanyaan selidik muncul: apakah manuver NED identik dengan gerakan terselubung CIA? Sekali lagi, beberapa pertanyaan di atas hanya prolog guna melanjutkan catatan ini, tidak perlu jawaban pasti karena sekedar menggiring premis dan asumsi-asumsi, bahwa sesungguhnya tidak ada peristiwa (politik) terjadi kebetulan, niscaya ada proses sebelumnya bahkan by design konseptual. Mungkinkah sebuah manuver politik, entah ia simetris atau asimetris tanpa didahului input intelijen?
Pembahasan keluar sebentar dari materi tetapi masih dalam koridor topik. Ya. Sebuah literatur bertajuk “Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II”-nya William Blum mengungkap fakta, bahwa AS memiliki rekor tertinggi sebagai negara agresor dalam sejarah perang modern. Pasca kemerdekaan tahun 1776-an, ia aktif melancarkan peperangan dan mengobarkan sembilan perang besar. Ada 200-an kali bahkan lebih penyerbuan angkatan bersenjata diciptakan di luar negaranya.
Agaknya karya Blum tersebut belum mengungkap (jujur) “kekalahan” AS dan sekutu dalam perang di Irak dan Afghanistan. Terlalu banyak edit dan counter berita —metode peperangan— mengakibatkan warga dunia lupa mencermati sebab-sebab kekalahan Paman Sam di kedua negara kayak minyak tadi. Betapa perang terpanjang dalam pertualangan Paman Sam —sekitar 10-an tahun— tatkala invasinya di Afghanistan mulai 2001 dan Irak tahun 2003 hingga penarikan pasukan secara bertahap dilakukan awal 2012-an, tetapi tanpa hasil maksimal bahkan kebangkrutan ekonomi justru menganga di depan mata. Inilah yang tak pernah diekspos oleh media mainstream yang rata-rata memang dalam kendali Barat. Sekurang-kurangnya, catatan menonjol abad (XXI) ini sebagai side effectkekalahannya, selain medan Irak dan Afghanistan telah mematahkan teori perang modern —siapa kalah jumlah pasukan dan peralatan tempur, harusnya kalah perang—- juga telah memunculkan dua fenomena menggelegar. Pertama, “kebangkitan Islam” dan fenomena kedua ialah “menurunnya hegemoni superpower”. Itulah fenomena yang kencang bertiup.
Kembali ke konflik Mesir. Analisa Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI perihal gonjang-ganjing tersebut cukup menarik dicermati. Berbasis pola perebutan kekuasaaan di masa silam serta rekam jejak para pejabat yang muncul pasca Morsi tergusur, ia menyimpulkan bahwa sistem politik Mesir sejatinya berada dalam genggam Dewan Jenderal (Junta) meski disamarkan via gelombang (demonstrasi) massa. Kuatnya cengkeraman militer Mesir terlihat, ketika mendorong Ketua Mahkamah Konstitusi Adli Mansour tampil sebagai Presiden Mesir. Sosok Mansour adalah potret teknokrat hukum dan sengaja ditampilkan karena niscaya naluri (kepatuhan) struktural lebih dominan daripada insting politis sehingga cenderung tunduk kepada kekuatan-kekuatan yang secara riil (de facto) memegang kekuasaan. Pertanyaannya: apakah kasus Mansour selaku “boneka”-nya Junta merupakan contoh preseden daripada “Monsour-Monsour” sebelumnya? Lagi-lagi, ini juga retorika.
Adanya bantuan setiap tahun dari Amerika terhadap militer Mesir sebesar USD 1,5 Miliar menimbulkan praduga —no free lunch— bahwa siapapun presiden yang naik hanyalah “wayang” belaka, karena “dalang”-nya adalah Junta, sementara “pemilik hajatan”-nya tetap Washington. Ya, wayang akan tergantung dalang, dalang pun terserah kehendak pemilik hajatan tentang lakon dan peran apa yang akan digelar. Asumsi ini (sementara)-lah yang sekarang liar berputar di langit-langit Negeri Piraminda. Benarkah demikian? Kiranya masih perlu pendalaman.
Lain Hendrajit, lain pula Mahdi Darius Nazemroaya, peneliti dari CRG, Kanada. Ia mengisyaratkan bahwa konflik Mesir tak lepas dari permainan “politik dua kaki” ala Paman Sam. Dari aspek taktis misalnya, konflik di Mesir bukanlah false flag sebagaimana yang lazim ia dilakukan, tetapi mengambil sisi lain political leveraging (politik pemanfaatan). Jika false flag seolah-olah bekerja sama namun sesungguhnya bekerja untuk musuh, sedang politik dua kaki (pemanfaatan) intinya memanfaatkan masing-masing pihak yang bertikai tetapi diakhir pagelaran memihak pada pemenang. Hipotesa Mahdi atas gejolak di Mesir, bahwa Washington meremote (mengendalikan) Junta di satu sisi, namun men-support pula Morsi dan Ikhwanul Muslim (IM)-nya pada sisi lain. Apakah demikian adanya? Juga masih butuh penajaman.
Sumber  GFI di Khairo menyebut, bahwa bantuan AS kepada militer tak lepas dari persyaratan ketat yang mutlak dipenuhi. Misalnya, sejumlah USD 1,3 Miliar US harus dibelanjakan untuk peralatan militer ke pasar industri senjata, AS, sehingga secara tak langsung selain dollar pun kembali, juga sebenarnya ia mengontrol militer Mesir baik melalui capacity building, pelatihan, pendidikan dan lainnya. Sementara sisa budget (USD 200 Juta) baru dibelanjakan sesuai aspirasi dan keinginan militer Mesir. Apakah dari fakta ini masih akan timbul “loyalitas” Junta kepada Washington? Entahlah.
Data menarik lain, ternyata Junta tidak sendirian ketika melakukan kudeta oleh karena kelompok oposisi dari berbagai latar (nasionalis, demokrasi dan kelompok “kiri”) pun bersinergi bersamanya. Ada tebaran rumor di Kairo dan sekitarnya, khususnya di kalangan oposisi bahwa Morsi selama ini cuma dianggap Presidennya IM, bukan Presiden Mesir. Sekali lagi, Morsi itu produk Arab Spring bikinan Barat cq NED yang didesain melalui demonstrasi besar-besaran rakyat yang kala itu dimotori oleh IM.
Menyimpang sejenak dari materi namun masih dalam koridor topik. Tampaknya, para anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang selama ini dalam kendali Paman Sam malah mendukung (kudeta) tindakan Junta di Mesir. Adanya berbagai bantuan kelompok GCC kepada Mesir justru diberikan setelah Morsi tergusur. Inilah circumstance evidence. Saudi Arabia misalnya, telah menyetujui paket bantuan senilai USD 5 Miliar bagi Mesir terdiri atas USD 2 Miliar untuk deposito Central Bank Deposit, USD 2 Miliar dalam bentuk energi dan sisanya cash money senilai USD1 Miliar. Hal ini disampaikan sendiri oleh Menteri Keuangan Saudi Arabia (10/7/2013).
Uni Emirat Arab (10/72013) juga menyetujui bantuan kepada Mesir senilai USD 1 Miliar dan pinjaman lain senilai USD 2 Miliar. Demikian pula Kuwait (11/7/2013),  ia menyediakan paket bantuan USD 4 Miliar meliputi deposito sebesar USD 2 Miliar di Central Bank, paket hibah USD 1 Miliar dan USD 1 Miliar dalam bentuk minyak. Pertanyaan menarik timbul: kenapa kelompok GCC beramai-ramai mendukung Junta dan meberikan bantuan pasca Morsi tergusur, bukankah Morsi itu produk Arab Spring yang notabene hasil “kerja” Barat cq NED dan CANVAS?
Dari aspek internal menilai, setidaknya setelah sekian waktu pasca Mobarak tumbang selain tidak ada perubahan yang berarti juga tidak terdapat program nyata demi “kemajuan” Mesir. Kecenderungan yang muncul justru Morsi membesarkan kekuasaannya. Pada 17 Juni 2013 kemarin contohnya, ia menerbitkan Keppres gerakan konservatif merombak pimpinan daerah di sejumlah provinsi. Ada 17 gubernur baru. Gerakan ini  mencakup perubahan konservatif di Alexandria, Port Saed, Ismailia, Matrouh, Fayoum, Beni Suef, Qena, Luxor, Aswan, Laut Merah, Al Bahera, Qalyubia, Menoufia dan Dakhelia. Menurut sumber GFI di Kairo, dari formasi baru tersebut terdapat 7  gubernur berasal dari IM, sedang lainnya meski bukan dari IM tetapi merupakan simpatisan dan loyalis Morsi. Sementara di sisi lain, IM dikenal arogan, tidak mau bekerja sama dengan elemen lain bahkan cenderung ingin “menang sendiri”. Perilaku ini sudah tentu menimbulkan kegaduhan sosial politik di Mesir pada khususnya, termasuk juga kekhawatiran Dunia Arab pada umumnya. Kasus lebih spesifik misalnya, bahkan mesjid-mesjid Salafi dan Al Azhar pun hendak dikuasai oleh IM.  Luar biasa. Itulah atmosfir yang berkembang di Mesir sebelum Morsi dijungkalkan oleh Junta.
Sampailah pada akhir tulisan ini. Dengan segala keterbatasan kemampuan dan wawasan yang ada, penulis mencoba menarik kesimpulan atas konstalasi yang terjadi di Mesir saat kini. Pertama, bahwa kudeta oleh Junta yang didukung oposisi terhadap Presiden Morsi di tengah ribuan massa berhari-hari, telah dianggap tepat oleh mayoritas rakyat Mesir dan sebagian Dunia Arab guna menghindari semakin banyak jatuh korban. Kedua, bahwa tindakan Junta atau Dewan Militer dalam gejolak politik di Mesir dengan ‘menurunkan’ Morsi adalah diluar kontrol dan terlepas dari skenario Washington. Sekali lagi, bahwa tindakan junta kali ini benar-benar di luar kontrol Wasington. Inilah bukti nyata atas dua fenomena yang menguat saat ini yakni KEBANGKITAN ISLAM dan MENURUNNYA HEGEMONI SUPERPOWER!
Terimakasih.
Bacaan dan Link:
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com