“Geopolitik Salah Kamar”

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik tentang Surat Penangkapan Putin oleh ICC
Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC), mengumumkan pada Jumat (17/3/2023), bahwa pihaknya telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin atas tuduhan kejahatan perang mendeportasi anak-anak Ukraina secara tidak sah. ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Maria Lvova Belova, Komisaris Kepresidenan Rusia dengan tuduhan serupa.
Kremlin merespon tuduhan ICC, bahwa surat perintah penangkapan itu batal secara hukum. Moskow tidak mengakui yurisdiksi pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda.
Rusia, seperti sejumlah negara lain, tidak mengakui yurisdiksi pengadilan ini dan dari sudut pandang hukum, keputusan pengadilan ini (ICC) batal,” kata Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, dikutip AFP, Jumat (17/3). Rusia bukan anggota ICC. Bukan pula pihak dalam Statuta Roma 2002.
Namun, itu baru dari satu sisi — pihak Rusia. Sisi lainnya, pihak Barat cq Jaksa Agung Ukraina, Andriy Kostin, menyebut bahwa surat ‘perintah penangkapan bersejarah’ untuk Putin — itu baru permulaan. “Dunia menerima sinyal bahwa rezim Rusia adalah kriminal dan kepemimpinan serta antek-anteknya akan dimintai pertanggungjawaban. Ini adalah keputusan bersejarah bagi Ukraina dan seluruh hukum internasional,” ujar Kostin.
Berbasis isu-isu di atas, geopolitik menilai, bahwa pro kontra tersebut bakal menjadi ‘warna lain’ dalam konflik Ukraina yang secara hakiki ialah pertempuran antara Rusia versus Barat dalam hal ini Amerika (AS), Inggris dan NATO. Kendati Rusia belum resmi menyatakan perang, namun baru sebatas operasi militer khusus.
Judulnya: “Satu negara/Timur melawan 20-an negara Barat jago perang plus AS dan Inggris dengan memilih lokasi tempur (proxy war) di Ukraina.”
Bagaimana geopolitik melihat fenomena ini?
Singkat narasi, surat penangkapan oleh ICC merupakan bentuk keputusan hukum yang ‘salah kamar’. Kenapa demikian, karena Rusia tidak pernah meratifikasi Statuta Roma meski ikut menandatangani. Statuta Roma 2002 itu mengatur tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mempunyai kewenangan untuk mengadili kejahatan serius antara lain kejahatan genosida (pembunuhan massal), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Maka, seperti halnya Ukraina, juga Indonesia —contoh negara yang belum meratifikasi— Rusia bukanlah bagian Statuta Roma State Party alias bukan anggota ICC. Jadi, jangankan surat penangkapan, gugatan terhadap Putin pun seharusnya gugur di awal tuntutan.
Agaknya, isu ICC di level global hampir mirip dengan isu lokal/nasional yang kini tengah menjadi trending topic di publik yakni keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) perihal Penundaan Pemilu 2024.
Isu penundaan pemilu ala PN Jakpus nyaris identik dengan keputusan ICC terhadap Putin yang sifatnya ‘salah kamar’. Kedua kasus di atas, dalam perspektif hukum disebut “NO” alias Niet Ontvankelijke Verklaard. NO adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Itu tadi, ‘salah kamar’ — karena bukan ranah (yurisdiksi)-nya. Sekali lagi, dalam lingkup NO — jangankan putusan, menggugat pun tidak sah. Gugatan tak dapat diterima karena bukan yurisdiksi.
Untuk isu-isu di atas, Menko Polhukam RI, Prof Mahfud MD, membuat analogi pas pada kasus ‘NO’-nya PN Jakpus: “Ibarat pengadilan militer memutus kasus perceraian”.
Selanjutnya, ketika isu ‘salah kamar’ mencuat di ruang publik —seyogianya batal dengan sendirinya— namun tatkala terus dilanjutkan baik secara yuridis (ada banding pihak tergugat), dan secara substansi terdapat pihak-pihak yang membenarkan putusan dimaksud, sesungguhnya ranah (kamar)-nya telah bergeser. Dengan kata lain, bukan lagi kamar yuridis formal sebagaimana lazimnya, namun berpindah ke wilayah (geo) politik.
Tak dapat dipungkiri, isu NO pada putusan PN Jakpus telah masuk dalam area politik praktis. Ya. Bagaimana meraih, merebut, dan mempertahankan kekuasaan; sedang isu (yuridis) “NO”-nya ICC tentang surat penangkapan Putin, telah berubah menjadi (geo) strategi Barat melalui modus men-stigma lawan politik alias negara target dalam rangka memperoleh dukungan internasional.
Mundur sejenak. Ya. Meskipun tidak identik, isu NO ala ICC seperti perulangan isu senjata pemusnah massal di Irak era Saddam Hoesein dulu (2003), dan/atau isu teroris al Qaeda di Afghanistan (2001). Karena di situ, sebuah isu hanyalah sekadar pintu pembuka untuk memuluskan agenda lain yang hendak digulirkan.
Jika agenda pasca isu teroris al Qaeda ialah penyerbuan koalisi militer Barat pimpinan AS ke Afghanistan; apabila agenda setelah isu senjata pemusnah massal adalah keroyokan militer Barat ke Irak; entah apa agenda Barat usai Putin distigma sebagai penjahat perang?
Let them think let them decide.
Inilah cerita pendek (cerpen) tentang ‘salah kamar’ yang kerap berlangsung baik di level global maupun di tingkat lokal. Dan kedua fenomena dimaksud, dari sudut geopolitik disebut dengan istilah ‘anarkhisme global’ atau boleh juga sebagai modus geostrategi atas nama survival of the fittest.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com