Ada indikasi yang semakin kuat bahwa pihak kedutaan besar Ukraina di Indonesia secara gencar melancarkan aksi diplomatik melobi berbagai elemen masyarakat sipil, organisasi masyarakat berbasis agama terutama Islam, maupun para pimpinan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) serta beberapa pimpinan partai politik seperti Partai Amanat Nasional (PAN) maupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Melalui aksi melobi para tokoh masyarakat maupun tokoh politik tersebut bertujuan untuk membangun sentimen anti-Rusia atau Russia-phobia di kalangan masyarakat Indonesia terkait Konflik Rusia-Ukraina. Adapun modus yang digunakan antara lain melalui pendekatan pada beberapa perorangan tokoh yang nantinya diharapkan mampu mempengaruhi keputusan kolektif secara organisatoris. Sekadar ilustrasi, kunjungan delegasi Ukraina ke Muhammadiyah dapat kita baca sebagai adanya indikasi kuat aksi diplomatik Ukraina lewat sarana people to people basis untuk mempengaruhi para tokoh masyarakat dan politik Indonesia sehingga lebih condong memihak Ukraina alih-alih Rusia.
Situs berita sindonews dalam berita yang dilansir pada 7 Februari 2023 lalu misalnya, Alim Aliev, seorang aktivits HAM sekaligus Wakil Direktur Jenderal Institut Ukraina, mengadakan kunjungan ke organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, menemui Profesor Syafiq A Mughni, Kepala Bidang Kerjasama dan Hubungan Internasional Muhammadiyah dan Yayah Khisbiya, Sekretaris Badan Kerjasama Internasional Muhammadiyah.
Baca: Delegasi Ukraina: Alhamdulillah Indonesia Konsisten Dukung Perjuangan Kami
Yang perlu digarisbawahi sini, isu HAM yang dengan sengaja dimainkan sebagai alat politik menggalang dukungan. Sebagaimana klaim yang disampaikan Aliev kepada kedua pengurus teras Muhammadiyah tersebut, yang menjadi korban utama perang di Ukraina adalah Muslim Tatar Crimea karena dituduh sebagai terlibat aksi terorisme.
Yang tak boleh luput dari sorotan kita, Aliev dalam pertemuan dengan Prof Syafiq A Mughni dan Yayah Khisbiya, didampingi oleh Dr Olexiy Haran, Profesor Studi Perbandingan Politik dari National University of Kyiv-Mohyla Academy (UKMA). Nampak jelas bahwa pihak Ukraina berupaya membentuk opini adanya penindasan tentara Rusia terhadap Muslim Tatar Crimea. Aspek politik internasional yang memantik krisis Ukraina-Rusia telah dialihkan menjadi isu HAM. Dengan demikian, modus operandi untuk melancarkan propaganda hitam terhadap Rusia, AS dan blok Barat menerapkan metode klasiknya yaitu politisasi HAM.
Nampak jelas bahwa melalui manuver Alim Aliev maupun Prof Olexiy Harran, pihak Ukraina sedang melancarkan politisasi agama dengan membangun kesan atau citra bahwa Muslim Tatar Crimea merupakan korban pelanggaran hak-hak asasi manusia akibat aksi militer Rusia ke Ukraina.
Namun demikian, manuver Aliev dan Haran hanya salah satu episode dari manuver diplomatik yang dilancarkan Ukraina dalam upaya melobi berbagai elemen masyarakat di Indonesia melalui diplomasi berbasis people to people.
Pada 10 Februari 2023 lalu, delegasi Ukraina yang terdiri dari perwakilan dari pejabat Ukraina dan kalangan elemen sipil telah mengadakan lawatan ke Indonesia. Delegasi Ukraina itu antara lain Direktur Departemen Kerjasama Internasional Kamar Dagang dan Industri Ukraina (UCCI) Anna Liubyma, Pakar dari Pusat Komunikasi Strategis (CSC) Liubov Tsybulska, Prof Olexiy Haran serta Alim Aliev.
Baca:
Delegasi Ukraina Sampaikan Pesan Damai ke Indonesia
Lagi-lagi ini merupakan indikasi kuat bahwa Ukraina sedang melancarkan aksi pembentukan opini yang membenarkan posisi dan sikapnya sendiri dalam konflik Ukraina-Rusia, seraya menyudutkan Rusia pada posisi sebagai antagonis. Terbukti bahwa selama lawatan selama seminggu di Indonesia, delegasi Ukraina telah mengadakan lebih dari 30 pertemuan, termasuk dengan beberapa politisi DPR-RI, Think-Thank/lembaga kajian maupun beberapa organisasi kemasyarakatan dari kelompok Muslim seperti Muhammadiyah.
Meskipun sampai sejauh ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum menyatakan sikapnya secara organisatoris, namun mantan Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria, Bunyan Saptomo yang kebetulan saat ini menjabat Ketua Komisi Luar Negeri (KHLN MUI), telah membuat pernyataan yang bisa ditafsirkan mewakili juga sikap KHLN MUI.
Dalam keterangannya Bunyan Saptomo menegaskan bahwa Muhammadiyah mengutuk keras penargetan Rusia terhadap warga sipil, penghancuran masjid, gereja, rumah sakit dan sekolah di Ukraina. Meski konteks pernyataan Dubes Samptomo lebih menyuarakan sikap Muhamadiyah, namun oleh karena kapasitasnya juga sebagai Ketua KHLN MUI, maka pernyataan tersebut bisa dibaca sebagai ekspresi sikap MUI juga.
Menurut hemat saya, manuver delegasi Ukraina dengan melibatkan para aktivis HAM dan elemen perguruan tinggi sebagaimana terbukti melalui aksi Aliev dan Haran melobi berbagai elemen civil society dan politisi partai Indonesia, menggambarkan betapa para elit masyarakat dan politik Indonesia masih kurang informasi dan tidak punya kerangka analisis yang tepat dalam membaca konstelasi di Ukraina sebelum maupun saat meletusnya krisis Ukraina-Rusia. Selain itu, tidak lepas dari pengaruh dua tokoh Indonesia yang dikenal pro Amerika Serikat yaitu mantan Duta Besar Indonesia di AS Dino Patti Djalal dan mantan Duta Besar Indonesia di Ukraina, Yudi Chrisnandi.
Khusus berkaitan dengan Dino Patti Djalal, yang juga mantan wakil menteri luar negeri dan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), sulit dibantah merupakan mantan diplomat RI yang dikenal sangat pro AS dan bahkan sedemikian rupa pemihakannya kepada Washington, sehingga secara frontal menyerang Rusia secara terbuka dengan meminta Jokowi agar tidak menerima dana dari Rusia ketika dalam pertemuannya dengan Jokowi, Putin sempat menunjukkan minatnya untuk ikut investasi dalam Pembangunan IKN di Kalimantan.
Adapun Yudi Chrisnandi selain mantan dubes RI di Ukraina, juga merupakan politisi Golkar yang dekat dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Begitu pula Ketua MPR Bambang Susetyo. Maka adanya indikasi bahwa Dino Patti Djalal maupun Yudi Chrisnandi ikut memainkan peran penting dalam membuka pintu bagi delegasi Ukraina bertemu para tokoh masyarakat sipil dan politisi partai Indonesia, maka para tokoh masyarakat sipil maupun para politisi partai tersebut sadar atau tidak telah masuk dalam skema propaganda hitam AS dan blok Barat.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi harus kembali berpedoman pada Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif. Dan segera mendesak berbagai tokoh dari kalangan elemen masyarakat (civil society) maupun politisi partai di DPR-RI, agar menegaskan sikapnya yang sehaluan dengan sikap resmi yang diambil pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Luar Negeri.
Presiden Jokowi agar memberikan arahan kebijakan yang jelas terutama kepada Kementerian Luar Negeri, bahwa dengan berpedoman pada azas politik luar negeri yang bebas dan aktif, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri, agar mengingatkan para tokoh masyarakat sipil Indonesia agar tidak begitu saja bersedia dimanfaatkan untuk terlibat dalam konflik global antara AS dan NATO versus Rusia dan Cina. Sehingga dengan menyudutkan Rusia tanpa mempelajari secara mendalam terlebih dahulu latarbelakang meletusnya konflik Ukraina-Rusia, elemen-elemen masyarakat sipil Indonesia larut dalam konflik global antar negara-negara adikuasa. Dan masuk dalam skenario kepentingan NGO-NGO asing yang berafiliasi dengan funding-funding internasional yang pro AS dan Uni Eropa.
Apalagi kalau mempelajari secara seksama regime change atau aksi melengserkan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich pada 2014 yang didukung oleh AS dan Uni Eropa dan kemudian kekuasaan beralih kepada Presiden Viktor Poroshenko, maka sejak itu Ukraina praktis merupakan perpanjangan tangan (proxy) dari kebijakan luar negeri AS dan blok Barat.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)