Matahari pagi menyapa dengan hangat pada Sabtu 12 September lalu, saat wawancara berlangsung bersama dengan Rusman secara tatap muka ,di kantor Global Future Institute (GFI) Wisma Daria, Jakarta Selatan.
Rusman, di usianya yang jelang 50 tahun ini, masih terlihat lebih muda daripada usianya, dan terkesan enerjik dan antusias, ketika menerima Nesya Aulia (mahasiswi Universitas Binus yang sedang Pelatihan Kerja Lapangan di GFI) dengan penuh keakraban dan hangat.
“Untuk anak seumuranmu, sepertinya kamu ini cerdas dan lugas ya orangnya,” cetus Pria kelahiran Juli 1972 ini sembari tersenyum lebar dan penuh canda, setelah 2 jam wawancara yang serius namun diselingi canda-tawa tersebut usai sudah. Rusman, yang sudah bergabung dengan GFI bersama Hendrajit sejak awal berdirinya hampir 13 tahun yang lalu, saat ini menjabat Direktur Pengelolaan Bisnis/Bussiness Development dan Information Technology.
Berikut adalah hasil obrolan selengkapnya:
Selama masa kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional kegiatan Pak Rusman kira-kira apa saja ya?
Ada beberapa kegiatan selama di kampus. Saya hobi olahraga seperti sepak bola dan hiking. Saya juga ikut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta Koordinator Komisariat Universitas Nasional, seperti lembaga kemahasiswaan diluar kampus, dengan kecenderungan bernuansa Islam. Di HMI untuk menjadi anggota HMI awalnya harus mengikuti latihan dasar kepemimpinan satu atau di sebut basic training, kemudian latihan tahap dua atau advance training. Saya pribadi baru mengikuti sampai tahap dua, dan tahap tiga biasa untuk menjadi pimpinan pengurus HMI di tingkat nasional.
Kegiatan lainnya yang saya ikuti di lembaga luar kampus adalah Yayasan Abu Dzar Al-Ghiffari. Kegiatan selama di yayasan tersebut diantaranya adalah kegiatan sosial dan kajian kebangsaan. Selama enam tahun di lembaga tersebut membuat lembaga lain. Selain itu beserta kawan-kawan yang hobi mendaki, mendirikan lembaga pecinta alam.
Kegiatan setelah lulus kuliah?
Tiga bulan setelah lulus, ada ajakan dari Bapak Eros Djarot (Budayawan pemusik, sutradara film, dan pemilik surat kabar Tabloid Detik yang kemudian berubah nama jadi Tabloid Detak), untuk bergabung dengan media Detak. Di tabloid ini saya diamanahkan untuk menangani rubrik lingkungan hidup. Kenapa lingkungan hidup?
Karena pernah mengikuti lomba mengenai lingkungan hidup dan alhamdulillahnya, masuk kedalam sepuluh besar. Jabatan terakhir di Detak pada saat itu, saya sebagai redaktur lingkungan hidup dan budaya pada tahun 2001. Hingga akhirnya saya bekerja di perusahaan IT dan membangun usaha sendiri di bidang IT juga. Kemudian saya bergabung dengan GFI bersama mas Hendrajit.
Mungkin bisa ceritakan sedikit bagaimana bisa gabung di GFI?
Pada tahun 2007 menjelang 2008, mas Hendrajit mencoba kontak saya dan meminta saya untuk membuat website GFI, The Global Review, hingga akhirnya diminta bergabung sebagai pengelola website. Bergabung pada saat kantor GFI sudah berkantor di Wisma Daria pada tahun 2008. Menurut saya mas Hendrajit juga selektif dalam memilih anggota tim, namun dalam artian menurut pandangan saya, mas Hendrajit butuh orang kepercayaan yang dapat mendukung kinerja GFI. Namun dengan menyesuaikan passion (hasrat dan minat khusus pada masing-masing orang).
Sebab percuma kalau cuma trampil dan berkecakapan saja, kalau dari dalam tidak ada yang namanya passion. Kan ada pepatah lama bilang: Ada beda antara bisa mengerjakan, dan punya energi dan minat untuk melakukannya. Seperti saya misalnya, mas Hendrajit pasti sudah mengamati passion saya memang di Lingkungan Hidup.
Passion saya di bidang lingkungan hidup, minat khusus itu sudah terpupuk sejak saya sering hobi naik gunung atau ikut kegiatan pecinta alam sewaktu di kampus. Nah kebetulan, lingkungan hidup adalah termasuk isu strategis bidang internasional. Maka jadinya klop lah saya gabung di GFI.
Apa hal utama yang membuat bapak terkesan atau tertarik dengan GFI sebelum bergabung di GFI?
Sebetulnya, GFI merupakan lembaga yang luar biasa! Kenapa? Karena berdasarkan apa yang saya lihat jika dikaitkan dengan konteks pandangan dunia, Indonesia sebetulnya sering disorot dengan negara lain, bisa dalam hal letak geografisnya yang strategis, kaya kandungan sumberdaya alamnya, dan sebagainya. Atau bisa dibilang “ditakuti” oleh berbagai negara di dunia. Termasuk di kawasan Asia Tenggara. Namun, ada sesuatu yang spesial atau khas dari GFI. Menurut saya baru GFI sebagai lembaga kajian atau think-thank yang bisa mewadahi suatu cara pandang maupun dalam kerangka analisisnya dalam melihat perkembangan dunia.
Maksudnya itu Pak?
Dalam berbagai seri seminar dan dialog yang diprakarsai dan diselenggarakan oleh GFI, kita selalu menegaskan bahwa pemerintah dalam bersikap maupun mengeluarkan pendapat dalam menyikapi berbagai perkembangan dunia internasional, maupun konflik global antarnegara adikuasa yang berlangsung seperti saat ini, harus bisa memposisikan diri secara tepat atas dasar kepentingan nasional kita sendiri.
Maka dari itu, bagi saya pribadi GFI merupakan lembaga yang luar biasa! Hal tersebut dapat dilihat dari kajian yang disampaikan oleh GFI itu sebagai lembaga kajian internasional, meskipun terdapat kajian politik namun disajikan juga aneka isu internasional termasuk kajian lingkungan hidup dimana pada bidang tersebut saya dipercaya oleh mas Hendrajit.
Jika ditinjau dari visi GFI, sebagai think-thank dalam memantau perkembangan dunia atau trend global selalu kita kaitkan dengan azas politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Artinya, dalam memetakan kawan maupun musuh, kita harus bertumpu dan berpedoman pada kepentingan nasional RI.
Selain dari itu, tanpa mengurangi rasa hormat kami pada lembaga-lembaga kajian lainnya, dalam analisis dan ulasannya GFI tidak pernah terpaku pada hubungan antar negara atau G to G sebagai subyek kajian internasional. Karena ada peran dari balik layar yang seringkali lebih menentukan arah kebijakan pemerintahan suatu negara. Bisa korporasi atau perusahaan multinasional, bisa juga organisasi lobi seperti Lobi Yahudi di Amerika. Atau peran balik layar dari jaringan kekuatan modal berskala global seperti the Overseas China atau di sini populer dengan sebutan taipan.
Menurut bapak sendiri, apa yang khas dari GFI apakah sebagai lembaga think-tank atau seperti lembaga apa misalnya?
Ya, benar! Menurut saya GFI merupakan lembaga think-tank yang bisa diambil manfaatnya oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan atau policy maker. Dalam kalimat yang saya maksud, GFI merupakan lembaga kajian strategis berlingkup internasional.
Suasana seperti apa yang Bapak rasakan selama di GFI? atau justeru terdapat coorperate culture yang di bangun?
Kalau suasana sepertinya saya banyak belajar dari mas Hendrajit dan mas Arief Pranoto dan kawan-kawan GFI lainnya, saya pikir suasananya cukup membangun, ada rasa saling membesarkan, itu lah yang terpenting!
Dalam suatu komunitas, seperti kami (kawan-kawan GFI) saling mengisi ketika ada suatu kekurangan dari satu sama lain. Mengapa? Karena dalam sebuah organisasi meskipun ada leader, seperti mas Hendrajit perlu ditopang oleh kawan-kawan lainnya. Tetapi meskipun kawan-kawan GFI memiliki pekerjaan masing-masing juga, teknologi kami gunakan sebagai sarana dan perangkat membangun koordinasi.
Strategi apa yang bapak bangun dalam memajukan GFI?
Ya, strateginya mudah, seperti membangun kemitraan dengan beberapa lembaga, seperti kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Pertahanan dan Keamanan. Terkait ini, mas Hendrajit juga sering hadir sebagai narasumber, tidak hanya itu, di Badan Intelijen Strategis (BAIS) mas Arif Pranoto pernah menjadi narasumber. Dan terakhir, di SESKO TNI Bandung sebulan yang lalu mas Hendrajit sebagai pembicara tentang Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru. Dan masih banyak yang lainnya lagi dalam membangun kemitraan antara GFI itu dengan berbagai instansi pemerintah maupun berbagai komponen bangsa.
Sepertinya, membangun kemitraan merupakan strategi yang terpikirkan kemudian. Yang penting asal visi dan misinya satu jalan dan jelas. Adapun strategi kami (anggota GFI) dalam strategi yang dibangun, seperti menyebar luaskan kajian GFI ke berbagai kepentingan, seperti ke pemerintah, media massa, dan komunitas lainnya dalam hal memberi statement mengenai suatu isu tertentu.
Kebetulan yang saya abaca mengenai profil GFI, telah dirintis tahun 2007, Pak Hendrajit masih bertahan dan bisa dikatakan hampir seumuran GFI, bagaimana itu bisa terjadi? Berdasarkan pandangan bapak.
Saya pikir hal tersebut dapat terjadi karena adanya konsistensi dari Mas Hendrajit itu sendiri. Menurut saya, sifat kosisten itu menjadi modal penting dan utama dan pikir saya karena mas Hendrajit memiliki visi juga itulah menjadi satu diantara alasan dapat bertahan hingga saat ini. Juga dari dahulu mas Hendrajit sejak dahulu sebagai pengamat hingga nama ‘Hendrajit’ dapat muncul banyak ketika membuka laman google dan tahu banyak hal. Jika dikaitkan dengan GFI, ia juga mengetahui betul mengenai perkembangan dunia.
Kehangatan seperti apa yang bapak rasakan di GFI?
Ya.. kalau bicara mengenai kehangatan, jika dilihat kembali, hubungan saya dengan Mas Hendrajit sudah seperti adik dan kakak, hal tersebut juga setara dengan mas Arif Pranoto sudah dianggap sebagai abang dan senior saya, hingga hubungan kolegial kami sifatnya informal. Jadi kalau sudah bertemu, bukan mengobrolkan hal-hal strategis terkait kajian saja, melainkan mengobrolkan hal-hal ringan namun menarik lainnya. Bahkan hal-hal di luar konteks GFI pun kami obrolkan. Meskipun setiap anggota GFI tersebar luas, namun keakraban masih dapat dirasakan melalui Whatsapp Grup yang terkadang masih suka aktif.
Kalau dilihat dari biodata, Pak Hendrajit dan Pak Rusman pernah di dunia jurnalisme, buat saya ini menarik, apa yang relevan buat jurnalisme dan GFI?
Sebetulnya, jurnalisme dalam kajian-kajian internasional maupun geopolitik sangat relevan bagi kita di GFI! Jika berkaitan dengan GFI, tentunya, saya dan Mas Hendrajit memiliki jaringan yang luas karena berdasarkan latar belakang sebagai jurnalis. Karena kerja di GFI kebanyakan akan lebih sering menulis mengenai sebuah pandangan selain kajian-kajian lainnya. Namun, bagi saya pribadi jurnalisme sudah mendarah-daging sejak di bangku kuliah karena, sering saya anggap dosen sebagai narasamber.
Apa bergabung di GFI dengan gaya jurnalisme itu penting?
Hmm.. tidak terlalu penting, namun jika kawan-kawan jurnalis ingin bergabung, berarti sudah punya modal dalam menulis. Selain itu, GFI juga memiliki media yang diterbitkan empat bulan sekali dalam satu tahun. The Global Review Quaterly.
Bagi saya pribadi, jurnalisme memiliki nilai tambah tersendiri. Namun, apapun keahlian dan kecakapan yang dimiliki para staf dan pengurus GFI, yang penting memiliki visi dan misi yang selaras dengan GFI. Buat saya itu yang penting.
Untuk kerjasama dengan instansi pemerintah seperti kemlu, kemhan dan lemhanas, apa ide bapak utk bidang pengembangan bisnis?
Untuk instansi pemerintah seperti Kemlu, Kemhan dan Lemhanas atau intansi pemerintah lainnya, Global Future (GFI) akan membangun program kerjasama kemitraan yang kiranya jauh lebih strategis dan bersifat jangka panjang.
Bapak punya ide gimana GFI jalin kerjasama dengan perguruan tinggi?
Hal yang perlu diperhatikan adalah Perguruan Tinggi memiliki nilai strategis bagi GFI untuk menyosialisasikan visi dan misi GFI. Untuk Perguruan Tinggi program yang bisa dilakukan pada dasarnya sama dengan apa yang akan dilakukan dengan instansi pemerintah tadi. Kongkritnya, program yang bisa dikerjasamakan dengan Perguruan Tinggi adalah membuat kelas terbatas kepada mahasiswa/mahasiswi untuk tema Geopolitik-Geostrategi-Geoekonomi. Kelas terbatas ini utamanya bagi mahasiswa/mahasiswi jurusan Hubungan Internasional atau mahasiswa/mahasiswi dari disiplin ilmu lainnya yang minat dengan isu-isu global dan geopolitik.
Pertanyaan terakhir, 11 Oktober sudah semakin dekat, lantas apa saja harapan bapak pada GFI untuk kedepannya?
Seperti keinginan kami pada awal lembaga ini kami rintis pada 2007 lalu, GFI kami proyeksikan menjadi lembaga think-tank yang kuat baik itu secara operasional seperti pendanaan pada program kerja serta semakin berkembang jangkauan kemitraan GFI, baik secara nasional maupun internasional. Ada harapan kantor juga bisa lebih besar dan struktur organisasi semakin baik, manajerial juga semakin baik. Tidak hanya itu, saya juga memiliki harapan bahwa GFI dapat seperti CSIS sebagai lembaga ‘disegani’ sebagai tempat pemikir dan paling utama adalah adanya regenerasi.