Indonesia Perlu Pastikan Tegaknya Hukum Internasional di Kawasan

Bagikan artikel ini

Melihat perkembangan terkini di Laut China Selatan, di mana China harus bersitegang dengan negara-negara tetangga yang lebih kecil dalam berbagai sengketa teritorial terkait pulau, terumbu karang, dan laguna.

Perairan tersebut merupakan jalur pelayaran utama untuk perdagangan global dan kaya akan ikan serta kemungkinan cadangan minyak dan gas.

Sebuah kapal patroli Indonesia berhasil menghalau kapal penjaga pantai China yang menghabiskan hampir tiga hari di perairan di mana Indonesia mengklaim hak ekonomi dan berada di dekat bagian paling selatan dari klaim Laut China Selatan yang disengketakan.

“Kami meminta mereka untuk pindah karena itu Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Tetapi mereka bersikeras bahwa itu adalah wilayah sembilan garis putus-putus China. Petugas kami di kapal berdebat dengan mereka sampai mereka pindah, ”kata Aan Kurnia, Kepala Badan Keamanan Laut Indonesia.

“Kapal penjaga pantai China akhirnya meninggalkan Laut Natuna Utara pada Senin pukul 11:20,” katanya.

Sembilan garis putus-putus” China menggambarkan klaimnya atas hampir seluruh Laut China Selatan. Putusan arbitrase internasional tahun 2016 yang melibatkan Filipina membatalkan sebagian besar klaim China di laut, tetapi China telah mengabaikan keputusan tersebut.

Sementara itu, China juga membanjiri Selat Taiwan di ujung utara Laut China Selatan dengan pesawat tempur selama dua hari pekan lalu dalam sebuah latihan militer dan sebagai upaya nyata untuk mengintimidasi demokrasi pulau yang berpemerintahan sendiri yang diklaimnya sebagai wilayahnya sendiri.

Latihan militer itu diatur waktunya bertepatan dengan kunjungan pejabat senior AS ke Taiwan untuk berunding dan menghadiri upacara peringatan bagi mantan Presiden Taiwan Lee Teng-hui, yang memimpin transisi pulau itu menuju demokrasi penuh dalam menghadapi ancaman China.

Kementerian pertahanan China mengatakan pesawat-pesawat itu, termasuk 32 pesawat tempur dari berbagai jenis, empat pembom dan satu pesawat perang anti-kapal selam, melintasi zona identifikasi pertahanan udara Taiwan belum lama ini.

Taiwan menanggapi dengan mengaktifkan sistem pertahanan udara berbasis darat dan pesawat yang siap melakukan scramble guna mengusir pesawat China sembari mengingatkan akan “menanggung semua konsekuensinya” jika mereka tidak mengindahkannya.

Selat Taiwan adalah rute transit sibuk ke dan dari Laut China Selatan yang terbagi antara China di barat dan Taiwan di timur.

Sementara, pekan lalu, seorang pejabat AS menuduh China melakukan intimidasi dan ketidaktulusan dalam berurusan dengan negara-negara Asia Tenggara.

Asisten Menteri Luar Negeri AS David Stilwell mengatakan pada hari Selasa bahwa ketidaktulusan China paling baik digambarkan dalam perilaku agresifnya di Laut China Selatan, di mana ia telah mengubah terumbu karang yang disengketakan menjadi pos terdepan pulau buatan yang dipersenjatai meskipun ada komitmen untuk tidak memiliterisasi wilayah tersebut.

Dalam kesaksian selanjutnya di hadapan Senat, Stilwell mengatakan bahwa sekarang sudah jelas bagi AS dan lainnya bahwa China “berusaha untuk mengganggu dan membentuk kembali lingkungan internasional di sekitar kepentingan egois yang sempit dan nilai-nilai otoriter dari penerima manfaat tunggal, Partai Komunis China.”

Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyerang balik AS dalam pertemuan ASEAN pekan lalu, dengan mengatakan Washington adalah “pendorong militerisasi terbesar” dan “faktor paling berbahaya yang merusak perdamaian” di kawasan itu.

Lepas dari saling ancama antara AS dan China di kawasan, Indonesia meski tidak memiliki klaim atas Laut China Selatan harus berani menginisiasi lahirnya kesepatan bersama, terutama dengan negara-negara lain di ASEAN yang sebagiannya berkepentingan dengan Laut China Selatan.

Melalui peran aktifnya di ASEAN, pemerintah Indonesia harus berani memastikan tegak dan terpeliharanya hukum internasional, termasuk menyangkut lalu lintas perdagangan internasional.

Bukan rahasia lagi bahwa konstelasi di Laut China Selatan seolah menjadi taruhan bagi kepemimpinan global AS dalam membangun imperium maritimnya. Bagaimana tidak, terkait kondisi di wilayah yang disengketakan, China juga tidak tinggal diam dalam merespon sepak terjang AS yang tentu akan melibatkan sekutu-sekutunya seperti Australia, Jepang dan terutama Taiwan.

Belakangan ini, diakui atau tidak, China kian berani tampil garang di kawasan terlebih menyusul keberhasilannya dalam menggulangi pandemi Covid-19 yang pada saat bersamaan, perekonomian negara-negara lain di dunia ambruk dan tertaih-tatih untuk memulihkan keadaan seperti semula. China sepertinya sudah tidak terlalu berkepentingan dengan kapan pandemi ini akan berakhir. Sebaliknya China malah cenderung memanfaatkan momentum pandemi ini untuk memperkuat postur pertahanannya di kawasan.

Memang, baik AS dan China tahu betul resiko terkait dampak gobal dari krisis di Laut China Selatan jika keduanya harus terlibat baku hantam secara militer. Besar kemungkinan keduanya akan terlibat perang dingin terbatas, terutama melalui propaganda di media yang mereka kuasai. Misalkan saja mereka akan saling tuduh di media dan kecermatan mereka dalam memainkan aturan-aturan hukum internasional.

Dalam derajat tertentu jika dipotret dari rekam jejak AS dan China terkait “perang” perebutan pengaruh di ASEAN, China lebih diunggulkan terutama dalam kepemimpinan ekonomi dan investasi. Atas dasar inilah Indonesia harus menunjukkan daulatnya dalam memainkan politik bebas dan aktifnya dalam “perang” tersebut. Dalam hal ini, Indonesia harus berani tampil dan memastikan negara-negara ASEAN akan tetap solid dan tidak mudah terpecah belah baik secara ekonomi, politik dan militer.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com