Penulis: Dina Y Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute (GFI)
Sejumlah ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), baru-baru ini memprediksi bahwa tahun depan nilai rupiah akan terus melemah, seiring dengan perekonomian Indonesia yang bakal semakin memburuk. Salah satu akar masalah adalah Indonesia terlalu mengandalkan konsumsi dan tingkat impor jauh lebih tinggi daripada ekspor. (Tempo, 25/12/2013)
Prediksi ini seolah kontradiktif dengan gegap gempita konferensi WTO di Bali yang baru berlalu. Yang paling berbahagia, agaknya Memperindag Gita Wirjawan, Sang Chairman sidang. Bayangkan saja, organisasi yang menjadi panglima pasar bebas dunia itu sudah bersidang sejak Putaran Doha (12 tahun yang lalu), tapi tak berhasil melahirkan kesepakatan. Namun, di Bali, Gita berhasil memimpin sidang yang melahirkan kesepakatan. Tentu saja, Gita memuji-muji Paket Bali; menyebutnya menguntungkan bagi negara berkembang dan miskin, karena “Mendapatkan manfaat untuk membuat akses bebas dari barang dan jasa untuk meningkatkan perdagangannya.” (Jurnas, 8/12/2013)
Dalam kacamata Gita, pasar bebas adalah jalan untuk mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi di mana pun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).
Gita dan para pejabat pendukung ekonomi pasar bebas lainnya, pura-pura tidak tahu bahwa pasar bebas belum pernah berhasil memajukan perekonomian negara-negara berkembang dan miskin. Indonesia misalnya, sebelum berlakunya Agreement of Agriculture –WTO, pada 1994 mengimpor beras hanya dalam angka ribuan ton. Pada 1995, impor beras Indonesia melonjak menjadi 3 juta ton. Kini, 18 tahun kemudian, nilai impor pangan kita Rp 138 triliun dan ironisnya, bahan pangan yang kita impor itu adalah bahan pangan yang sebenarnya bisa tumbuh subur di tanah air, seperti beras, ubi kayu, cabe merah, atau bawang putih.
Ha Joon Chang, dalam bukunya “Bad Samaritans”, justru menemukan bahwa sejak 1980-an, setelah negara-negara Asia memberlakukan kebijakan neoliberal, pertumbuhan ekonomi mereka malah menurun setengahnya. Hal serupa juga terjadi di Amerika Latin dan Afrika (bahkan lebih parah, karena memberlakukan neolib total). Bahkan negara-negara maju pun, sebenarnya mengalami penurunan ekonomi setelah menerapkan pasar bebas, tapi tidak sebesar penurunan di negara berkembang. Kebijakan neolib yang diterapkan di negara maju tidak separah di negara berkembang. Tahun 1932, Inggris yang menjadi pelopor pasar bebas, justru kembali menerapkan sistem tarif setelah mengalami penurunan ekonomi. Penurunan ekonomi Inggris terjadi di saat negara-negara saingannya (seperti AS) justru meraih kemajuan pesat dengan cara memproteksi ekonominya.
Thomas Friedman, dalam bukunya “The Lexus and the Olive Tree” memuji-muji Jepang yang berhasil membuat Lexus, sementara sebagian penduduk di muka bumi sibuk berkonflik dan memperebutkan, “Ini pohon zaitun milik siapa?” Friedman menyatakan bahwa keberhasilan Jepang dan negara-negara kaya adalah karena mereka memberlakukan doktrin neolib: memprivatisasi perusahaan negara, meliberalisasi perdagangan, mempermudah investasi asing.
Tapi Friedman tak menceritakan sejarah, bagaimana Jepang berhasil membuat Lexus. Ha Joon Chang menceritakan sejarah itu dalam bukunya. Menurutnya, seandainya sejak awal Jepang menerapkan ekonomi pasar bebas, hari ini Jepang hanya akan jadi negara pembuat sparepart otomotif belaka. Selama lima puluh tahun, pemerintah Jepang mensubsidi Toyota besar-besaran, menolak desakan para liberalis untuk membubarkan pabrik mobil nasional yang selalu merugi itu dan terus memberi kesempatan, sampai akhirnya Toyota berhasil menjadi raksasa otomotif dunia dan memproduksi Lexus.
Ha Joon Chang juga mengungkap data-data, bahwa negara-negara berkembang lain yang berhasil meraih kesuksesan ekonomi pasca PD II, seperti Korea Selatan, Taiwan, China dan India pun, pada awalnya melakukan kebijakan yang nasionalistik, memberlakukan proteksi dan subsidi. Setelah kuat, barulah mereka bergabung dengan pasar bebas.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Yang jelas, Indonesia dalam kondisi ekonomi yang sangat lemah ini, tetap mau mengikatkan diri pada WTO. Padahal, sebagaimana ditulis Shaffer dalam buku “Power in Global Governance”, WTO adalah bagian dari produk kewirausahaan, persuasi, dan tekanan negara-negara kaya. Lalu, bagaimana mau berharap mereka mau bersikap adil yang artinya akan mengurangi profit mereka? Yang dilakukan negara-negara kaya adalah berkhotbah tentang kemuliaan pasar bebas dan memaksa negara-negara berkembang dan miskin untuk bergabung dengan pasar bebas; tanpa jujur membuka rahasia bahwa mereka meraih kemajuan seperti sekarang adalah berkat proteksi.
Presiden kita pun agaknya menyadari hal ini. “Yang penting developed countries, negara berkembang, dan petani juga diperhatikan dalam tata perdagangan yang fair and justice. Free and fair. Not only free trade, but free and fair trade. Ideologi kita begitu,” kata SBY saat mengomentari Paket Bali. (Jurnas, 8/12/13)
Betul. Tapi bagaimana caranya bila kita masih saja mengikatkan diri pada sistem yang tak adil? Agaknya, bagus juga menutup tulisan ini dengan mengutip cerita Kwik Kian Gie. Dulu, ketika Bung Karno menjadi presiden, kalau ada menteri yang mengemukakan “what to achieve”, dan setelah ditanya Bung Karno tidak bisa menjawab “how to achieve” secara rinci, beliau mengangkat kakinya yang telanjang ke atas meja. Menunjuk jari kaki jempolnya sambil mengatakan kepada Sang Menteri bersangkutan, ”Kalau hanya begitu pikiranmu, dan weet mijn grote teen ook (jempol kakiku juga tahu).”