Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Shock and Awe
Masih ingat, apa dan bagaimana shock and awe berlangsung? Tak pelak, ia merupakan salah satu metode pertempuran. Hampir di setiap perang militer (symmetric warfare) yang dilakukan oleh Barat, sering didahului dengan modus menggertak, menggebrak, “menakut-nakuti” dan lainnya, baik secara fisik maupun non fisik. Tujuannya melemahkan target atau pihak lawan sebelum pertempuran sesungguhnya dihamparkan momentum. Melalui metode tersebut, si target sengaja dibuat tidak berdaya terlebih dulu —dari sisi internal— kemudian setelah dianggap “lumpuh”, ia akan diserang habis-habisan. Itulah shock and awe!
Dalam praktek, modus tersebut banyak memetik kesuksesan, namun tak sedikit yang gagal. Perang Irak versus Koalisi Barat (AS dan sekutu) misalnya, sebelum penyerbuan pasukan koalisi pimpinan AS (2003), Pemerintahan Saddam Husein diembargo (ekonomi) selama kurang lebih 10-an tahun hingga kondisi negeri porak poranda. Rakyat menjadi miskin kekurangan pangan, kriminalitas meningkat, maupun menjalar aneka penyakit di tengah-tengah warga Irak. Ketika tiba hari “H” dan jam “D”penyerbuan, hampir-hampir tidak ada perlawanan yang berarti dari pasukan Saddam. Akhirnya dengan mudah Irak pun diduduki oleh Barat. Inilah salah satu ujud shock and awe yang relatif berhasil.
Contoh lain ialah Perang Gaza (2008-2009). Tanggal 27 Desember 2008 awal Gaza porak-poranda, karena tatkala operasi militer bersandi Cast Lead digelar oleh Israel, bangsa Palestina sebenarnya sudah dalam keadaan lemah. Betapa lemahnya Palestina, selain disebabkan oleh konflik internal (Hamas versus Fatah) berkepanjangan, juga akibat blokade ekonomi Rezim Zionis yang sudah berjalan sekitar 18 bulan di Gaza. Maka di awal-awal operasi, tentara Israel terlihat berjaya atas Hamas.
Muncul fenomena menarik. Menginjak hari ke-10 (7/1/2009), tiba-tiba ada beberapa kota Israel ganti diserbu roket-roket entah darimana. Luar biasa! Mesir, Suriah dan Lebanon pun dituduh membantu Hamas, dkk tetapi tidak terbukti. Bermingu sudah, berhari-hari lamanya. Dan ribuan pasukan Israel tewas bersimbah darah. Tak sedikit tentara gila. Asrama, gudang logistik, pusat komando, infrastruktur (lapangan terbang), pabrik dan ratusan peralatan militer terutama tank (helikopter, steel dst) babak-belur diterjang peluru entah siapa punya. Tiga kapal perang karam. Tiga jenderal Israel luka-luka (14/1/2009).
Ada beberapa fakta tidak nyambung (rancu) terkuak. Israel mengaku menang perang, tetapi kenapa ia meminta gencatan senjata? Aneh. Lalu, memohon back up kepada “sobat-sobat”-nya berdalih mengawasi supply senjata ke Hamas. Uni Eropa (Inggris, Perancis dan Jerman) pun berjanji mengirimkan kapal perang di perairan Mediterania. Soal gencatan, awalnya Hamas menolak tetapi akhirnya mengumumkan hal yang sama/gencatan senjata (19/1/2009). Namun luncuran roket dan rentetan senjata terus menggema. Gencatan tidak memiliki makna apa-apa. Mereka lupa siapa yang gencatan, siapa pula angkat senjata (Baca: Pesta Kabaret di Gaza di www.theglobal-review.com).
Merujuk paragraf di atas, penulis hanya ingin mengabarkan kegagalan shock and awe-nya Israel, dan kenyataannya memang berakibat pula terhadap kegagalan Cast Lead-nya Zionis di Jalur Gaza. Luar biasa. Tentara profesional Israel dikalahkan oleh Hamas yang sekelas “ormas” di Indonesia. Dengan demikian, metode “gertakan” di awal peperangan tak selamanya mampu membuahkan keberhasilan.
Tambahan catatan disini, bahwa shock and awe tidak mutlak harus blokade (ekonomi), atau embargo peralatan yang pernah diterapkan oleh AS terhadap Indonesia dalam hal suku cadang F-16, akan tetapi ia juga sering berupa “perang kata-kata”, atau tindakan coba-coba, dll. Intinya meningkatkan aura perang, sebagaimana pernah terjadi ketegangan politik di Selat Hormuz (2012) antara Iran melawan AS kemarin (Baca: Perang di Selat Hormuz: Kegagalan yang Direncanakan, www.theglobal-review.com).
Jujur saja, khusus soal Iran, shock and awe Barat selama ini, baik embargo ekonomi maupun perang kata-kata, bukannya membuat Iran melemah ataupun ketakutan, justru sebaliknya, ia malah berani, independen, banyak mengalami kemajuan di berbagai bidang dan Negeri Para Mullah kini pun disegani baik kawan maupun lawan di dunia internasional.
Ketika menengok goro-goro di Laut Cina, sekali lagi, pertanyaannya ialah: apakah penetapan ADIZ di Kep Diaoyu, Laut Cina Timur, ataupun insiden kecil di Laut Cina Selatan, tanggal 5 Desember 2013 lalu merupakan kemasan lain shock and awe oleh kedua negara yang memang “gatal” ingin segera berlaga?
(Bersambung Bag-5)