Gubernur Ditunjuk oleh Presiden (4)

Bagikan artikel ini

Di era kini, per lima tahun dengan intensitas ruang dan waktu berbeda, keuangan negara dalam jumlah relatif besar niscaya terserap untuk membiayai sistem pengamanan serta penyelenggaraan pemilu/kada baik Gubernur (Pilgub) maupun pemilihan Bupati dan Walikota di seluruh provinsi, juga kota-kota/kabupaten se-Indonesia. Ada yang mengatakan, “Demokrasi memang mahal, apa hendak dikata?” Namun, banyak juga yang berharap, “Jika ada sistem yang lebih murah dan mampu meminimalisir konflik, kenapa tidak?”

Untuk mengurai tanya-jawab ini, sebaiknya menengok sejenak format ‘reformasi’ ala Putin di Rusia, dimana banyak kalangan menilai reformasi tersebut dianggap berhasil membawa Beruang Merah menggapai Rusia Raya.

Telah menjadi catatan sejarah, usai Perang Dingin (1947 – 1991) berakhir yang ditandai dengan ambruknya Uni Sovyet, Rusia sebagai salah satu negara serpihan Sovyet, memang hampir “gulung tikar”. Ia hendak menjadi negara gagal. Kenapa demikian? Betapa inflasi meroket, ekonomi morat-marit serta dikuasai segolongan oligarki, kriminalitas menjadi-jadi, mafia kejahatan merajalela, sistem sosial porak-poranda, dan entah kondisi apa lagi.

Ketika dekade 2000-an Presiden Boris Yeltsin menunjuk Vladimir Putin sebagai Perdana Menteri (PM) guna pembenahan negeri, mayoritas rakyat Rusia hampir-hampir tidak mengenal siapa dia. Maka ibarat mitos akan munculnya Ratu Adil, Satrio Paningit, atau Imam Mahdi di Bumi Pertiwi, di Rusia, Putinlah orangnya. Dan ternyata bukan sekedar pemimpin ulung, selain ahli strategi dan intelijen, Putin juga jagoan geopolitik.

Langkah pertama Putin melalui demokrasi ala Rusia —atau demokrasi ala Putin?— adalah “membonsai” kekuasaan para Gubernur. Karena sebelumnya, Gubernur bak raja-raja kecil. Dari mekanisme dipilih langsung oleh rakyat, seketika diubah menjadi ditunjuk langsung Presiden. Itupun atas persetujuan DPRD setempat. Artinya tidak full otoriter, bukan harus sekali ‘jadi’. Dan model penunjukan ini bisa disetujui oleh parlemen, tetapi juga bisa ditolak oleh DPRD-nya.

Banyak opini menyatakan, penunjukan Gubernur oleh Presiden dinilai tidak demokratis, namun kenyataannya justru model demokrasi ala Rusia kini malah ditiru beberapa negara barat yang dikenal sangat demokratis seperti Belgia, Finlandia, Portugal, dan lain-lain.

Awalnya, langkah Putin dianggap sangat otoriter. Seperti kontrol negara terhadap media massa, menaikkan electoral threshold dari lima menjadi tujuh persen yang mengakibatkan partai-partai kecil pro-liberal (Barat) tersisih. Tetapi ia jalan terus karena rakyat mendukung, serta mayoritas masyarakatnya tidak terpengaruh oleh “angin surga” dari demokrasi ala Barat.

Ada ujaran: setiap waktu ada “orang”-nya, setiap orang ada “waktu”-nya. Setiap zaman muncul sosok pimpinan, setiap pemimpin dilahirkan oleh zamannya. Demikian pula Putin, meski tak boleh dipungkiri, kemunculannya juga karena faktor momentum. Artinya, tak cuma berbekal seni kepemimpinan yang kuat lagi cerdas, moment (saat) yang tepat turut mengantar Putin meraih Rusia Raya. Kenapa? Ada dua faktor yang mendorong ia berhasil, antara lain:

Pertama, kenaikan harga minyak dunia diatas 90 US Dollar per barel. Betapa produksi minyak Rusia mencapai 10 juta barel per hari. Ia pun mampu memenuhi sendiri kebutuhan energinya terutama gas, dimana negara-negara Eropa tergantung atas ekspor gas dari Rusia melalui jalur pipa Ukraina.

Kedua, selain kepemimpinan yang tegas sehingga berhasil mengawal semua kebijakan, Putin dikelilingi orang-orang kepercayaan yang memiliki kompetensi dari St Petersburg, daerah asalnya. Hal ini berbeda dibanding rezim sebelumnya, dimana anak-anak dan menatu Yeltsin ikut serta dalam politik.

Ya. Meneladani reformasi ala Rusia, bukanlah sekedar mencontoh langkah-langkah Putin dalam ‘membenahi’ sistem politik di negerinya, tetapi lihatlah kemampuan sekaligus keberanian memutuskan kembali kepada local wisdom leluhur. Nilai-nilai impor (asing) semacam keterbukaan dan restrukturisasi (glasnost dan perestroika) yang terbukti meluluh-lantakkan kedigdayaan Uni Sovyet pun dijebolnya, ia rombak, lalu dikembalikan pada format (semi?) otoriter dan ketertutupan. Inilah sistem demokrasi ala Rusia. Dan dari perspektif geopolitik, langkah Putin menjebol nilai-nilai impor di negerinya merupakan implementasi aspek budaya daripada geopolitik yang melekat sebagai takdir. Betapa takdir kultur bangsa Rusia justru merasa nyaman dengan ‘zona’ otoritarian.

Tak boleh tidak. Isyarat Sherman Kent (1966) dalam Strategic Intelligence for American World Policy, dan Washington Platt (1957) pada Strategic Intelligence Production menyatakan, bahwa KULTUR (budaya) ialah bagian elemen pokok dalam geopolitik selain aspek-aspek lain seperti geografi, demografi, transportasi, ekonomi, militer geografi, politik, komunikasi, dan lainnya. Itulah elemen (grata) dalam geopolitik yang mutlak dipertahankan, diberdayakan, bukannya diabaikan apalagi disingkirkan!

Apa yang dikerjakan Putin selama ini —penerapan geopolitik— dalam rangka mencapai Rusia Raya, ternyata tak menurun popularitasnya di mata rakyat. Survei The Wall Street Journal 2007 menyebutkan, bahwa tingkat kepuasan dan dukungan rakyat terhadap Putin relatif stabil, yakni 85 %. Fluktuasi prosentase tahun 2000 = 80 %,  2001 = 84 %,  2002 = 86 % dan tahun 2003 = 85 %, dan seterusnya.

Hasil survei journal di atas menyiratkan makna, bahwa rakyat Rusia sejatinya familiar serta terbiasa dengan rezim otoriter. Inilah local wisdom bangsa Rusia yang berhasil dikembalikan oleh Putin. Mereka takut kacau lagi seperti dekade 1990-an tatkala diterapkan perestroika, glasnost, dll. Rakyat tidak peduli lagi dengan sistem yang diterapkan oleh Putin apakah demokratis atau tidak, yang penting mereka sejahtera dan citra negara terpandang di mata dunia. Singkat kata, “Bagaimana dengan Indonesia?”

Merujuk jutaan SMS rakyat yang masuk kepada SBY dimana mayoritas rakyat berharap Presiden mampu bertindak ‘ini-itu’ dalam mindset otoritarian untuk mencegah the exercise of freedom, dalam rangka mengantisipasi meluapnya efek negatif demokrasi ala Barat dan praktek kebebasan yang sudah berlebihan. Tampaknya, kebanyakan rakyat Indonesia kini seperti menginginkan sebuah sistem yang lebih tertib. Itu  benang merah bila menganalog model reformasi ala Rusia.

Apakah jutaan SMS yang mengalir ke SBY dapat dikategorikan hasil survei? Entahlah. Akan tetapi hikmah pesannya dapat terbaca, bahwa alam bawah sadar sebagian rakyat kita lebih cenderung, atau bahkan rindu akan stabilitas yang teratur serta lebih terkendali. Tak bisa dipungkiri siapapun, negara yang menganut demokrasi liberal pun niscaya memprioritaskan stabilitas negara daripada yang lainnya, supaya dinamika sosial menjadi tenteram, lalu kegiatan ekonomi dan sektor-sektor lain dapat berjalan secara normal.

Praktek demokrasi, perwujudan stabilitas, dan kesinambungan pembangunan mutlak harus berjalan secara simultan dengan intensitas berbeda. Artinya mana yang dikedepankan, siapa duluan, dll atau serempak, maka rujukannya ialah kondisi riil serta harapan masyarakat. Bukankah maraknya konflik komunal, korupsi, dan lain-lain sejatinya cuma isue-isue ‘ciptaan sistem’ yang sengaja dihebohkan pada tataran hilir semata? Sebagaimana diurai di atas (Baca: Korupsi di Indonesia Diciptakan oleh Sistem), akar masalah atas kegaduhan selama ini toh tidak tersentuh sama sekali, karena bersemayam di (sistem) hulu. Kenapa bangsa ini harus melanjutkan “hiruk-pikuk”-nya, sedang aktivitas tersebut ternyata tak memecahkan permasalahan bangsa?

Mencoba menarik hikmah atas aspirasi rakyat via SMS kepada SBY, dan meneladani hikmah laju Putin membenahi Rusia, salah satu upaya ke-SISTEM-an yang ditawarkan dalam catatan ini adalah, “Kenapa Gubernur tidak sekalian ditunjuk langsung oleh Presiden sebagai perpanjangan pemerintah pusat?” Alasannya sederhana, selain Gubernur tidak memiliki wilayah, menyeimbangkan kembali status negara kesatuan (karena era Otoda ini hampir mirip Negara Federal), yang utama ialah menghilangkan latenitas konflik komunal dengan tidak terselenggaranya Pilgub, dan terakhir, satu pos anggaran atas nama ‘pengamanan dan penyelenggaraan Pilgub’ dapat dihemat, dan bisa dialihkan ke pos-pos lain yang lebih bermanfaat!

Bersambung ke 5

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com