Gara-gara memposting tulisan terkait aksi penyadapan terhadap pemimpin Indonesia, dengan mengungkap jaringan UKUSA dan ECHELON yang diikuti ejekan bahwa Australia adalah Negara kriminal koloni Inggris yang tidak sederajat dengan Indonesia dan penduduknya secara genealogis adalah keturunan perampok, maling, bajak laut, pencoleng, pembunuh, pemerkosa, tukang copet, mata-mata asing, pengedar opium, budak, dan pengkhianat Negara, Pesantren Sufi didatangi sejumlah doktor dan master lulusan Australia yang dipimpin Dr Rini Syaharini Dursilarini dan Dr Sungut Sangit Sanguto. Mereka memprotes pandangan negatif yang disebarkan para sufi dan santri di dunia maya yang mengandung unsur ras diskriminasi.
Agar berimbang, obyektif, jujur, dan terbuka dalam kasus penggunaan media sosial para alumnus Australia itu diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka di depan para sufi dan santri, dengan janji hasilnya akan disebarkan lewat media sosial fesbuk, blog, web, dan twitter. Dr Sungut Sangit Sanguto, doktor ilmu politik lulusan universitas di Canberra itu mula-mula mengungkapkan bahwa Australia adalah Negara yang menghormati kebebasan dan hak asasi manusia, tidak pernah membedakan penduduk berdasar warna kulit, bahasa, budaya, bahkan agama. “Orang-orang beragama Islam bebas menjalankan agamanya di Australia, karena itu muslim Afghanistan, Bangladesh, Rohingya yang tidak aman di negerinya beramai-ramai menuju ke Australia yang menghargai hak manusia dalam menjalankan agamanya,” ujar Dr Sungut Sangit Sanguto mengawali pembicaraan,”Secara obyektif, sangat aneh menyatakan Australia sebagai Negara kriminal dan penduduknya keturunan perampok, pembunuh, maling, bajak laut, pemerkosa, pengedar opium, dan pelaku kriminal lain. Itu fitnah tanpa dasar.”
Usai meluruskan pandangan keliru tentang negeri Kanguru itu, Dr Sungut Sangit Sanguto memaparkan ‘kebiadaban’ praktek bernegara yang dijalankan Bangsa Indonesia. Dengan mula-mula mengungkit kasus pembantaian sejuta pengikut PKI pada tahun 1965 – 1966, kebijakan bersih lingkungan, manipulasi Pemilu yang selalu memenangkan Golkar selama 30 tahun, intimidasi, terror, ketidak-adilan hukum, bahkan penculikan disertai penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktivis buruh dan demokrasi yang melahirkan kasus-kasus seperti Marsinah, Wiji Thukul, Leonardus Gilang, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser yang lenyap tak pernah ditemukan. “Jadi kalau kita mau obyektif, siapa yang sejatinya lebih biadab dan lebih kriminal: orang Indonesia ataukah orang Australia?” kata Dr Sungut Sangit Sanguto dengan suara tinggi.
Dr Rini Syaharini Dursilarini yang duduk di samping Dr Sungut Sangit Sanguto memberikan komentar positif kepada Australia dengan menyatakan,”Sejak reformasi Australia terus mendorong terjadinya demokratisasi di Indonesia. Australia secara konsisten memberikan dukungan bagi tegaknya HAM di Indonesia. Australia juga berperan penting dalam mencerdaskan bangsa Indonesia dengan memberikan bea siswa kepada 12.000 orang sarjana Indonesia agar mengambil program S-2 dan S-3. Jadi Australia sangat positif membantu Indonesia, termasuk kerjasama dalam pendidikan polisi dan latihan militer bersama. Sungguh, kami tidak bisa menerima pandangan negatif orang-orang pesantren ini terhadap Australia yang terbukti adalah bangsa yang lebih beradab daripada bangsa kita.”
Sufi tua tertawa terbahak-bahak mendengar pandangan dan simpulan dua orang doctor didikan Australia itu. Sambil mengulum senyum, Sufi tua, pensiunan perwira intelijen itu berkata lantang,”Sampeyan berdua tidak bisa menjadikan Rezim Orde Barunya Soeharto yang brengsek dan bejat itu sebagai representasi peradaban Bangsa Indonesia.”
“Maaf pakde,” sergah Dr Sungut Sangit Sanguto dengan nada mengejek,”Apakah Soeharto dengan Rezim Orde Baru itu bukan Bangsa Indonesia? Memangnya mereka itu Bangsa Australia?”
“Sampeyan itu doktor ilmu politik,” sahut Sufi tua ketawa, lalu dengan suara datar berkata,”Harusnya sampeyan faham bahwa Rezim Orde Baru adalah rezim yang ditegakkan, didukung, dibela, dibentuk, diarahkan, dan dikendalikan oleh UKUSA. Maksudnya, sejak rezim Soekarno yang disebut Orde Lama, yaitu orde pemerintahan yang tidak mau tunduk dan tidak mau kompromi dengan UKUSA tumbang akibat rekayasa UKUSA, yang tegak adalah rezim Orde Baru yang berkedudukan sebagai vassal UKUSA. Tambang emas, tembaga, minyak, intan, gas alam, alumunium, mangan, dan aneka jenis tambang diserahkan kepada UKUSA. Bahkan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, menteri-menteri utamanya didominasi doktor-doktor lulusan Berkeley, sehingga muncul istilah Mafia Berkeley. Tidak ada kebijakan Orde Baru yang tidak meminta restu dari UKUSA. Bahkan sewaktu menginvasi Timor Timur tahun 1974, Soeharto meminta ijin UKUSA. Jadi kejahatan kemanusiaan yang dijalankan Orde Baru harus dipandang sebagai kejahatan yang dilakukan rezim bentukan UKUSA. Amerika, Inggris, Australia, New Zealand, dan Canada tidak boleh lepas tangan dari tanggung jawab kejahatan Orde Baru.”
aboriginals-prisoner Ellery Creek 1900
“Setuju pakde,” sahut Dullah menyela,”Karena pasca Orde Baru runtuh, keuntungan besar justru diperoleh UKUSA yang menguasai puluhan BUMN dan Swasta Nasional yang dijual lewat BPPN.”
“Yang patut dicatat, selepas Timor Timur dari tangan Indonesia dengan membentuk negara baru Timor Leste, yang menarik keuntungan tidak lain adalah Australia,” kata Sufi tua.
“Itu simpulan ngawur,” sahut Dr Sungut Sangit Sanguto berang,”Tidak ada fakta Australia memungut keuntungan dari lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Itu simpulan orang paranoid.”
Sufi tua tertawa. Lalu dengan suara merendah bertanya,”Setelah Timor Leste jadi negara merdeka, siapakah yang menjadi presiden dan perdana menteri?”
“Xanana Gusmao dan Ramos Horta,” sahut Dr Sungut Sangit Sanguto.
“Mereka berdua itu orang Timor kulit hitam atau kulit putih?” tanya Sufi tua. Dr Sungut Sangit Sanguto diam tak menjawab.
“Isteri Xanana Gusmao itu seorang perempuan Australia kulit putih atau aborigin kulit hitam?” tanya Sufi tua memburu. Dr Sungut Sangit Sanguto tetap diam tidak menjawab.
“Sejarah mencatat PBB mendirikan UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) pada 25 Oktober 1999 diketuai Sergio Vieira de Mello dari Brazil dan Letnan Jenderal Jaime de los Santos dari Filipina. Tapi semua mafhum kontingen terbesar UNTAET berasal dari Australia dan New Zealand yang bekerja sampai 20 Mei 2002, yang dilanjut pembentukan UNMIT (United Nations Integrated Missions in Timor-Leste) yang menurut agenda PBB harus bekerja di Timor-Leste sampai Desember 2012. Nah apa yang dilakukan pasukan Australia dan New Zealand selama bertugas di Timor Leste sepanjang tahun 1999 sampai tahun 2002 itu, pak doktor? Apakah ras White Anglo-Saxon asal New Zealand dan Australia itu sejenis malaikat yang tidak punya nafsu syahwat?” tanya Sufi tua mendesak.
“Itu pandangan ras diskriminasi orang paranoid,” sahut Dr Sungut Sangit Sanguto berang.
“Lepas dari penilaian paranoid dan ras diskriminasi,” sahut Sufi tua ketawa,”Yang pasti Timor Leste selalu dipimpin Kulit Putih dan lahirnya komunitas baru Kulit Putih sebagai akibat logis hadirnya pasukan Australia dan New Zealand selama 13 tahun di Timor Leste. Adalah fakta pula bahwa putera-putera Timor Leste kulit hitam banyak dikirim ke Indonesia dengan alasan studi dan banyak menikahi perempuan Indonesia, yang tampaknya keturunan mereka itu ke depan akan tetap tinggal di Indonesia.”
“Itu analisis rasialis,” sergah Dr Sungut Sangit Sanguto marah,”Anda pengikut Fasisme. Anda penganut faham Neo-Nazi. Anda seorang Hitlerist!”
“Silahkan menilai saya apa saja,” sahut Sufi tua terkekeh,”Saya hanya mengungkap sejarah dengan obyektif, jujur, faktual, terbuka tanpa ditutup-tutupi dan tanpa manipulasi. Saya hanya ingin mengungkapkan sejarah gelap orang-orang White Anglo-Saxon yang sekarang ini menjadi pejuang dan pahlawan HAM sekalipun mereka itulah sejatinya Pelanggar HAM terbesar sepanjang sejarah.”
“Sejarah apa?” tukas Dr Sungut Sangit Sanguto dengan suara ditekan tinggi,”Pelanggaran HAM apa yang dilakukan orang-orang Australia?”
Sufi tua ketawa melihat doktor didikan Australia itu marah. Sambil ketawa ia bertanya,”Saya tanya kepada bapak dan ibu doktor lulusan universitas Australia yang terhormat, siapakah penduduk asli benua Australia?” “Orang Aborigin,” sahut Dr Sungut Sangit Sanguto tidak senang. “Apakah makna Aborigin?” tanya Sufi tua memburu.
“Ahh.. eee.. saya kurang tahu itu, saya doktor ilmu politik bukan antropolog dan bukan pula etnolog apalagi biolog,” sahut Dr Sungut Sangit Sanguto tergagap.
“Menurut Oxford Dictionary dan sejumlah buku yang ditulis sejarawan, etnolog, antropolog sebutan ABORIGIN diberikan oleh orang-orang White Anglo-Saxon kepada penduduk pribumi Australia dengan tujuan merendahkan dan menghinakan, karena sebutan itu bermakna AB-ORIGIN yang sama dengan AB-NORMAL. Ya, sebutan ABORIGIN diberikan kepada penduduk asli ras Melanesia kulit hitam dengan makna merendahkan karena berarti AB (Setengah) ORIGIN (Manusia), yang sama makna dengan AB (Setengah) NORMAL (normal). Itu sebabnya, sampeyan semua yang pernah kuliah di Australia pasti mafhum jika penduduk pribumi benua Kanguru itu selalu marah jika disebut ABORIGIN yang menghina itu,” kata Sufi tua membuat santri-santri terhentak kaget.
“Anda jangan memprovokasi untuk menimbulkan kebencian rasialis dong,” tukas Dr Sungut Sangit Sanguto tidak suka,”Ini soal sadap-menyadap jadi melebar ke mana-mana.”
“Saya hanya bicara fakta,” sahut Sufi tua tidak memperdulikan protes doktor Sungut Sangit Sanguto, ”Sebab fakta menunjuk penduduk pribumi memiliki identitas kesukuan sendiri yang mereka gunakan secara turun-temurun dari leluhur mereka. Antropolog dan etnolog sedunia sudah faham bahwa penduduk pribumi Australia terdiri dari suku Koori di New South Wales dan Victoria, suku Ngunnawal di Australian Capital Territory, suku Murri dan Murrdi di Queensland, suku Nyungar, suku Yamatji, suku Wangai di Australia Barat, suku Nunga dan Anangu di Australia Selatan, suku Yapa di Northern Territory, suku Yolngu, suku Tiwi, suku Anindilyakwa di Arnhem Land, suku Pallawah, suku Gundungurra, suku Dharawal di Tasmania dan puluhan suku lain yang tidak satu pun menggunakan sebutan ABORIGIN.”
“Apa maksud Anda mengungkit-ungkit masalah suku-suku asli dan sebutan Aborigin?” tanya Dr Rini Syaharini Dursilarini dengan nada tidak suka.
“Saya hanya ingin mengungkapkan fakta sejarah, bahwa penduduk kulit putih Australia yang menepuk dada sebagai pejuang, pegiat, pembela, dan pahlawan HAM yang telah mengeluarkan dana besar untuk LSM-LSM pembela HAM pada hakikatnya adalah Pelanggar HAM terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan,” kata Sufi tua dengan lantang.
“Anda punya bukti pelanggaran HAM warga kulit putih Australia?” sergah Dr Rini Syaharini Dursilarini berang,”Jangan hanya memfitnah karena kebencian dan pengaruh paranoia.”
“Sebagai doktor lulusan universitas unggulan Australia,” kata Sufi tua dengan suara merendah mulai menjelaskan, “Sampeyan harusnya sudah membaca karya-karya sejarawan, antropolog, etnolog kulit putih Australia seperti Christina Smith, yang menulis The Booandik Tribe of South Australian Aborigines: A Sketch of Their Habits, Customs, Legends, and Language, (1880); Gordon Reid, yang menulis Nest of Hornets: The Massacre of the Fraser Family at Hornet Bank Station, Central Queensland, 1857, and Related Events,(1982) ; Deborah Bird Rose, yang menulis Hidden histories: black stories from Victoria River Downs, Humbert River, and Wave Hill Stations, (1991) ; Ian D. Clark, yang menulis Scars in the Landscape: A Register of Massacre Sites in Western Victoria, 1883 – 1859, (1998); Roger Milliss yang menulis, Waterloo Creek: the Australia Day massacre of 1838, George Gipps and the British conquest of New South Wales, (1994); Richard Broome, yang menulis Aboriginal Victorians:a history since 1800, (2005); Ben Kiernan, yang menulis Blood and soil: a world history of genocide and extermination from Sparta to Darfur, (2007); Ross Gibson yang menulis Seven versions of an Australian badland, (2008); Peter Taylor yang menulis A summary of the Barrow Creek conflict as told in An End to Silence, (2007); Jeffrey Grey,yang menulis A military history of Australia, (2008), dan puluhan buku lainnya yang harus dibaca sarjana-sarjana, master dan doctor lulusan Australia.”
“Maaf, satu pun dari buku yang Anda sebut belum pernah saya baca,” kata Dr Rini Syaharini Dursilarini minta penjelasan,”Kira-kira membahas soal apa buku-buku itu?”
Sufi tua tidak menjawab, sebaliknya memberi isyarat kepada Johnson, Azumi dan Marholy untuk membawa buku-buku dari perpustakaan yang sudah disiapkan. Setelah buku-buku tertumpuk di depan, sambil mnepuk-nepuk buku Sufi tua berkata,”Ini sebagian dari buku yang saya sebutkan barusan. Semua buku ini mencatat peristiwa genosida yang dilakukan orang-orang White Anglo-Saxon terhadap penduduk pribumi kulit hitam Australia. Sekali pun bukti material sudah banyak yang dihapus dan dihilangkan, tetapi semua penduduk Australia – kulit hitam maupun kulit putih – tidak akan bisa menghapuskan peristiwa bersejarah yang mereka kenal dengan sebutan khusus : Risdon Cove Massacre (1804), Cataract Gorge Massacre (1816), Bathurst Massacre (1824), Cape Grimm Massacre (1828), Flinders Island Massacre (1830), Fremantle Massacre (1830), Gunditjmara Massacre (1833), Battle of Pinjarra (1834), Bunbury York Massacre (1836), Waterloo Creek Massacre (1838), Faithfull Massacre (1838), Myall Creek Massacre (1838), Gwydir River Massacre (1838), Bowman-Ebden-Yaldwyn Massacre (1838), Campaspe Plains Massacre (1839), Gully Massacre (1839), Wiradjuri War (1840), Gippsland Massacre (1840), Rufus river Massacre (1841), Brisbane Valley Massacre (1842), Pelican Creek tragedy (1842), Goanna Headland Massacre (1842), Warrigal Creek Massacre (1843), Cape Otway Massacre (1846), Balonne and Condamine Rivers of Queensland Massacre(1849), Hospital Creek Massacre (1849), Butcher Tree Massacre (1849), Avenue Range Station Massacre (1849), Hornet Bank Massacre (1857), Central Highlands of Queensland’s Massacre (1861), La Grange expedition (1865) dan berderet-deret sebutan bermakna ‘pembantaian’, ‘ethnic cleansing’, ‘tumpas kelor’ yang dilakukan orang-orang white Anglo-Saxon terhadap warga kulit hitam penghuni asli Australia, baik dilakukan oleh peternak, pemburu paus, petani, polisi berkuda, polisi perbatasan, tentara, rangers.”
“Apa maksud Anda membicarakan semua ini? Apa Anda ingin menyebar-luaskan kebencian rasialis?” seru Dr Sungut Sangit Sanguto berang.
“Kami ini orang-orang yang mengamalkan ajaran tasawuf yang didasarkan pada cinta kasih, “ kata Sufi tua merendah,”Tidak sedikit pun terbersit di hati dan pikiran kami untuk menimbulkan kebencian terhadap satu kaum.”
“Tapi faktanya Anda bicara soal suatu kaum secara negatif, apa maksudnya?”
“Qul al-haqq walau kaana muroon – Katakan Kebenaran Sekali pun pahit,” kata Sufi tua mengutip Hadits Nabi Saw,”Yang kami inginkan bukan kebencian tapi kewaspadaan dan kehati-hatian. Jangan percaya kepada ucapan orang-orang yang manis tapi mengandung racun. Jangan sampai kita mengulang nasib suku Yeeman, warga kulit hitam Australia yang lahap menyantap suguhan puding Christmast yang sudah dibubuhi racun strychnine, sehingga laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak suku Yeeman tewas tanpa sisa. Begitulah, saya menghimbau kepada saudara-saudara saya sebangsa kulit berwarna untuk tidak gampang percaya dengan bujukan, rayuan, iming-iming, hasutan kulit putih Australia agar memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sebab sejarah sudah mencatat bagaimana jahatnya rencana mereka dalam memperluas habitatnya dengan membasmi etnik kulit hitam. Sungguh membenci dilarang tapi waspada dibolehkan.”
“Tapi pakde,” sahut Johnson mnyela, ”Waktu ribut-ribut kasus penyadapan lalu, Dubes Australia justru datang ke Papua. Apa maksudnya?”
“Aku tidak mau jawab,” sahut Sufi tua, ”Aku ingin kalian berpikir dan menganalisis sendiri. Aku tidak suka kalian hanya menunggu jawaban. Ayo mikir sendiri! Mikir sendiri, apa makna di balik kunjungan dubes Australia ke Papua?”