Implementasi Pemahaman Wawasan Nusantara Dalam Wujudkan Negara Maritim Indonesia

Bagikan artikel ini

“Bahkan Lautan telah dijadikan sebagai isu dasar dalam saling ketergantungan antarnegara, serta stabilitas dan kemakmuran global dalam jangka panjang”. Pernyataan demikian yang dilontarkan pakar politik kelautan bernama Peter Polomka ini, cukup jelas  mengartikan bahwa laut sebagai sumber bagi suatu negara untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya. Perihal  yang memposisikan laut sebagai elemen penting dalam pembangunan nasional diungkapkan pula oleh Henry Kissinger, menlu AS di era Perang Dingin ini beranggapan “Potensi lautan kini semakin menjadi harapan umat manusia, meskipun sangat potensial sebagai sumber konflik”. Atas dasar kesadaran dari para ahli tersebut, lantas bagaimana Indonesia menyikapi dan bertindak sebagai negara bangsa atau nation state yang bercirikan laut sebagai daerah dominan ketimbang daratannya?

Pertanyaan yang dikemukakan di batang pendahuluan tulisan ini terasa penting ketika Indonesia dihadapkan dengan realitas sebagai bangsa maritim. Setidaknya terdapat tiga point yang meliputinya. Pertama, berlabel negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.000 pulau, lalu juga memiliki garis pantai atau coast lines sepanjang 81.000 kilometer, serta dikaruniai luas laut yang bukan main luasnya, yaitu sekitar 5.8 juta km kilometer persegi.
Kedua, Sebagai suatu negara yang wilayah kedudukannya berada tepat di tengah jalan silang dunia (Diapit dua samudera dan dua benua). Pada konteks ini, Indonesia berkewajiban memenuhi hasil produk konvensi hukum laut internasional yang didalamnya mewajibkan Indonesia menjamin hak lalu lintas damai atau innocent of passage right, transit passage, dan juga archipelagic sea lanes. Dan point terakhir, anugerah kekayaan sumber daya alam atau SDA maritim khas lautan bumi Nusantara.
Kesadaran Berwawasan Nusantara Melalui Implementasi Indonesia sebagai Negara Pantai, Negara Pelabuhan dan Flag State
Sedangkan guna mencoba menjawab pertanyaan tersebut, penulis berpikir bahwa pemahaman akan wawasan nusantara adalah  titik berangkatnya. Secara harfiah, kata wawasan berarti mawas (cara pandang). Sedangkan kata Nusantara terbentuk dari lafal “Nusa” dan lafal “antara”. Di sini artinya, lafal “nusa” berarti pulau dan lafal “antara” berarti berada di tengah-tengah. Karenanya secara eksplisit, kata “di tengah-tengah” adalah laut, karena itu wawasan nusantara dapat diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia yang ber-orientasi laut sebagai ruang hidupnya.
Esensi Wawasan Nusantara melihat bahwa laut merupakan ruang hidup yang harus di kelola dengan semaksimal mungkin. Maka dari itu, tidak heran dengan tercetusnya Deklarasi Djuanda (1957) semakin menempatkan laut sebagai harga tawar negara Indonesia dalam pembangunan nasional dan daya tawar di mata internasional.
Negara Indonesia mempunyai ciri sebagai suatu negara yang terletak dipersimpangan dua benua dan dua samudera. Dengan demikian negara Indonesia terletak tepat di tengah-tengah suatu jalan silang dunia, karenanya jika dikatakan bahwa Indonesia memiliki posisi siang dunia yang menurut keadaannya bersifat serba terbuka dari segala penjuru mata angin adalah benar adanya. (Baca: Bunga Rampai Wawasan Nusantara, 1982). Berbekal realitas tersebut, adalah tuntutan mutlak bagi segenap pemangku kepentingan negara untuk merumuskan matra laut sebagai elemen yang terpenting dalam membangun kebijakan nasional . Guna menanggapi potensi geografis Indonesia yang sedemikian rupanya, penulis merasa dibutuhkannya esensi negara di laut dan pemerintahan di laut, serta pemahaman atas konsekuensi sebagai negara kepulauan dan bangsa maritim yang seharusnya khas dengan karakteristik sebagai; flag state, coastal state, dan port state.
Dengan takdir yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa maritim itu, tidak dapat dinafikan jikalau sistem dan mekanisme yang tepat sudah tentu menjadi kemudi utama mewujudkan tata kelola yang proposional .  Hal ini menuntun Indonesia harus dapat memanfaatkan kedaulatan lautnya. Pertama-tama dimulai dengan penjabaran apa yang dimaksud flag state.
Adapun yang menjadi hakikat dari Flag State, yaitu dominannya kapal berbendera Merah Putih ketimbang kapal asing di perairan dalam Nusantara. Hal itu harus ditanggapi dengan turut aktifnya negara sebagai pemangku kepentingan dalam merancang kebijakan. Dalam ruang lingkup ini, sudah serayanya asas Cabotage adalah kebijakan yang relevan ditempuh.
Sejatinya, asas Cabotage bertujuan memperkokoh dan memperkuat kedaulatan negara kepulauan dalam pelayanan kegiatan pelayaran dan perdagangan di perairan dalam. Selain dari itu, Cabotage pun dalam pelaksanannya berpotensi besar memberikan efek positif bagi negara Indonesia. Pertama, membuka peluang dan kesempatan bagi investor lokal. Disini artinya bertujuan memunculkan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menyerap tenaga kerja lokal. Tentu dengan hal ini, akan berdampak positif bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat pesisir untuk dapatkan kesempatan pekerjaan.
Kedua, asas Cabotage dapat berdampak kepada banyaknya kapal yang akan bersandar di pelabuhan. Dapat dibayangkan, kapal-kapal yang bersandar akan mampu memberikan kegiatan ekonomi di daratan, semisal jasa angkut barang yang dapat digarap oleh perusahaan jasa angkut maupun buruh sebagai subjeknya. Ketiga, asas cabotage akan berjalan simultan jika terdapatnya pelabuhan di berbagai wilayah transit kapal-kapal berbendera merah putih dan juga kapal-kapal asing. Hal tersebut sebagai dampak mobilitas kapal-kapal yang begitu dinamis, sehingga dapat berdampak bagi standarisasi pelabuhan yang sesuai kebutuhan.
Keempat, dapat menunjang industri perkapalan. Dalam konteks ini, kapal-kapal Indonesia akan menjadi pilar utama dalam pelayanan perdagangan melalui transportasi laut, sehingga permintaan jasa yang di minta oleh pasar akan mampu terlayani oleh kapal-kapal dalam negeri. Kelima, akan terdapatnya regulasi dan investasi. Point ini artinya pelayanan pelayaran dan perdagangan via laut akan menjadi fokus bagi pemerintah. Hal itu dapat mendukung terciptanya regulasi yang mengatur tata pelayaran dan tata kelautan, serta regulasi mengenai investasi penanaman modal. Tentu, dengan kedaulatan maritim yang tercermin dengan penentuan regulasi ini, akan menjadi income bagi kas negara.
Selain itu, negara Indonesia sebagai negara kepulauan mampu dicirikan dengan apa yang dinamakan port state. Eksistensi pelabuhan yang ber-skala internasional adalah esensi dari maksud port state tersebut.
Sudah kita ketahui, Indonesia dianugerahi letak geografi yang terletak diposisi silang antara dua samudra yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, serta di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Dengan letak posisi silang ini, maka Indonesia merupakan wilayah strategis sebagai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia. Oleh karenanya, kapal-kapal akan banyak melintasi perairan Nusantara.
Dengan fakta tersebut, negara Indonesia akan menjadi tujuan kapal-kapal asing untuk bongkar-muat isi kapal dan juga bersandar. Hal itu akan terlaksana, jikalau terdapatnya konektifitas dan kohesivitas antar lembaga negara dalam menyediakan pelabuhan kelas internasional.
Di samping itu, Indonesia pun seharusnya mampu mempunyai karakteristik sebagai Coastal State. Negara Indonesia harus mentitikberatkan fokus menjadi negara pantai yang maksimal. Namun terdapat sederet permasalahan yang harus dibereskan dalam mewujudkan negara pantai; permasalahan menyoal landas kontinen, garis batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan jalur tambahan.
Dimulai dengan landas kontinen. Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin pesat, telah ikut menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia. Karenanya, banyak negara mengalihkan perhatiannya terhadap matra laut. Oleh karena itu, negara-negara pantai tidak hanya cukup dengan memiliki laut teritorial saja, melainkan lebih jauh lagi dari pantai yang disebut landas kontinen.
Secara geologis, daratan itu berlanjut sampai ke dasar laut dari pantai, lanjutan ini cukup landai dan inilah yang disebut landas kontinen, kemudian agak curam disebut continental slope, dan kemudian agak landai lagi yang disebut continental rise dan terakhir baru dinamakan dasar laut (Baca: Politik Kelautan, 2010). Guna memanfaatkan landas kontinen tersebut, diperlukan suatu konsepsi hukum laut yang memungkinkan negara pantai memperoleh wewenang untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber alam yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and suboil).
Dengan adanya realita mengenai sumber daya alam yang melimpah itu, landasan kontinen merupakan ruang hidup bagi negara pantai. Oleh karenanya Indonesia harus kembali menegakan hak-hak sebagai negara pantai, antara lain:
  1. Hak kedaulatan untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber alam yang terdapat di landas kontinen.
  2. Jika negara pantai itu tidak melakukan eksplorasi ataupun eksploitasi sumber-sumber alam di landas kontinennya, tidak satupun pihak lain dapat melakukan kegiatan itu tanpa adanya persetujuan.
  3. Hak-hak negara pantai itu tidak tergantung dari okupasi, keberhasilan atau dugaan atau pengumuman lainnya yang dinyatakan.
  4. Sumber-sumber alam yang berhubungan dengan hal ini terdiri dari sumber mineral dan sumber nonhayati lainnya yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawah landas kontinen termasuk organisme hidup yang tidak bergerak, yaitu organisme yang dapat dipungut dan yang yang terletak di atas dan di bawah laut dan tidak berpindah-pindah tempat (Baca: Politik Kelautan, 2010)
Dengan terdapatnya hak –hak negara Indonesia sebagai negara pantai, tentu pemanfaatan landas kontinen merupakan ruang hidup yang sangat menguntungkan dalam rangka pembangunan nasional. Hal ini sebangun dengan fakta bahwa sumber daya mineral terbaik berasal dari dasar laut. Maka dari itu diperlukan konektifitas antar instansi terkait dan juga navigasi tepat dalam tujuan sasaran eksplorasi guna dapatkan manfaat sumberdaya kelautan ini.
Beralih kepada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Seseuai dengan pengertian ZEE itu sendiri, yang mana jalur laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut teritorial suatu negara yang lebarnya 200 mil diukur dari garis dasar yang dipergunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.
Seperti yang termaktub dalam hak-hak negara pantai, negara Indonesia mempunyai hak kedaulatan secara penuh untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, mengatur, dan melindungi sumber-sumber alam baik sumber hayati maupun sumber non-hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawah ZEE itu serta perairan sekitarnya. Selain itu, dalam ZEE ini negara Indonesia berhak untuk membangun instalasi, bangunan, dan pulau-pulau buatan guna keperluan eksplorasi dan eksploitasi, serta hak yang berkaitan dengan kepentingan bea cukai, pajak, kesehatan, imigrasi, dan keselamatan pelayaran di ZEE tersebut.
Di sisi lain, perihal yang begitu penting dalam kaitan ZEE Indonesia ini adalah mengenai masalah pelayaran ilegal yang dilakukan oleh kapal nelayan asing hingga kapal resmi negara (kapal pemerintahan), yang mana kegiatan ilegal kelautan tersebut mencuri kekayaan laut dan sumberdaya kelautan di wilayah ZEE Indonesia. Sudah menjadi fakta umum, nelayan asing yang mengincar sumber daya perikanan di perairan Indoneisa mempunyai asumsi bahwa ikan terbaik adalah ikan yang hidup di perairan yang disebut humbold current (arus hangat), dan itu ada di laut dalam negeri ini.
Sementara itu, perihal jalur tambahan dan laut teritorial pun tak luput dari permasalahan. Dengan adanya hak lalu lintas damai bagi kapal asing, maka kesempatan untuk melalukan pelaggaran begitu lebar, semisal kegiatan illegal di jalur tambahan dan laut teritorial milik Indonesia. Karenanya sudah menjadi fungsi utama dan hak negara pantai mengatur segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah segala gangguan terhadap keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan fiskal negara pantai itu.
Setelah penjabaran tentang implementasi wawasan nusantara yang dijelaskan melalui tiga karakteristik yang seharusnya ditempuh Indonesia; sebagai negara pelabuhan, negara pantai, dan flag state. Penulis merasa perlu untuk menjabarkan bagaimana mekanisme dalam penanganannya, terlebih dalam konteks negara pantai dan juga flag state.
Mekanisme Penanganan bagi Indonesia
Dalam rangka penanganan permasalahan negara kepulauan, masalah pengamanan sumber-sumber kekayaan kelautan terlebih dulu patut dikaji agar dapat dimanfaatkan bagi percepatan kedaulatan negara di laut sebagai misi menyongsong peningkatan kemakmuran bangsa secara optimal. Oleh sebab itu, laut  bagi bangsa Indonesia memiliki fungsi sekaligus jadi potensi terbesar untuk  membantu dan memperbaiki  harkat serta martabat kehidupan segenap tumpah darah. Maka dari itu diperlukannya cara pandang secara keseluruhan perihal pemanfaatan sumber daya kelautan.
Pertama-tama, permasalahan negara kepulauan berada pada tata pelayaran dan tata kelautan. Karena itu, dibutuhkan eksistensi kapal-kapal yang layak dan mampu menyusuri perairan hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dalam rangka menjaga kedaulatan sebagai negara kepulauan dengan luas pantai terpanjang di dunia.
Kapal-kapal yang dimaksud meliputi; kapal Perang Tentara Nasional Indonesia (TNI), kapal pemerintah dan kapal dagang. Pertama, dengan memiliki kapal perang TNI AL, negara Indonesia dapat aktif melakukan fungsi utama dalam security clearing, yaitu suatu keadaan yang mengharuskan Kapal perang TNI AL atau Navy Ships dapat mengawasi maupun mengontrol kegiatan kapal perang asing di perairan Indonesia. Selain itu, kapal Perang TNI AL dapat bermanuver sesuai dari fungsi yang dinamakan dengan Hot Pursuit atau pengejaran seketika atas penyimpangan asas free innocent passage right yang dilakukan kapal asing.
Kedua, perlu dihadirkannya kapal pemerintah. Kapal pemerintah ini mempunyai kewajiban untuk menjalankan konsekuensi sebagai negara pantai. Pemberdayaan kapal pemerintah yang dikelola oleh sea and coast guard ini memiliki tugas untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia, yang meliputi; landas kontinen, ZEE, garis batas laut teritorial dan jalur tambahan, yang mana penyimpangan akan kedaulatan kerap dilakukan oleh kapal asing secara masif  di ke-empat ruang zona tersebut. Oleh karenanya, kapal pemerintah dibawah kekuasaan sea and coast guard berhak menjalankan pengertian dari istilah sailing permit, atau pemberian dan penentuan izin kepada kapal asing yang ingin masuk keadulatan laut Indonesia dalam niatan aktifitas kelautan, semisal menangkap ikan.
Lalu yang terakhir, kapal yang dimaksud adalah kapal dagang atau kapal nelayan. Pengeoperasian kapal ini ber-orientasi kepada pemanfaatan suberdaya kelautan berupa penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Di sini artinya, nelayan lokal harus menunjukkan eksistensi dalam pemanfaatan yang tepat guna eksplorasi kekayaan lautan nusantara. Demikianlah, pemberdayaan ketiga kapal tersebut harus segera diwujudkan demi terciptanya kepentingan nasional berbasis sumberdaya kemaritiman
Akhir tulisan, penulis menaruh perhatian besar kepada pemerintahan era ini yang mempunyai niatan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, agar dapat berbenah diri melalui pemahaman Wawasan Nusantara dalam arti sesungguh-sungguhnya. Mungkin para pemangku kepentingan harus pula secara khusyu mencerna pernyataan Bung Karno yang menegaskan “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos dikapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Referesi Bacaan dan Kajian:
  1. Dam, Syamsumar. 2010. Politik Kelautan. Jakarta. Bumi Aksara
  2. Lemhannas. 1981. Bunga Rampai Wawasan Nusantara. Jakarta: Lembaga Pertahanan Nasional
  3. Unclos, 1982
  4. Perkuliahan Mata Kuliah Politik Kelautan dan Mata Kuliah Geopolitik di Universitas Nasional.

Penulis: Rohman Wibowo (Lulusan FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nasional)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com