Indonesia dan ASEAN Harus Cegah Persekutuan AUKUS Jadi Katalisator Perlombaan Senjata Nuklir di Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Terbentuknya persekutuan tiga negara Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang populer dengan sebutan AUKUS, ternyata malah mengundang kekhwatiran dua negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, yaitu Indonesia dan Malaysia. Kementerian Luar Negeri RI lewat akun twitter-nya menyatakan akan mencermati dengan penuh kehati-hatian, mengingat semakin meningkatnya eskalasi perlombaan senjata dan kekuatan militer.

Melalui akun twitternya, Kementerian Luar Negeri RI nampak jelas sangat mengkhawatirkan keberadaan AUKUS bisa menjadi katalisator meningkatnya perlombaan senjata nuklir di kawasan Indo-Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya.

Malaysia  yang notabene masih tetap dalam orbit Inggris lewat Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran (Commonwealth), pun juga menaruh kekhwatiran yang senada dengan Indonesia. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kantor Perdana Menteri Malaysia yang dilansir kantor berita Reuters, secara eksplisit menaruh kekhwatiran bakal semakin memanasnya eskalasi konflik militer antara AS versus Cina di Laut Cina Selatan. Maka itu Malaysia merasa perlu menekankan kembali pentingnya menjaga kawasan Asia Tenggara sebagai Zone of Freedom, Peace and Neutrality (ZOFPAN).

Maka dengan begitu, Malaysia mendesak semua pihak untuk tidak terpancing provokasi ke arah menajamnya eskalasi konflik militer di kawasan Asia Tenggara. Termasuk potensi meningkatnya eskalasi lomba senjata nuklir di kawasan Asia Tenggara. Menyusul berkumandangnya kekhawatiran Malaysia yang seperti halnya Indonesia termasuk pemrakarsa berdirinya ASEAN pada Agustus 1967 lalu, maka dalam menyikapi terbentuknya persekutuan AUKUS, bisalah disimpulkan bahwa sebagian besar negara-negara anggota ASEAN tidak mendukung keberadaan AUKUS.

Adapun Global Future Institute (GFI) dalam Seminar Terbatas yang diselenggarakan pada 30 April 2019 lalu, sudah mengingatkan kepada Kementerian Luar Negeri dan para Stakeholders(Pemangku Kepentingan Kebijakan Luar Negeri RI) bahwa eskalasi perlombaan senjata nuklir antara AS versus Cina akan semakin meningkat menyusul pembatalan Perjanjian Senjata Nuklir Jangka Menengah atau Intermediate Range Nuclear Forces (INF Treaty) yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden Donald Trump pada Februari 2019.

Para narasumber dan peserta aktif dalam seminar terbatas  GFI tersebut bersepakat bahwa berakhirnya Perjanjian Intermediate Range Nuclear Forces (INF) atau Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah sejak awal Februari la 2019 lalu, berpotensi untuk semakin meningkatkan perlombaan senjata nuklir di kawasan Asia Timur maupun Asia Tenggara, yang mana Indonesia termasuk di dalamnnya. Para narasumber dan peserta aktif juga bersepakat bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF pada 2019 itu, perlombaan senjata nuklir, khususnya dengan ditempatkannya sistem pertahanan antirudal (THAAD)  oleh AS di Korea Selatan,  sehingga eskalasi konflik bersenjata akan semakin meningkat juga di Asia Timur, menyusul semakin memanasnya pergolakan di Semenanjung Korea.

 

 

Baca:

Executive Summary Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) 30 April 2019

 

Menyadari konstelasi dan kondisi global dan regional yang amat mengkhwatirkan tersebut, termasuk potensi dampak buruknya kepada kawasan Asia Tenggara atau ASEAN pada khususnya, peran aktif dan prakarsa perdamaian Indonesia menjadi faktor yang sangat penting sebagai negara terbesar di Asia Tenggara (ASEAN).

Dengan menginspirasi dari peran kepeloporan Indonesia dalam menggelar Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok 1961 di Beograd, di tengah memanasnya Perang Dingin maupun Perlombaan senjata nuklir antara AS, Uni Soviet dan Cina pada waktu itu, maka sudah saatnya bagi Indonesia kembali memainkan peran kepeloporan dalam ikut aktif menciptakan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.

Dengan begitu, dalam kondisi global yang mengarah pada semakin meruncingnya persaingan global AS versus Cina, maka peran aktif dan prakarsa Indonesia dalam memediasi dibukanya kembali perundingan damai yang melibatkan tiga negara adikuasa AS, Cina dan Rusia, kiranya semakin mendesak dan sangat penting.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com