Indonesia dan ASEAN Harus Menentang Terbentuknya Pakta Pertahanan ala NATO di Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Beberapa perkembangan terkini di kawasan Asia Tenggara nampaknya semakin memanas menyusul pernyataan keprihatinan pemerintah Filipina sehubungan dengan beroperasinya kapal maritim Cina di Laut Cina yang dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadi hotspot area antara angkatan bersenjata AS versus Cina.

Mengingat fakta bahwa Filipina merupakan salah satu negara sekutu tradisional AS di Asia Tenggara (baca:ASEAN), besar kemungkinan pernyataan kekhawatiran Filipina akan dijadikan dalih oleh Washington untuk semakin meningkatkan intensitas kehadiran militernya di kawasan Asia Tenggara. Seraya membujuk negara-negara ASEAN lainnya itu membangun pakta pertahanan ala South Easia Treaty Organization (SEATO) seperti pada era perang dingin pada decade 1950-an dulu.  Atau mengajak negara-negara ASEAN untuk mengadakan latihan militer bersama AS maupun sekutu-sekutunya dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Indikasi tersebut semakin menguat melalui pernyataan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dan Penasihat Keamanan Nasional Filipina Hermogenes Esperon yang sepakat bahwa Washington dan Manila akan terus melakukan koordinasi dalam merespons pelbagai potensi ancaman Cina di di Laut Cina Selatan. Apakah hal tersebut akan ditindaklanjuti melalui pembentukan Pakta Pertahanan ala SEATO atau Pakta Pertahanan Asia Pasifik ala QUAD(AS, Australia, Jepang dan India)? Sepertinya ada tren ke arah seperti itu.

Yaitu Tren global untuk semakin memperkuat NATO di pelbagai  kawasan terlihat seperti terlihat dengan terbentuknya beberapa Pakta Pertahanan di Timur-Tengah dan Afrika Utara.

Baca sebagai rujukan pembanding :

Washington Wants to Establish Global Governance by Advancing Alliances

Menteri Luar Negeri Anthony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin mewakili kepentingan politik dan militer Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, baru-baru ini menulis di Washington Post bahwa Washington saat ini  mengembangkan grand strategy menciptakan aneka ragam aliansi antarnegara dan antarkawasan untuk membangun kekuatan yang punya daya efek domino ke dalam orbit pengaruh supremasi AS. Dengan begitu akan tercipta suatu jaringan berdasarkan aliansi politik dan militer di pelbagai kawasan dunia.

Salah satunya upaya yang dilakukannya adalah menghidupkan kembali gagasan mengenai pembentukan The Middle East Strategic Alliance (MESA), semacam NATO ala negara-negara Arab yang pernah diwacanakan pada 2018 lalu.

MESA dibentuk untuk menggalang persekutuan enam negara Muslim beraliran Sunni yang berada di Teluk Parsi seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Oman,Bahrain, Jordan dan Mesir. Keenam negara tersebut bahkan sempat disebut sebagai negara-negara boneka binaan AS sejak berakhirnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II.

Apakah kebijakan strategis pertahanan AS untuk membentuk persekutuain di pelbagai kawasan tersebut merupakan tindakan yang efektif? Merespons gagasan Amerika tersebut, Iran yang selama ini merupakan musuh utama AS sejak runtuhnya Syah Reza Pahlevi, berdirinya Republik Islam Iran pada 1979, memandang manuver Washington itu malah akan semakin mempertajam ketegangan di kawasan Teluk Parsi, dan semakin mempertajam konflik antara Iran dan negara-negara Arab yang binaan AS tersebut. Sehingga malah memicu  perang terbuka antara Iran versus negara-negara Arab proxy Amerika tersebut.

Bukan itu saja. Gagasan pembentukan MESA jika dimaksudkan sebagai NATO gaya baru di Timur Tengah dan menggalang persekutuan untuk menjadikan Iran sebagai musuh bersama, nampaknya juga tidak akan berhasil. Sebab di kalangan enam negara Arab sekutu AS tersebut, baru Arab Saudi dan Emirat Arab yang secara jelas menunjukkan sikap permusuhan terhadap Iran, dan setuju dengan Skema MESA. Sementara Qatar sejauh ini masih cukup puas menjalin kerjasama dengan Tehran. Sehingga sempat bikin Arab Saudi meradang.

Di kawasan Afrika, AS juga menerapkan stragegi pembendungan terhadap Rusia. Di Afirka Utara misalnya, kongres AS menandatangani Undang-undang bernama the Eastern Mediterranean Security and Energy Partnership Act. Ini semacam peta jalan (road map) yang dimaksudkan untuk melumpuhkan kerjasama Rusia dengan negara-negara di kawasan Afrika Utara atau Mahgribi tersebut. Baik di bidang politik, ekonomi, dan militer. Sebagai balasan atas pasokan gas Rusia ke Eropa seraya mengurangi militerisasi di kawasan ini yang merugikan Rusia dan Turki.

Melalui the Eastern Mediterranean Security and Energy Partnership Act, AS juga menggalang kerjasama dengan Yunani, Cyprus dan Israel melalui kerjasama pertukaran informasi intelijen dan peningkatan kesadaran tentang Cyberspace dan kelautan. Disamping kerjasama dengan negara-negara di kawasan Afrika Utara tentunya.

Lantas bagaimana dengan Asia Pasifik utamanya Asia Tenggara atau ASEAN? Beberapa think-thank di Washington nampaknya masih terobsesi untuk  membentuk persekutuan militer di Asia Pasifik maupun ala ANZUS dan SEATO di Asia Tenggara pada era 1950an.

ANZUS merupakan Pakta Pertahanan ala NATO di Asia Pasifik pada era Perang Dingin, namun terbatas pada tiga negara berbahasa Inggris atau bangsa Anglo Saxon (AS, Australia dan Selandia Baru). Namun ketiganya berada dalam kendali komando Inggris.

Adapun SEATO mencoba menggalang aliansi militer AS, Selandia Baru, Inggris, AS, Prancis, Thailand, Pakistan, dan Filipina. Apabila benar bahwa di era pemerintahan Joe Biden berencana semakin intensif menerapkan gunboat diplomacy dengan memperkuat persekutuan tiga negara yaitu India, Jepang dan AS dalam persekutuan Pasifik yang bernama QUAD, maka besar kemungkinan Washington akan mendesak dihidupkannya kembali SEATO gaya baru di Asia Tenggara.

Namun jika hal tersebut terjadi, maka keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara akan berada dalam bahaya. Selain akan menciptakan instabilitas politik dan keamanan di Asia Tenggara, semua gagasan di balik pembentukan Pakta Pertahanan ala NATO di Timur Tengah maupun Asia Pasifik dan Asia Tenggara, didasari gagasan sebagai strategi untuk membendung pengaruh Cina dan Rusia di pelbagai kawasan.

Gagasan di balik pembentukan aneka ragam persekutuan atau Pakta Pertahanan semacam ini, pada perkembangannya akan menyeret negara-negara di kawasan Asia dan Timur Tengah ke dalam Perang Proxy antar negara-negara adikuasa seperti AS, Cina dan Rusia. Hal semacam itu, sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional negara-negara di kawasan Timur Tengah maupun ASEAN, termasuk Indonesia.

USJ

Kekhawatiran semacam itu nampaknya cukup beralasan dan terbukti. Ambillah misal apa yang ditulis Michael Klare dalam NATO Watch Report on NATO 2030, bahwa setiap langkah yang dilakukan AS bersama NATO selalu ditujukan untuk mengintegrasikan rencana-rencana strategis AS untuk memerangi dan menaklukkan Cina dan Rusia melalui skema Perang Total.

Baca:

The US Has Military Forces in Over 160 Countries, but the Pentagon Is Hiding the Exact Numbers

Melalui blueprint-nya dalam NATO 2030 juga berkesimpulan bahwa AS maupun sekutunya NATO, dalam perlombaan militernya dengan Cina dan Rusia, harus siap dengan resiko terburuk, yaitu meletusnya perang nuklir.

Selain soal gagasan pembentukan NATO di pelbagai kawasan, keberadaan pangkalan asing AS di pelbagai kawasan dunia juga tidak kalah mengkhawatirkan. Sekadar informasi. Resminya Amerika Serikat menguasai 95% lokasi pangkalan militer di luar negeri dan memiliki personil di 160 negara di 7 benua. Namun masih ada ratusan lokasi pangkalan militer AS di berbagai negara yang tidak masuk dalam laporan resmi pihak Pentagon (kementerian pertahanan AS).

Adapun menurut daftar resmi laporan yang dirilis Pentagon yang diberi nama Official Properti Portofolio, ada 4775 lokasi pangkalan militer yang tersebar di 50 negara bagian AS dan 45 negara-negara di mancanegara, termasuk 514 lokasi pangkalan militer AS yang tersebar di luar negeri.Anggaran militer yang dialokasikan untuk penyebaran pasukan militer AS ke luar negeri, maupun biaya operasional pangkalan-pangkalan asing AS di luar negeri, sebesar 150 miliar dolar AS per tahun.

Di Afghanistan, yang diinvasi oleh Amerika pada 2001, International Security Assistance Forces (ISAF) menguasai 550 pangkalan militer. Bahkan ada kemungkinan saat ini mencapai 750 pangkalan militer.Tidak sampai disitu saja. Sebuah investigasi mengenai keberadaan pangkalan militer AS di Afrika, sebuah dokumen berasal dari US Africa Command (AFRICOM), mengungkap adanya 34 jaringan pangkalan asing yang tersebar di sebelah Barat dan Utara Afrika, termasuk di Tanduk Afrika.Selain itu masih banyak fakta-fakta yang disembunyikan pemerintah AS. Misalnya laporan Pentagon yang bernama The Base Structure Report (BSR), sama sekali tidak mencantumkan lokasi-lokasi pangkalan militer AS yang tersebar di Tunisia, Kamerun, atau Somalia. Maupun lokasi-lokasi pangkalan militer AS lainnya sekilas saya sampaikan tadi.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, sudah seharusnya  menentang segala upaya dan desakan Washington untuk membentuk Pakta Pertahanan NATO di Asia Tenggara ala SEATO atau ANZUS seperti era Perang Dingin pada decade 1950-an yang lalu. Menentang terbentuknya Pakta Pertahanan maupun kehadiran pangkalan-pangkalan AS dan asing di kawasan Asia Tenggara.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI).

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com