Indonesia Diserbu Dari Pelbagai Sisi dan Anasir – Bagian 1

Bagikan artikel ini
Pokok-Pokok Telaah atas Pintu Masuk dan Modus Penyerbuan Secara Nirmiliter (Asymmetric War)
Hari ini, Ketahanan Nasional kita tengah dikepung (dan diserbu) dari beberapa sisi oleh anasir yang sifatnya sudah berupa ancaman faktual alias menimbulkan gangguan nyata. Tetapi, masih banyak anak bangsa ini tidak menyadari kondisi tersebut. Memang ada sebagian masyarakat sadar, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan tak sedikit pula justru menjadi bagian dari sisi penyerbuan dimaksud, sedang mereka tak memahami, atau pura-pura tidak tahu karena turut menikmati?
Adapun sisi-sisi dan anasir penyerbuan secara nirmiliter dimaksud antara lain sebagai berikut:
Pertama: Liberalisme. Ya. Pasca-Pak Harto lengser dan Orde Baru jatuh, gelombang eforia menerjang publik melalui gelembung framing dan fabrikasi, “Bahwa segala sesuatu yang berbau Orde Baru mesti dihapus, dibuang jauh-jauh dan dihancurkan”.
Dan puncak eforia (rèformasi) ialah amandemen UUD 1945 empat kali (1999-2002). Kenapa? Hasil penelitian Prof Kaelan dari UGM terhadap UUD yang diamandemen, bahwa 95% isi pasal-pasal pada Batang Tubuh di UUD telah total diganti. Pada gilirannya, selain antara Pembukaan dan Batang Tubuh tidak nyambung; konstitusi kita berubah individualistik dan liberal; juga usai amandemen, praktik konstitusi UUD NRI 1945 —kerap disebut UUD 2002— telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi. Pancasila tidak lagi menjadi sumber dari segala sumber hukum. Pembuatan UU, misalnya, hanya menginduk kepada pasal-pasal di Batang Tubuh yang sudah diliberalisasi. Tidak nyambung lagi dengan Pancasila yang ada di Pembukaan.
Banyak contoh kasus. Yang aktual ialah isu Pulau Rempang, Batam, di Kepulauan Riau. Ini implementasi UU Ciptaker alias Omnibus Law yang kelahirannya penuh kontroversi. Diketok pada malam hari. Dalam Pembukaan dikatakan, bahwa negara (hadir) “… melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia …”, tetapi praktik di Rempang bukan melindungi rakyat. Itu poin intinya. Atas nama investasi, penduduk asli di kampung-kampung tua ‘digeser’ dari bumi yang telah ditempati leluhurnya sejak ratusan tahun lalu, bahkan bertempat tinggal sebelum NKRI berdiri.
Agaknya, nafas liberalisme membuat hukum berubah menjadi sub-sistem politik; dan lagaknya, sistem politik pun bagian sub-sistem investasi. Ini asumsi penulis. Kekuasaan menghamba kepada investor. Mendewakan investasi. Padahal, PBB telah mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dimana setiap pembangunan harus mempertimbangkan tiga aspek penting yakni aspek sosial, lingkungan dan aspek ekonomi. Tampaknya, di Rempang dan beberapa wilayah lain, liberalisme lebih memprioritaskan (pertumbuhan) ekonomi daripada aspek lingkungan dan aspek sosial.
Kedua: Narkoba. Tak boleh dipungkiri, maraknya narkoba di pelbagai lapis sosial dengan beragam jenis dan modus membuat sebagian masyarakat menjadi ‘generasi linglung’. Padahal, sejarah Perang Candu I (1839 – 1842) dan Perang Candu II (1856 – 1860) di China, telah memberi pointers kewaspadaan kepada publik global, bahwa penyebaran narkoba merupakan bagian dari metode kolonial guna melemahkan bangsa serta menghancurkan daya juang dan daya lawan bangsa terhadap kolonialisme di negerinya. Inilah yang kini terjadi. Narkoba menjadi sarana merusak bangsa dengan harga murah.
Ketiga: Komunisme Gaya Baru. Kendati PKI telah dihajar oleh Orde Baru, kemudian pascaoperasi, negeri ini dipagari oleh Tap MPRS/XXV/1966, akan tetapi ‘komunis gaya baru’ mampu berselancar di lapis-lapis sosial, sistem politik, lapisan budaya, dan lain-lain.
Ideologi tak pernah mati, kata Prof Anhar Gonggong, namun bagaimana masyarakat memberi ruang. Dan agaknya, di era (reformasi) liberal ini, mereka memperoleh ruang dan modus dalam penyebarannya.
Keempat: Korupsi. Bila pada Orde Lama dan Orde Baru, korupsi itu faktor moral. Nah, di era Reformasi sekarang ini — korupsi bukan soal moral semata, namun justru yang utama adalah faktor sistem bernegara. “Korupsi berjamaah”. Adanya Otonomi Daerah (Otoda), misalnya, atau multipartai, pemilu bermodel one man one vote, dan lainnya. Hal-hal itu memberi kontribusi besar atas high cost politics kemudian membidani stigma buruk: ‘korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem’. Nomer piro wani piro (NPWP) tidak hanya berlaku di gelaran pemilu saja, tetapi NPWP di projek-projek APBN/APBD pun sudah ‘diijon’ sejak tahap perencanaan. “Korupsi yang direncanakan”;
Kelima: Devide et Impera. Di Era Reformasi, strategi belah bambu ala Snouck Hugronye meraìh ‘puncak karir’-nya. Kenapa? Sebab, ia —devide et impera— berhasil disusupkan dalam sistem bernegara melalui pintu amandemen UUD 1945. Itu tadi. Multipartai, Otoda, dan one man one vote ialah sarana adu domba yang ditempel di sistem bernegara.
Itulah, sekurang-kurangnya lima sisi dan anasir yang tengah mengepung lagi menyerbu bangsa dan negara ini. Sehingga setiap kegaduhan yang timbul —jika ditarik benang merah— selalu bermula dari lima aspek tersebut.
Bagaimana peta jalan bagi bangsa ini untuk mengatasinya?
Bersambung
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com