Indonesia Harus Bisa Mencegah Terseretnya Negara-Negara OKI Dalam Proxy War Arab Saudi versus Iran

Bagikan artikel ini

Pada 2016 ini, Organisasi Konferensi Islam (OKI) akan menggelar dua agenda penting. Pertama, Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam di Istambul, Turki, Januari ini. Dan KTT untuk membahas masalah Palestina di Maroko pada Maret 2016 mendatang. Namun berita-berita seputar penyelenggaraan KTT OKI tersebut terkesan simpangsiur. Beberapa pemberitaan menginformasikan bahwa KTT OKI membahas soal Palestina akan diselenggarakan pada Januari 2016, adapun KTT Reguler OKI akan diselenggarakan pada April 2016.

Begitupun, keikutsertaan Indonesia dalam KTT OKI tetap merupakan tetap penting dan strategis. Seperti ditegaskan oleh Sekjen OKI Iyad Madani, Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia punya pengaruh yang amat besar dan menentukan mengenai keputusan-keputusan strategis yang ditetapkan oleh forum OKI. Apalagi Sekjen OKI dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada Sabtu 12 September 2015 lalu, telah mendukung upaya yang digagas Indonesia untuk mendirikan Contact Group yang menyuarakan Islam Rahmatan lil Alamin. Seperti yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi ketika menggelar pertemuan dengan wakil-wakil negara-negara OKI dalam momentum Konferensi Asia-Afrika di Jakarta April 2015 lalu.
Menyadari betapa besarnya peran dan pengaruh Indonesia di kalangan negara-negara OKI, maka sudah seharusnya Indonesia memainkan peran aktif selaras dengan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif, untuk ikut serta memraparksai perdamaian di kawasan Timur Tengah yang sedang dilanda pergolakan saat ini. Selain adanya intervensi Amerika dan sekutunya NATO dalam membantu kelompok-kelompok Islam radikal untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar al Assad, ketegangan hubungan antara Arab Saudi versus Iran yang bermuara pada putusnya hubungan diplomatik kedua negara, nampaknya akan mendorong para pihak yang terlibat dalam konflik di Timur Tengah untuk memperalat forum OKI untuk kepentingannya masing-masing.
Turki, yang pada Januari ini akan  bertindak sebagai Tuan Rumah KTT OKI, tentunya dalam posisi yang cukup menguntungkan untuk mengatur dan mengendalikan hasil akhir dari KTT tersebut. Misal, dalam konfliknya dengan Rusia menyusul ditembak jatuhnya pesawat tempur Rusia oleh Angkatan Udara Turki, diprediksi akan mewarnai dinamika politik antar negara-negara Muslim di forum OKI. Bisa saja, gara-gara menajamnya ketegangan antara Turki-Rusia, pemerintahan Presiden Erdogan akan mendesak forum OKI untuk menginternasionalisasikan gerakan separatis Chechnya yang berada dalam kedaulatan Rusia, dengan dalih bahwa gerakan Chechen dimotori oleh kelompok-kelompok Muslim di Rusia.
Sedangkan Arab Saudi, yang saat ini terlibat ketegangan diplomatik yang cukup serius dengan Iran, bahkan telah terjadi pemutusan hubungan diplomatik, diprediksi akan mewarnai pula dinamika konflik dalam forum OKI. Bahkan bukan tidak mungkin, akan bermuara pada timbulnya perpecahan atau deadlock dalam KTT tersebut, sehingga gagal menghasilkan keputusan-keputusan strategis yang menguntungkan ke-57 negara-negara berpenduduk Muslim yang tergabung dalam OKI.
Konflik antara Arab Saudi versus Iran, yang krusial bukan sekadar soal Sunni versus Syiah. Melainkan karena adanya penyikapan yang berbeda terkait dengan Konflik regional yang sedang melanda kawasan Timur Tengah. Utamanya, terkait dengan perang saudara di Suriah sejak 2011 lalu, dan sekarang masih berlansung, antara pasukan pemerintahan Bashar al Assad versus kelompok-kelompok Islam radikal yang didukung oleh AS-Inggris dan NATO di Suriah. Perbedaan penyikapan antara Arab Saudi dan Iran terkait konflik Suriah, disebabkan oleh kenyataan bahwa Arab Saudi dan Iran pada perkembangannya merupakan mencerminkan penyikapan beberapa negara adikuasa yang juga sedang berebut pengaruh di kawasan Timur Tengah. Seperti antara AS-Inggris di satu pihak, Rusia-Cina di lain pihak.
Kenyataan bahwa Arab Saudi punya hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme dengan AS dan beberapa negara Eropa Barat terutama Inggris, pada gilirannya mendorong Iran yang sejak jatuhnya Syah Reza Pahlevi pada 1979, telah melepaskan diri dari orbit pengaruh AS dan Inggris, dan bahkan merupakan musuh pihak barat, dalam menyikapi konflik Suriah sejak 2011, menjalin persekutuan strategis dengan Rusia dan Cina. Rusia dan Cina sejak 2001, telah membangun aliansi strategis dalam skema Shanghai Cooperation Organization (SCO) di bidang perdagangan dan keamanan regional. Yang tentunya, menjadi dasar pula bagi bagi kedua negara adikuasa tersebut untuk membangun keseimbangan baru di kawasan Timur Tengah, menghadapi dominasi AS dan Inggris di kawasan ini.
Mennghadapi kenyataan tersebut, pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, harus mampu secara pro aktif menggalang dukungan negara-negara di forum OKI agar tidak terseret atau larut menjadi alat Perang Perwalian (Proxy War) antara AS-Inggris versus Rusia-Cina, apalagi menjadi alat Proxy War antara Arab Saudi versus Iran, yang pastinya akan memecah-belah kekompakan dan soliditas negara-negara yang tergabung dalam forum OKI.
Indonesia Harus Menyadari Pentingnya Kawasan Timur Tengah
Timur Tengah sejak dulu merupakan salah satu kawasan yang paling penting, sehingga barangsiapa yang menguasainya bakal mempunyai kedudukan strategis di dunia. Letaknya secara geografis pada pertemuan Eropa, Asia, dan Afrika, kawasan ini punya jalan masuk ketiga benua itu. Timur Tengah berbatasan dengan Laut Tengah, Laut Merah, Laut Hitam, Laut Kaspi, Teluk Parsi dan Samudera Hindia. Baik lewat daratan maupun perairan kawasan ini memandang ke banyak penjuru., sehingga keunikan geostrateginya ini diakui oleh negara-negara adikuasa. Belum lagi, munculnya Lalu Lintas Udara. Di kawasan Timur Tengah ini juga terdapat jalur air yang strategis, yaitu Selat Bosphorus, Selat Dardanela, Terusan Suez dan Selat Bab el Mandeb.
Cadangan minyaknya terbukti paling penting di dunia, yaitu dua pertiga cadangan minyak dunia. Sehingga praktis menguasai 40 persen produksi minyak dunia. Sekadar informasi, Eropa Barat hingga kinia mendapatkan 70 persen kebutuhan minyaknya dari kawasan Timur Tengah. Bahkan Jepang mengandalkan 80 persen  impor minyaknya dari Timur Tengah. Inilah yang menyebabkan Timur Tengah mempunyai potensi ekonomi dan politik yang amat besar. Sehingga menjadi ajang perebutan pengaruh negara-negara adidaya.
Menyadari betapa stategisnya Timur Tengah secara geopolitik, sudah seharusnya Indonesia memotori penggalangan dukungan negara-negara Muslim di OKI, dalam kerangka kerjasama strategis untuk mengamankan dan mendayagunakan nilai strategis Kawasan Timur Tengah demi kepentingan bersama seluruh negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI. Apalagi pada kenyataannya, sebagian besar negara-negara Muslim OKI merupakan negara-negara yang sedang bekembang (Developing Countries).
Untuk itu, pemerintah Jokowi-JK hendaknya mempertimbangkan kembali kebijakan luar negeri Pemerintahan Presiden Suharto di era pasca Perang Dingin, yang memutuskan untuk bergabung dengan kutub negara-negara Islam, untuk melepaskan diri dari orbit pengaruh AS, Rusia, Cina dan Jepang. Bahkan lebih jauh dari itu, Suharto ketika itu bercita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai pemimpin negara-negara Islam dunia.
Presiden Jokowi kiranya sangat tepat waktunya untuk meneruskan agenda strategis Suharto yang belum sempat dijalankan secara maksimal, menyusul kejatuhannya dari kursi kepresidenan pada Mei 1998.
Pemerintahan Jokowi-JK kiranya bisa memulai langkah strategisnya menggalang kutub negara-negara Islam melalui KTT OKI mendatang, dengan menyadarkan negara-negara Timur Tengah untuk memprakarsai terciptanya Tata Dunia Baru di Timur Tengah, dan dunia pada umumnya. Semacam menghidupkan kembali skema the New Emerging Forces-nya yang digagas Presiden Sukarno pada era 1960-an, yang mana negara-negara Islam juga merupakan unsur-unsurnya yang paling penting dan vital.
Indonesia bisa menggulirkan isu strategis, betapa negara-negara berkembang, khususnya melalui forum OKI, untuk mempelopori suatu gerakan untuk mendapatkan bagian yang layak dari kekayaan alam yang terkandung di berbagai kawasan Asia-Afrika dan Timur Tengah, sehingga negara-negara berkembang yang notabene merupakan negara-negara berpenduduk Muslim, bisa memajukan dan meningkatkan pembangunan ekonomi. Sehingga bisa menghilangkan segi-segi ketidakadilan tata ekonomi internasional yang saat ini masih didominasi oleh AS dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com