MEA: Peluang atau Ancaman?

Bagikan artikel ini

Ibarat gelombang badai, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah ombak kecil dari gelombang besar bertajuk globalisasi. Kesepakatan 10 negara Asean yang diteken di Bali pada tahun 2003 di era Bu Megawati berpilar pada 4 pendekatan strategis antara lain: 1) Pasar tunggal dan basis produksi; 2) Wilayah ekonomi berdaya saing tinggi; 3) Kawasan pembangunan ekonomi yang seimbang; dan 4) Menuju integrasi penuh dengan ekonomi global.

Ibarat gelombang badai, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah ombak kecil dari gelombang besar bertajuk globalisasi. Kesepakatan 10 negara Asean yang diteken di Bali pada tahun 2003 di era Bu Megawati berpilar pada 4 pendekatan strategis antara lain: 1) Pasar tunggal dan basis produksi; 2) Wilayah ekonomi berdaya saing tinggi; 3) Kawasan pembangunan ekonomi yang seimbang; dan 4) Menuju integrasi penuh dengan ekonomi global.

Secara singkat, MEA berisi/pemberlakuan “5 (lima) arus bebas” yang meliputi arus barang, jasa, tenaga kerja terampil, modal dan arus bebas investasi. Secara geopolitik, MEA adalah peluang namun sekaligus juga ancaman bagi Indonesia, kenapa? Ya, ia akan menjadi peluang bila para UMKM kita mampu bersaing dengan produk-produk dari 10 negara Asean, akan tetapi akan berubah jadi ancaman jika produk-produk kita baik barang, jasa maupun manusia, dll kalah bersaing dalam hal kualitas dan harga.

Pertanyaannya sederhana, “Bukankah selama ini (tanpa MEA) Indonesia telah menjadi medan tempur (proxy war) secara asimetris (non militer) bagi Adidaya Timur versus Barat di bidang ekonomi dan penguasaan sumberdaya alam (SDA)?”

Berlakunya MEA justru kian membuka lebar kran proxy war dimaksud. Medan tempurnya semakin luas (karena telah disepakati) seakan tanpa penghalang lagi. Artinya, tanpa ada kebijakan pemerintah, jika tidak ada regulasi dan penegakkan hukum yang berpihak pada Kepentingan Nasional RI (KENARI), maka panggung MEA mirip pertandingan antara Mike Tyson melawan Elly Pical, para UMKM bakal knock out/KO. Pical tentu KO. Inilah “ladang pembantaian” yang justru disepakati oleh negara itu sendiri. Pertanyaannya simpel, misalnya: “Mampukah petani lokal kita bersaing dengan para korporasi serta kartel global di bidang pangan?”

Dinamika MEA akan menambah deret “bencana geopolitik” di negeri ini. Ketahanan Nasional pasti jebol. Bukan cuma arus barang, jasa dan modal belaka, tapi juga aspek ideologi, sosial budaya, keamanan, dll. Bangsa ini kelak, seperti tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri. Absentee of lord. Tanah air mungkin tinggal nama saja, sebab tanahnya dikuasai siapa, airnya pun demikian pula, dikemas oleh Danone dkk milik negara asing atas nama investasi. Jangan-jangan, sejak bangun tidur hingga tidur lagi — yang kita lihat, kita dipakai, dan kita konsumsi, dst semuanya produk luar.

Oleh karena itu, awal bergulirnya MEA pada dekade 2016 ini, konsepsi nasional “NEGARA HADIR” tidak boleh hanya pada domain KEAMANAN saja, tetapi mutlak harus pada aspek-aspek lainnya seperti ideologi, politik, ekonomi, dll. Negara sebagai institusi pelindung rakyat harus berperan sepenuhnya, kenapa? Sebab tak mungkin para UMKM berhadapan dengan organisasi dan kartel-kartel perdagangan yang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Adakah pemerintah telah merumuskan antisipasinya?

Jika tidak, maka Indonesia ibarat kapal tanpa kemudi di tengah gelombang kecil globalisasi/MEA. Terombang-ambing badai ketidakpastian. Menggali kubur bagi dirinya sendiri. Sungguh menyedihkan.

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com